Rabu, 17 Juli 2013

NASKAH AKADEMIKPENGEMBANGAN KURIKULUM


 













NASKAH AKADEMIKPENGEMBANGAN KURIKULUM


















BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2012

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum sebagaisalahsatuperangkat kelengkapan DokumenKurikulum 2013.Penyusunan naskah akademik ini adalah dalam rangka menindak-lanjuti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 maupun Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014.
Di dalam Naskah Akademik ini dipaparkan rancangan pengembangan kurikulum secara konseptual dan kontekstual,yang mencakup (i) rekonseptualisasi ide kurikulum yang berbasis kompetensi,(ii) pengembangan struktur kurikulum berdasarkan ide kurikulum yang telah direkonseptualisasi, (iii) pengembangan Kompetensi Inti (KI) sebagai faktor pengikat, dan (iv) pengembangan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran yang dikaitkan dengan Kompetensi Inti.
Pengembangan Kurikulum berbasis kompetensi didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yang diturunkan dari Tujuan PendidikanNasional. Untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan maka dikembangkan Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian.Semua standar tersebut secara faktual menjadi acuan bagi pengembangan dan pelaksanaan kurikulum operasional pada tingkat satuan pendidikan.


KepalaBadanPenelitiandanPengembangan


Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro


DAFTAR ISI















BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang


Mengacu pada prioritas kebijakan pembangunan pendidikan nasional, baik yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 maupun yang dimuat dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional (Renstra Kemendiknas) 2010-2014, Pusat Kurikulum dan Perbukuandiberi amanat untukmelakukan penyempurnaan kurikulum yang berlaku sejak 2006 sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Keduanya menjadi acuan dalam pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan kurikulum operasional.
Ketetapan dalam RPJMN 2010-2014 mensyaratkan adanya penyempurnaan pada dua hal yaitu proses pembelajaran dan kurikulum. Mengenai proses pembelajaran RPJMN 2010-2014 mengamanatkan agar terjadi perubahan dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran tidak lagi diartikan sebagai teaching to the test tetapi perlu diarahkan kepada pengembangan potensi anak dalam belajar. Secara spesifik, Bab IV Prioritas 2 Pendidikan, pasal 3 tersebut menyebutkan:
Metodologi: Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap budayabahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014.

Lebih lanjut RPJMN menegaskan perlunya penyempurnaan kurikulum dalam bentuk pengembangan kurikulum baru yang dapat menjawab berbagai tantangan kehidupan pada abad ke-21. Pasal 5 RPJMN secara ekplisit menetapkan adanya penataan kurikulum sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 di atas. Pasal 5 menyebutkan:
Kurikulum: Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and match);

Adanya ketentuan dalam RPJMN tersebut memberikan amanat langsung kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan perubahan kurikulum.

Selain adanya ketentuan legal yang mengharuskan adanya perubahan kurikulum, masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia mengalami perubahan yang sangat cepat dan dalam dimensi yang beragam terkait dengan kehidupan individual, masyarakat, bangsa, dan ummat manusia. Fenomena globalisasi yang membuka batas-batas fisik negara dan bangsa dipertajam dan dipercepat oleh kemajuan teknologi, terutama teknologi komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan memperkuat dampak globalisasi dan kemajuan teknologi tersebut. Perubahan yang terjadi dalam dua dasawarsa terakhir mengalahkan kecepatan dan dimensi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia di abad-abadsebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut telah menjangkau kehidupan manusia dari tingkat global, nasional, dan lokal serta dari kehidupan sebagai umat manusia, warganegara, anggota masyarakat, dan pribadi.

Perubahan-perubahantersebut menjadi amat penting seiring dengan kontinuitas segala kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya pada tataran lokal, nasional, regional, dan global di masa depan. Jenlink (1995) mengungkapkanbahwa the future will be dramatically different from the present, and it is already calling us into preparation for major changes being brought to life by forces of change that will require us to transcend current mindsets of the world we know ---masa depan akan berbeda secara dramatis dari masa sekarang, dan itu sudah menuntut kita mempersiapkan untuk perubahan penting yang sedang terjadi pada kehidupan kita dengan kekuatan perubahan yang akan memerlukan kita mengalihkan pola pikir kita sekarang  tentang dunia yang kita ketahui.
Pendidikan dan dalam hal ini kurikulum sebagai the heart of education(Klein, 1992) harus mempersiapkan generasi bangsa yang mampu hidup dan berperan aktif dalam kehidupan lokal, nasional, dan lokal yang mengalami perubahan dengan cepat tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Oliva (1982), kurikulum perlu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan politik. Perubahan-perubahan yang dikemukakan di atas memberikan landasan kuat bagi perubahan suatu kurikulum.

Kenyataan adanya amanat legal dan kehidupan manusia yang berubah cepat menyebabkan perubahan kurikulum merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari. Atas dasar itu, Pusat Kurikulum dan Perbukuan memandang perlu untuk menyusun Naskah Akademik Penyempurnaan Kurikulum yang merupakan suatu rancangan konseptual dan kontekstual penyempurnaan kurikulum. Dengan adanya naskah akademik ini, Pusat Kurikulum dan Perbukuanberupaya untuk mentransformasikan pemikiran yang menjembatani segala sesuatu yang telah ada saat ini (what it is) dengan segala sesuatu yang seharusnya ada di masa yang akan datang (what should be next) dalam suatu rancangan kurikulum.




B.        Tujuan


Penyusunan Naskah Akademik ini bertujuan untuk digunakan sebagai:
1.         pedoman dalam mengembangkan kurikulum (dokumen kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum);
2.         pedoman untuk mengembangkan aspek yang terkait dengan pengembangan kurikulum.
Naskah Akademik ini memberikan landasan yuridis, filosofis, dan teoritis bagi pengembang kurikulum. Landasan tersebut, terutama landasan filosofis dan teoritis, menjadi pedoman bagi para pengembang dalam menetapkan ide kurikulum untuk menjawab tantangan yang dihadapi, mengembangkan desain dokumen kurikulum, mengembangkan rancangan untuk implementasi kurikulum, dan mengembangkan rancangan evaluasi kurikulum. Melalui landasan yang dikemukakan sebagai pedoman dalam Naskah Akademik keseluruhan komponen pengembangan kurikulum (curriculumdevelopment) tercakup.
Selain itu, Naskah Akademik ini juga memberikan arahan mengenai aspek-aspek yang perlu dikembangkan sehubungan dengan proses pengembangan dokumen kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum.




C.       Landasan Perubahan Kurikulum


Perubahan kurikulum didasarkan pada butir-butir kebijakan nasional dalam bidang pendidikan yang terdapat dalam dokumen sebagai berikut:
1.   RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL 2005-2025
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 menjadi landasan bagi perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
RPJMN menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga dalam menyusun Rencana Strategis kementerian dan lembaga (Renstra-K/L) dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional.
2.   RANCANGAN PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL
Tahap Itelah dimulai dengan RPJMN 2005-2009 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor7Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
Tahap II dimulai dengan RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010.
Di dalam RPJMN 2010-2014 telah ditetapkan Prioritas 2 Pendidikan sebanyak 6 substansi inti program aksi bidang pendidikan sebagaimana yang disajikan dalam cuplikan dokumen berikut ini.
Substansi Inti Program Aksi Bidang Pendidikan RPJMN Tahun 2010-2014
Prioritas 2: Pendidikan
Peningkatan akses pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien menuju terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi pekerti, dan karakter bangsa yang kuat. Pembangunan bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga terdidik dengan kemampuan: 1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan dan 2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja.
Oleh karena itu, substansi inti program aksi bidang pendidikan adalah sebagai berikut:
1.   Akses pendidikan dasar-menengah: Peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar dari 95% di 2009 menjadi 96% di 2014 dan APM pendidikan setingkat SMP dari 73% menjadi 76% dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan setingkat SMA dari 69% menjadi 85%; Pemantapan/rasionalisasi implementasi BOS, penurunan harga buku standar di tingkat sekolah dasar dan menengah sebesar 30-50% selambat-lambatnya 2012 dan penyediaan sambungan internet ber-content pendidikan ke sekolah tingkat menengah selambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar;
2.   Akses pendidikan tinggi: Peningkatan APK pendidikan tinggi dari18% di 2009 menjadi 25% di 2014;
3.   Metodologi: Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap budaya-bahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014;
4.   Pengelolaan: Pemberdayaan peran kepala sekolah sebagai manajer sistem pendidikan yang unggul, revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai entitas quality assurance, mendorong aktivasi peran Komite Sekolah untuk menjamin keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pembelajaran, dan Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten;
5.   Kurikulum: Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and match);
6.   Kualitas: Peningkatan kualitas guru, pengelolaan dan layanan sekolah, melalui: 1) program remediasi kemampuan mengajar guru; 2) penerapan sistem evaluasi kinerja profesional tenaga pengajar; 3) sertifikasi ISO 9001:2008 di 100% PTN, 50% PTS, 100% SMK sebelum 2014; 4) membuka luas kerja sama PTN dengan lembaga pendidikan internasional; 5) mendorong 11 PT masuk Top 500 THES pada 2014; 6) memastikan perbandingan guru:murid di setiap SD & MI sebesar 1:32 dan di setiap SMP & MTs 1:40; dan 7) memastikan tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) bagi Pendidikan Agama dan Keagamaan paling lambat tahun 2013.
[Sumber: RPJMN 2010-2014]
Seluruh substansi inti program aksi bidang pendidikan itu harus dilakukan dan diwujudkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Rencana Strategis Tahun 2010-2014.

3.   RENSTRA KEMENDIKNAS 2010-2014
Kebijakan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum dalam Renstra Kemendiknas tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut ini.
Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional 2010-2014

4.2 Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014
4.2.4 Penerapan Metodologi Pendidikan Akhlak Mulia dan Karakter Bangsa
Sistem pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif membangun siswa memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degradasi moral seperti penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar, pornografi dan pornoaksi, plagiarisme, dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara. Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Menanamkan pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan;
(2) Mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan soft skills yang meningkatkan akhlak mulia dan menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
(3) Menumbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban melalui pembelajaran aktif di lapangan;
(4) Penilaian prestasi keteladanan siswa yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.

4.2.5 Pengembangan Metodologi Pendidikan yang Membangun Manusia yang Berjiwa Kreatif, Inovatif, Sportif dan Wirausaha
Dalam mendukung Pengembangan Ekonomi Kreatif (PEK) tahun 2010-2014, yakni pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia perlu dirumuskan kebijakan pengintergrasian aspek yang menumbuhkan jiwa kreatif, inovatif, sportif dan wirausaha dalam metodologi pendidikan. Pengembangan metodologi pendidikan ini dilakukan melalui kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
(1) Melakukan kajian dan penyempurnaan kurikulum pendidikan dan pelatihan agar lebih berorientasi pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan siswa sedini mungkin;
(2) Meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang mendukung penciptaan kreativitas dan kewirausahaan pada siswa sedini mungkin;
(3) Menciptakan akses pertukaran informasi dan pengetahuan ekonomi kreatif antar penyelenggara pendidikan;
(4) Peningkatan jumlah dan perbaikan kualitas dan lembaga pendidikan dan pelatihan formal dan informal yang mendukung penciptaan insan kreatif dalam pengembangan ekonomi kreatif;
(5) Menciptakan keterhubungan dan keterpaduan antara lulusan pendidikan tinggi dan sekolah menengah kejuruan yang terkait dengan kebutuhan pengembangan ekonomi kreatif;
(6) Mendorong para wirausahawan sukses untuk berbagi pengalaman dan keahlian di institusi pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dalam pengembangan ekonomi kreatif;
(7) Fasilitasi pengembangan jejaring dan mendorong kerja sama antar insan kreatif Indonesia di dalam dan luar negeri.
[Sumber: Renstra Kemendiknas 2010-2014]
Sesuai dengan arah kebijakan dan penugasan secara khusus, selanjutnya Pusat Kurikulum dan Perbukuan menjabarkan aspek yang berkenaan dengan pengembangan kurikulum dan penguatan pelaksanaan kurikulum satuan pendidikan (KTSP) dengan melakukan rekonseptualisasi ide kurikulum, desain kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum.
Rekonseptualisasi ide kurikulum merupakan penataan ulang pemikiran teoritik kurikulum berbasis kompetensi. Teori mengenai kompetensi dan kurikulum berbasis kompetensi diarahkan kepada pikiran pokok bahwa konten kurikulum adalah kompetensi, dan kompetensi diartikan sebagai kemampuan melakukan sesuatu (ability to perform) berdasarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan.Ketetapan yang tercantum dalam Renstra Kemendikbud memperlihatkan arah yang jelas bahwa kurikulum baru yang dikembangkan perlu mempedulikan aspek-aspek potensi manusia yang terkait dengan domain afektif untuk pengembangan soft-skills yang seimbang dengan hard-skills.
Desainpengembangan kurikulum baru harus didasarkan pada pengertian bahwa kurikulum adalah suatu konstrak pendidikan yang utuh untuk jenjang pendidikan tertentu. Desain ini menempatkan mata pelajaran sebagai organisasi konten kurikulum yang terbuka dan saling berinteraksi. Desain kurikulum yang akan digunakan untuk mengembangkan kurikulum baru harus mampu mengaitkan antarkonten kurikulum baik yang bersifat horizontal maupun vertikal.
Dalam pengembangan kurikulum keseluruhan dimensi kurikulum, yaitu ide, desain, implementasi dan evaluasi kurikulum, direncanakan dalam satu kesatuan.Inilah sebenarnya yang menjadi inti dari pengembangan kurikulum (curriculum development).

BAB II
RASIONAL PENGEMBANGAN KURIKULUM


Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal.Disamping itu, dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman, perlu adanya penyempurnaan pola pikir dan penguatan tata kelola kurikulum serta pendalaman dan perluasan materi.Selain ituyang tidak kalah pentingnya adalah perlunya penguatan proses pembelajaran dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.

A.       Tantangan Internal

Tantangan internalpengembangan kurikulum baru terkaitdengan standar pendidikan dan faktor kependudukan Indonesia. Terkait dengan standar pendidikan, tantangan internal berkenaan dengan 8 Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan, standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan yang berpengaruh terhadap kualitas manusia Indonesia yang harus dihasilkan suatu kurikulum. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah yang belum memenuhi standar yang sudah ditetapkan. Data hasil akreditasi tahun 2012 menunjukkan bahwa untuk SMA, sebanyak 32% terakreditasi A, 43% terakreditasi B, 20% terakreditasi C dan sisanya 5% tidak terakreditasi. Selanjutnya untuk SMK, sebanyak 38% terakreditasi A, 46% terakreditasi B, 14% terakreditasi C dan sisanya 2% tidak terakreditasi. Hal ini menunjukkan bahwa kita memiliki tanggungjawab untuk terus mengupayakan agar semua sekolah memenuhi standar nasional pendidikan. Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Penduduk usia produktif ini harus disiapkan sedini mungkin melalui pendidikan berkualitas sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan antaralain oleh kurikulum yang mampu menjawab perubahan dan tantangan zaman.
Terkait dengan tantangan internal pertama, berbagai program dan kegiatan dilaksanakan untuk mengupayakan agar penyelenggaraan pendidikan dapat mencapai standar yang telah ditetapkan. Di dalam memenuhi Standar Pengelolaan, hal-hal yang dikembangkan antara lain adalah pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah. Rehabilitasi gedung sekolah dan penyediaan laboratorium serta perpustakaan sekolah terus dilaksanakan agar setiap sekolah yang ada di Indonesia dapat mencapai Standar Sarana-Prasarana yang telah ditetapkan.
Dalam mencapai Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, berbagai upaya yang dilakukan antara lain adalah peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru, pembayaran tunjangan sertifikasi, serta uji kompetensi dan pengukuran kinerja guru. Keempat standar tersebut dikembangkan untuk mendukung implementasi kurikulum yang lebih baik dan yang lebih memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan potensi dirinya.
Keempat standar lainnya, yaitu Standar Kompetensi Lulusan,Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian, merupakan standar yang terkait langsung dengan kurikulum. Standar-standar tersebut perlu secara terus menerus dikaji agar peserta didik dapat memiliki kompetensi yang telah dirumuskan. Kajian-kajian tersebut menyebabkan adanya perubahan dalam standar dan berdampak pada perubahan kurikulum.Gambar 1 memperlihatkan keterkaitan antara standar dan kurikulum.
Gambar 1

Terkait dengan tantangan yang kedua, saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035,yaitu pada saat angkanya mencapai 70% dari jumlah penduduk Indonesia. Komposisi ini mengandung makna bahwa kelompok produktif yang besar ini akan menjadi pendukung potensial bagi kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik ketika kelompok ini memiliki kompetensi yang diperlukan.Hal ini dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2

Dari Gambar 2 terlihat bahwa sampai tahun 2035, penduduk usia kerja menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa pada tahun 2020-2035 sumber daya manusia (SDM) Indonesia usia produktif akan melimpah. SDM yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan.Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Artinya, kurikulum harus memberikan kesempatan yang luas bagi penduduk usia sekolah untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan dirinya, masyarakat, bangsa, dan umat manusia.

B.        Tantangan Eksternal

Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan berkaitan dengan tantangan dan kompetensi yang diperlukan di masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai fenomena negatif yang mengemuka.Tantangan masa depan antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Di era globalisasi, dimana terjadi perubahan-perubahan yang sedang dan akan berlangsung dalam waktu cepat,dunia menjadi semakin transparan, terasa sempit, dan seakan tanpa batas.Hubungan komunikasi, informasi, dan transportasi menjadikan satu sama lain menjadi dekat sebagai akibat darihasil pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi informasi dan komunikasi. Arus globalisasi menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern seperti yang diindikasikan dengan dibentuknya WTO, ASEAN Community, APEC, dan AFTA. Tantangan masa depan juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, serta mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan.
Arus globalisasi dalam dunia pendidikan merupakan tantangan yang nyata di Indonesia. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for International Student Assessment) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA yang hanya menduduki peringkat empat besar dari bawah. Penyebab capaian yang rendah ini antara lain adalah karena banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat di kurikulum Indonesia.
Kompetensi masa depan yang diperlukan dalam menghadapi arus globalisasi antara lain berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, dan kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Disamping itu generasi Indonesia juga harus memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, dan memiliki rasa tanggung-jawab terhadap lingkungan.
Gambar 3 merangkum berbagai tantangan eksternal yang merupakan conditio sine qua non bagi dunia pendidikan Indonesia untuk memiliki kurikulum baru yang dapat menjawab tantangan eksternal.

Gambar 3
Dilihat dari persepsi masyarakat dan kajian para ahli, pendidikan di Indonesia saat ini dinilai terlalu menitik-beratkan pada aspek kognitif tingkat rendah dan beban siswa dianggap terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter. Pengetahuan tentang fakta yang hanya memerlukan kemampuan kognitif mengingat menjadi hasil belajar yang dominan, sedangkan kemampuan menerapkan apa yang sudah dipelajari di sekolah dan di masyarakat dan kemampuan berpikir kreatif sebagai dasar bagi kemampuan kreativitas baik dalam ilmu mau pun dalam aspek kehidupan tidak mendapat perhatian yang cukup dalam kurikulum. Demikian pula dalam aspek sikap dan kebiasaan yang menjadi dasar bagi pengembangan soft-skillstidak menjadi hasil belajar yang diandalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam hasil belajar ranah psikomotorik yang untuk menghasilkan kemampuan pada jenjang mahir dan kreatif memerlukan kemampuan kognitif tinggi dan nilai serta sikap yang tinggi pula. Akibat dari penguasaan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik pada jenjang rendah upaya pengembangan kurikulum menjadi suatu keharusan yang mendesak agar penduduk usia produktif memiliki berbagai kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk digunakan dalam mengembangkan kehidupan pribadi, masyarakat dan bangsa yang lebih baik.
Penyelenggaraan pendidikan juga perlu memperhatikan perkembangan pengetahuan yang terkait dengan perkembangan neurologi dan psikologi serta perkembangan pedagogi yang terkait dengan observation-based (discovery) learning,collaborative learning, dan Project-Based Learning. Ketiga pendekatan dalam belajar ini memungkinkan penerapan teori belajar tentang kemampuan berpikir, kebiasaan belajar, sikap, dan keterampilan psikomotorik. Kelompok kemampuan ini yang merupakan kompetensi utama dalam belajar dan termasuk ke dalam yang dinamakan developmental content, hanya dapat dikembangkan melalui suatu kegiatan belajar yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Kegiatan belajar yang dikembangkan dalam Observation-based learning, Collaborative Learning, dan Project-Based Learning memberikan kesempatan yang leluasa untuk mengembangkan kemampuan kelompok developmental content. Aplikasi dari kegiatan belajar yang demikian adalah pada pengembangan kurikulum yang memiliki desain sesuai dengan karakteristik konten tersebut dalam bentuk proses belajar. Artinya, diperlukan suatu desain kurikulum yang menerapkan proses belajar yang berkelanjutan dan berkesimbungan. Dengan perkataan lain organisasi konten yang berkesinambungan secara vertikal dan saling memperkuat secara horizontal.
Tantangan eksternal lainnya berupa fenomena negatif yang mengemuka antara lain terkait dengan masalah perkelahian pelajar, masalah narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam ujian, dan gejolak sosial di masyarakat (social unrest). Permasalahan sosial merupakan hal yang selalu harus mendapat perhatian kurikulum dan berpengaruh terhadap kurikulum, sebagaimana yang dikemukakanoleh Oliva (1992). Oliva mengatakan bahwa curriculumis a product of its time.... Curriculum reponds to and is changed by social forces, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history.Perubahan yang terjadi di masyarakat harus dijawab tetapi juga berpengaruh terhadap kurikulum sehingga perubahan kurikulum merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan.

C.       Penyempurnaan Pola Pikir

Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat terwujud apabila terjadi pergeseran atau perubahan pola pikir. Laporan BSNP tahun 2010 dengan judul Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI menegaskan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam menghadapi masa depan perlu dilakukan perubahan paradigma pembelajaran melalui pergeseran tata cara penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas atau lingkungan sekitar lembaga pendidikan tempat siswa menimba ilmu. Pergeseran itu meliputi proses pembelajaran sebagai berikut:
1.      Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa. Apayang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak, dan menulis, maka sekarang guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.
2.      Dari satu arah menuju interaktif. Mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola.
3.      Dari isolasi menuju lingkungan jejaring. Proses pembelajaran yang dominan sekarang adalah siswa hanya dapat bertanya pada guru dan berguru pada buku yang ada di dalam kelas semata, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh via internet.
4.      Dari pasif menuju aktif-menyelidiki. Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik-baik apa yang disampaikan gurunya agar mengerti, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya secara berkelanjutan dan meningkat dalam kualitas soal yang diajukan.
5.      Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata. Dalam proses pembelajaran, contoh-contoh yang diberikan guru kepada siswanya kebanyakan bersifat abstrak dan tidak terkait dengan kehidupan nyata siswa, kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan apa yang dipelajari di sekolah dalam kehidupan nyata sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan.
6.      Dari belajar yang bersifat individual menuju pembelajaran berbasis tim. Proses pembelajaran yang terjadi bersifat kelas tetapi pada dasarnya siswa belajar lebih bersifat personal atau berbasiskan masing-masing individu, maka kurikulum yang akan dikembangkan adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.
7.      Dari pengetahuan yang umum dan luas tapi tidak dapat digunakan dalam masyarakat menuju pengetahuan yang mendalam dan dapat digunakan dalam kehidupan di masyarakat.Pada saat sekarang, ilmu atau materi yang didesain dalam kurikulum lebih bersifat umum (semua materi yang dianggap perlu diberikan), maka kurikulum yang akan datang dipilih ilmu atau materi yang benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang diberikan).
8.      Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru. Dalam kurikulum yang berlaku, siswa hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru (mata dan telinga), maka dalam kurikulum yang akan datang semua panca indera dan komponen jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
9.      Dari alat tunggal menuju alat multimedia. Kurikulum yang berlaku terbatas pada menggunakan papan tulis untuk mengajar dan sedikit penerapan teknologi informasi, kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk dapat menggunakan beranekaragam peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia, baik yang bersifat konvensional maupun modern.
10.  Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif. Kurikulum yang akan datang haruslah didasarkan pada proses pembelajaran kooperatif, dimana siswa belajar dari teman sekelompok yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan memimpin kelompok dalam diskusi serta menyelesaikan masalah.
11.  Dari produksi massal menuju kebutuhan pelanggan. Jika kurikulum sekarang didesain untuk semua siswa tanpa kecuali untuk memperoleh bahan atau konten materi yang sama, maka kurikulum yang akan datang perlu mengakomodasi kebutuhan berbeda setiap siswa untuk mendapatkan konten sesuai dengan ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya.
12.  Dari usaha sadar tunggal menuju jamak. Jika kurikulum yang berlaku siswa harus secara seragam mengikuti sebuah cara dalam berproses maka yang harus ditonjolkan sekarang justru adanya keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.
13.  Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak. Kurikulum yang akan datang tidak boleh membatasi siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu sisi pandang ilmu, maka sekarang konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.
14.  Dari kontrol terpusat pada guru menuju pembelajaran yang memberikan otonomi dan kepercayaan kepada siswa. Kontrol dan kendali kelas untuk kurikulum yang akan datang tidak hanya pada guru tetapi siswa diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnya masing-masing.
15.  Dari belajar hafalan faktual menuju kemampuan berpikir kritis-kreatif. Kurikulum yang akan datang tidak lagi membahas pengetahuan yang hanya bersifat faktual tetapi dikembangkan kepada pengembangan kemampuan berpikir kritis-kreatif melalui pembahasan terhadap berbagai problema.
16.  Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Kurikulum yang berlaku mengembangkan “pemindahan” ilmu dari guru ke siswa, maka dalam abad XXI ini yang terjadi di kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan sesamanya.
Undang-undangSistem Pendidikan Nasional mengamanatkan kompetensi lulusan yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan pada tingkat individu, masyarakat, bangsa dan negara, serta peradaban. Pencapaian kompetensi lulusan dirumuskan dalam bentuk Standar Kompetensi Lulusan, yang menjadi acuan dalam pengembangan Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian.

D.       Pendalaman dan Perluasan Materi

Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua siswa Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4, 5, dan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini hanya satu, yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman.

Gambar 4


Analisis hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika dan IPA untuk siswa kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk bidang matematika, lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% siswanya mampu mencapai level tinggi dan advance. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan atau yang distandarkan di tingkat internasional.

Gambar 5

Untuk bidang IPA, pencapaian siswa kelas 2 SMP juga tidak jauh berbeda dengan pencapaian yang mereka peroleh untuk bidang matematika. Hasil studi pada tahun 2007 dan 20011 menunjukkan bahwa lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara hampir 40% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Dengan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan sama, kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah bahwa apa yang diajarkan kepada siswa di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan atau distandarkan di tingkat internasional.
Gambar 6

Hasil studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi untuk tingkat SMP seperti yang dipaparkan terdahulu. Dalam hal membaca, lebih dari 95% siswa Indonesia di SD kelas IV juga hanya mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Hal ini juga menunjukkan bahwa apa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan dan distandarkan pada tingkat internasional

Gambar 7

Hasil analisis lebih jauh untuk studi TIMSS dan PIRLS menunjukkan bahwa soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
-       low mengukur kemampuan sampai level knowing
-       intermediate mengukur kemampuan sampai level applying
-       high mengukur kemampuan sampai levelreasoning
-       advancemengukur kemampuan sampai level reasoning with incomplete information.

Domain
Topics
Biology
1.
Major organs and organ systems in humans and other organisms
2.
Cells and their functions, including respiration and photosynthesis as cellular process
3.
Reproduction and heredity
4.
Role of variation
&
adaptation in survival/extinction of species in a changing environ
.
5.
Interdependence of populations of organisms in an ecosystem
6.
Reasons for increase in world’s human population and
its
effects on the environment
7.
Human health (infection, prevention, immunity
)
and the importance of diet
&
exercise
Chemistry
1.
Classification, composition,
and particulate structure of matter (
inside atom
)
2.
Solutions (solvent, solute, concentration/dilution, effect of temperature on solubility)
3.
Properties and uses of common acids and bases
4.
Chemical change (transformation
,
conservation
,
oxidation
)
Physics
1.
Physical states and changes in matter
2.
Energy forms, transformations, heat, and temperature
3.
Basic properties/behaviors of light and sound
4.
Electric circuits and properties and uses of permanent magnets and electromagnets
5.
Forces and motion (forces, basic description of motion, effects of density
&
pressure)
Earth
Science
1.
Earth’s structure and
physical features
2.
Earth’s processes, cycles, and history
3.
Earth’s resources, their use, and conservation
4.
Earth in the solar system and the universe
Ada beberapa topik yang sebenarnya diajarkan di kelas IX, sehingga belum semua diajarkan pada
siswa SMP Kelas VIII yang mengikuti TIMSS
Tabel 1: Perbandingan Kurikulum IPA SMP Kelas VIII dan Materi TIMSS
Merah: Belum Diajarkan di Kelas VIII

Analisis lebih jauh untuk membandingkan kurikulum IPA SMP kelas 2 yang ada di Indonesia dengan materi yang terdapat di TIMSS menunjukkan bahwa terdapat beberapa topik yang sebenarnya belum diajarkan di kelas 2 SMP (Tabel 2). Hal yang sama juga terdapat di kurikulum matematika kelas 2 SMP di mana juga terdapat beberapa topik yang belum diajarkan di kelas 2. Lebih parahnya lagi, malah terdapat beberapa topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini, sehingga menyulitkan bagi siswa kelas 2 SMP menjawab pertanyaan yang terdapat di dalam TIMSS.

Domain
Topics
Number
1.
Computing
, estimating, or approximating
with whole numbers
2.
Concepts of fractions and computing with fractions
3.
Concepts of decimals and computing with decimals
4.
Representing, comparing, ordering, and computing with integers
5.
Problem solving involving percents and proportions
Algebra
1.
Numeric, algebraic, and geometric patterns or sequences
2.
Simplifying and evaluating algebraic expressions
3.
Simple linear equations and inequalities
4.
Simultaneous (two variable
s
equations)
5.
Representation of functions as ordered pairs, tables, graphs, words, or equations
Geometry
1.
Geometric properties of angles and geometric shapes
2.
Congruent figures and similar triangles
3.
Relationship between three
-
dimensional shapes and their two
-
dimensional represent
.
4.
Using appropriate measurement formulas for perimeters, circumferences, areas, surface
areas, and volumes
5.
Points on the Cartesian plane
6.
Translation, reflection, and rotation
Data &
Chances
1.
Reading and displaying data using tables, pictographs, bar, pie, and line graphs
2.
Interpreting data sets
3.
Judging, predicting, and determining the chances of possible outcomes
Ada beberapa topik yang tidak terdapat pada kurikulum saat ini, sehingga menyulitkan bagi siswa
kelas VIII yang mengikuti TIMSS
Tabel 2: Perbandingan Kurikulum Matematika SMP Kelas VIII dan Materi TIMSS
Merah: Belum Diajarkan di Kelas VIII

Hal yang sama juga terjadi di kurikulum matematika kelas 4 SD pada studi PIRLS di mana juga terdapat topik yang belum diajarkan ke kelas 4 dan topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini, seperti bisa dilihat pada Tabel 3.

Domain
Topics
Number
1.
Concepts of whole numbers, including place value and ordering
2.
Adding, subtracting, multiplying, and/or dividing with whole numbers
3.
Concepts of fractions
4.
Adding and subtracting with fractions
5.
Concepts of decimals, including place value and ordering
6.
Adding and subtracting with decimals
7.
Number sentences
8.
Number patterns
Geometry
Shapes and
Measu
-
rement
1.
Lines: measuring, estimating length of; parallel and perpendicular lines
2.
Comparing and drawing angles
3.
Using informal coordinate systems to locate points in a plane
4.
Elementary properties of common geometric shapes
5.
Reflections and rotations
6.
Relationships between two
-
dimensional and three
-
dimensional shapes
7.
Finding and
estimating
areas, perimeters, and volumes
Data
Display
1.
Reading data from tables, pictographs, bar graphs, or pie charts
2.
Drawing conclusions from data displays
3.
Displaying data using tables, pictographs, and bar graphs
Ada beberapa topik yang tidak terdapat pada kurikulum saat ini, sehingga menyulitkan bagi siswa
kelas VIII yang mengikuti TIMSS
Tabel 3: Perbandingan Kurikulum Matematika SD Kelas IV dan Materi TIMSS
Merah: Belum Diajarkan di Kelas IV
Dalam kaitan itu, perlu dilakukan langkah penguatan materi dengan mengevaluasi ulang ruang lingkup materi yang terdapat di dalam kurikulum dengan carameniadakan materi yang tidak esensial atau tidak relevan bagi siswa, mempertahankan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan menambahkan materi yang dianggap penting dalam perbandingan internasional. Disamping itu juga perlu dievaluasi ulang tingkat kedalaman materi sesuai dengan tuntutan perbandingan internasional dan menyusun kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan.


BAB III
LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


A.    Standar Dalam Pengembangan Kurikulum


Meskipun standar mempunyai beberapa pengertian yang tergantung pada konteks penggunaannya, namun suatu standar menurut Ravitch (1995) adalahboth a “goal” (what should be done) and a “measure” of progress toward that goal (how well it was done). Standar hidup sangat diperlukan dalam kehidupan manusia terutama di negara yang sudah modern.Oleh karena itu, penyediaan berbagai standar dalam berbagai bidang kehidupan (standard of living) di setiap negara sudah menjadi tuntutan global dan mutlak untuk diwujudkan. Standar dalam berbagai bidang kehidupan disusun dalam rangka memudahkan setiap orang untuk menentukan kepastian apa yang harus dilakukan dan mengukur sejauh mana keberhasilan pencapaiannya.

Begitu pula di bidang pendidikan, penyediaan standar berbagai komponen pendidikan sudah menjadi kecenderungan internasional.Misalnya negara anggota The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah membuat standar pendidikan yang berlaku untuk seluruh negara yang menjadi anggotanya.

Dengan adanya standar pendidikan yang jelas akan membuat kepastian bagi setiap orang dalam mencapai keunggulan yang hendak diraihnya dalam bidang pendidikan. Standar dalam pendidikan, agar tidak dipandang berbeda oleh orang-orang yang berbeda, perlu disertai dengan alat pengukur yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencapaiannya. Ravitch (1995) mengatakan bahwa a standard is not useful or meaningful unless there is some way to measure whether it is reached ---standar tidak berguna dan tidak bermanfaat jika tidak ada instrumen untuk mencapai standar tersebut. Kurikulum adalah instrumen atau cara untuk mengembangkan kualitas dan mencapai kualitas yang dinyatakan dalam standar terutama standar kompetensi lulusan.

Seperti halnya di negara-negara lain yang menganut kebijakan pengembangan kurikulum yang berbasis sekolah, berdasarkan UU Pemerintah Daerah, pendidikan di Indonesia sudah memberikan wewenang pengelolaan kepada pemerintah daerah, dan berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menganut paham standarisasi (standards-based education). Hal ini ditunjukkan dengan diberlakukannya berbagai standar pendidikan yang terdiri atas Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian. Standar nasional pendidikan diartikan sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia [Pasal 1 Ayat (17) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional].

B.     Landasan Filosofis Kurikulum


Landasan filosofis bagi pengembangan suatu kurikulum amat penting. Schubert (1986) menyatakan bahwaphilosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. Arti pentingfilosofi dalam suatu pengembangan kurikulum karena wawasan pengembang kurikulum didasari atas keyakinannya mengenai pendidikan sebagai proses pengembangan potensi peserta didik. Oleh karena itu Tanner dan Tanner (1986) mengatakan bahwa philosophy servesas both a source and an influence for educational objectives and curriculum development.
Untuk pengembangan kurikulum yang akan dilakukan, Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia menjadi sumber utama dan penentu arah yang akan dicapai dalam kurikulum. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai dasar yang dikembangkan dalam kurikulum. Cara pandang bangsa Indonesia yang tercantum dalam rumusan Pancasila dan menjadi pedoman dalam pengembangan kualitas bangsa Indonesia menjadi amanat penting dan utama dalam kurikulum yang akan dikembangkan.
Berdasarkan Pancasila, kurikulum dikembangkan atas dasar filosofi sebagai berikut:
1.      Kurikulum berakar pada budaya lokal dan bangsa (Dewantara, 1936; Bloomer, 1997). Kurikulum harus selalu didasarkan pada apa yang dimiliki budaya lokal dimana peserta didik hidup sampai kepada budaya nasional. Berdasarkan pandangan filosofi ini maka kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari budaya setempat dan nasional tentang berbagai nilai yang penting, dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dalam mengembangkan nilai-nilai budaya setempat dan nasional menjadi nilai budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka dan menjadi nilai yang dikembangkan lebih lanjut untuk kehidupan di masa depan. Filosofi ini memberikan arah dan proses pendidikan sebagai cultural transmission and cultural development.
2.      Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi eksperimentalisme yang mengatakan bahwa proses pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat baik dalam bentuk menjadikan apa yang terjadi di masyarakat sebagai sumber konten kurikulum mau pun mengembangkan potensi peserta didik sebagai agent of change dalam berpartisipasi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Manusia yang demokratis dalam sistem kehidupan bernegara, politik dan sosial adalah tujuan pendidikan yang harus menjadi kepedulian kurikulum.

3.      Filosofi  yang  dikenal dengan nama rekonstruksi sosial memberikan dasar bagi pengembangan kurikulum untuk menempatkan peserta didik sebagai subjek yang peduli pada lingkungan sosial, alam, dan lingkungan budaya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi intelektual, berpikir rasional, dan kemampuan membangun masyarakat demokratis peserta didik menjadi suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
4.      Filsofi esensialisme dan perenialisme yang menempatkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional sebagai aspek penting yang harus menjadi kepedulian kurikulum untuk dikembangkan. Manusia cerdas dan intelektual adalah manusia yang terdidik dan sekolah harus menjadi centre for excellence, di mana kurikulum memiliki tugas mengembangkan potensi manusia dalam aspek intelektual dan rasional semata. Filsafat esensialisme dan perenialisme  merupakan filsafat yang banyak digunakan dalam mengembangkan kurikulum di berbagai negara di berbagai belahan dunia dan penerapannya secara ekslusif akan menhasilkan manusia cerdas secara akademik tetapi kurang memiliki kepedulian sosial dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Dua filosofi ini harus digunakan bersama-sama filosofi lain yang diungkapkan di atas agar kurikulum dapat mengembangkan potensi intelektual jamak manusia.
5.      Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi eksistensialisme dan romantik naturalisme bahwa proses pendidikan adalah untuk mengembangkan rasa kemanusiaan yang tinggi, kemampuan berinteraksi dengan sesama dalam mengangkat harkat kemanusiaan, dan kebebasan berinisiatif serta berkreasi. Pandangan filsafat ini memberikan arahan bahwa setiap individu peserta didik adalah unik, memiliki kebutuhan belajar yang unik, serta perlu mendapatkan perhatian secara individual. Mereka adalah subjek dalam pendidikan yang memiliki kebebasan untuk menentukan kehidupan mereka.
Masing-masing filosofi tersebut memiliki keunggulan dan berkenaan dengan salah satu potensi manusia. Sedangkan pendidikan berkenaan dengan pengembangan seluruh potensi manusia atau seperti apa yang dinamakan dengan manusia seutuhnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Oliva (1997), pengembangan kurikulum adalahan eclectic approach to philosophy, choosing the best from several philosophies.Mengingat keunggulan setiap filosofi dan keterbatasannya dalam pengembangan potensi manusia, maka kepedulian utama kurikulum adalah pada pengembangan potensi manusia. Oleh karena itu kurikulum yang baru terkait dengan pengembangan berbagai potensi setiap anak menjadi kemampuan prima (intelligence) yang bersifat jamak. Dengan demikian maka kurikulum baru memanfaatkan setiap keunggulan filosofi menjadi sesuatu yang bersifat eklektik, mengingat posisi peserta didik sebagai manusia dengan beragam potensi yang mereka miliki untuk dapat dikembangkan menjadi beragam kemampuan prima.

C.    Kurikulum

Banyak definisi kurikulum yang dikemukakan para ahli.Pada dasarnya, definisi-definisi tersebut bersifat operasional dan sangat membantu proses pengembangan kurikulum, tetapi pengertian atau makna kurikulum yang diajukan tidak lengkap. Ada ahli yang mengemukakan bahwa kurikulum adalah pernyataan mengenai tujuan, ada yang mengemukakan bahwa kurikulum adalah suatu rencana tertulis (Tanner and Tanner, 1980), dan ada yang menyatakan bahwa kurikulum adalah pengalaman nyata yang dialami peserta didik dengan bimbingan sekolah (Saylor dan Alexander, 1980).Definisi yang dikemukakan sering hanya berkenaan dengan salah satu dimensi kurikulum, yaitu dimensi ide, dimensi dokumen, dan dimensi implementasi. Memang secara tekniskurikulum mencakup dimensi ide, dokumen tertulis, implementasi, dan hasil (Hasan, 2000) dan oleh karena itu definisi teknis yang dikemukakan seharusnya mencakup keempat dimensi tersebut, bukan hanya mengenai salah satu dimensi kurikulum.
Secara konseptual, kurikulum adalah jawaban pendidikan terhadap kebutuhan dan tantangan masyarakat (Oliva, 1997). Definisi ini sering dilupakan orang, padahal kurikulum dalam pengertian ini teramat penting karena definisi ini menggambarkan posisi pedagogis kurikulum dalam mengembangkan potensi peserta didik, dan landasan bagi pertanyaan utama yang harus dijawab ketika proses pengembangan suatu kurikulum akan dimulai. Oleh karena itu, pengertian ini sangat fundamental dan menggambarkan posisi sesungguhnya kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Atas dasar pemikiran tersebut, Klein (1999) menempatkan posisi kurikulum sebagaithe heart of education. Dengan posisi tersebut maka proses pengembangan kurikulum tidak boleh hanya terjebak pada pengertian kurikulum yang berkaitan dengan dimensi kurikulum semata danbersifat praktis tetapi dimulai dengan jawaban yang diberikan pendidikan terhadap tantangan masyarakat bagi kehidupan manusia Indonesia di masa kini dan masa mendatang. Setelah jawaban tersebut diperoleh maka proses pengembangan kurikulum sebagai rencana tertulis baru dapat dimulai, dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum sebagai proses pembelajaran, dan evaluasi hasil kurikulum.
1.      Kurikulum Sebagai Jawaban Pendidikan Terhadap Kebutuhan Bangsa
Dalam kedudukannya sebagai program pendidikan, secara filosofis dan konseptual, kurikulum adalah jawaban dunia pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dalam membangun kualitas generasi muda untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Oliva (1997:29) mengatakan:
Curriculum is a product of its time. Curriculum responds to and is changed by social forces, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history
Pengertian ini sangat mendasar menggambarkan hakekat kurikulum yang sebenarnya sebagai program pendidikan. Sebagai esensi dari proses pendidikan maka kurikulum dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat dan bangsa mengenai kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa depan(Jacobs, 2010). Dalam pengertian tersebut maka kurikulum adalah sesuatu yang dipersiapkan untuk membangun kehidupan bangsa, masyarakat, dan individu peserta didik di masa depan. Pembangunan kehidupan bangsa dan masyarakat dilakukan melalui pengembangan potensi individu peserta didik yang akan menjadi anggota masyarakat dan warganegara produktif suatu bangsa.
Oleh karena itu sudah seharusnya proses pengembangan kurikulum diawali dengan analisis tentang kehidupan masyarakat dan bangsa di masa depan, kualitas warga masyarakat dan warga negara yang akan melanjutkan dan mengembangkan kehidupan masyarakat tersebut ke arah yang lebih baik. Konsep kehidupan masyarakat dan bangsa tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat masa kini yang perlu dan harus dilanjutkan di masa depan, ditingkatkan, dan diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan masa mendatang. Untuk itu kurikulum harus menjawab tantangan yang berkaitan kualitas kemampuan yang perlu dimiliki generasi muda sebagai pewaris dan pengembang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya, kurikulum selalu berorientasi pada apa yang sudah dimiliki masyarakat dan bangsa masa kini dan apa yang perlu dimiliki masyarakat dan bangsa di masa depan untuk membangun suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang sehat dan bermartabat.
Kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa yang sehat dan bermartabat dimasa depan ditentukan melalui suatu keputusan politik bangsa. Keputusan politik tersebut dapat berbentuk Undang-Undang Dasar, undang-undang atau bentuk lainnya tergantung pada sistem pendidikan yang berlaku. Untuk Indonesia keputusan politik tersebut ditetapkan dalam UUD 1945, UU Sisdiknas, Standar Kompetensi Lulusan yan dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Daerah, dan ketetapan pada jenjang yang lebih rendah seperti Dewan Pendidikan atau pun Komite Sekolah, sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang dilayani suatu kurikulum. Kualitas kehidupan bangsa secara nasional tentu saja dibangun berdasarkan analisis kebutuhan nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta kehidupan antar bangsa. Kualitas kehidupan suatu masyarakat di daerah tertentu tentu saja ada persamaan dengan kualitas kehidupan berbangsa secara nasional tetapi juga memiliki kekhasan tertentu yang berbeda dari lingkungan masyarakat lainnya. Perbedaan-perbedaan itu merupakan kekayaan nasional ketika dan menjadikan suatu karakter bangsa yang utuh.
Dari pengertian kurikulum yang dikemukakan Oliva (1997) di atas tersurat bahwa kurikulum berubah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kekuatan sosial, perkembangan/perubahan filsafat yang digunakan, perkembangan psikologi, terutama psikologi pendidikan dan psikologi belajar, perkembangan pengetahuan, dan kepemimpinan di bidang politik dan pendidikan. Kelima faktor ini, selain menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum, juga menjadi landasan bagi pengembangan suatu kurikulum baru. Faktor kekuatan sosial dan kepemimpinan yang berpengaruh terhadap kurikulum menyebabkan kurikulum tidak dapat membebaskan diri dari kekuatan politik sesuai dengan ungkapan bahwa curriculum is politically viable. Kurikulum baru dapat dinyatakan berlaku apabila sesuai dengan kemauan politik dan oleh karenanya suatu kurikulum tidak dapat menempatkan diri sepenuhnya sebagai suatu produk pendidikan. Perubahan kurikulum di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Korea Selatan dan banyak negara lain termasuk Indonesia menunjukkan perubahan kurikulum terjadi juga karena adanya perubahan kebijakan politik dan perubahan kekuatan sosial yang kemudian berwujud pada kebijakan politik.




2.      Dimensi Kurikulum
Sebagaimana telah disebutkan di bagian terdahulu, secara kategorial pengertian kurikulum sebagai program pendidikan diberi arti dalam dimensi kurikulum berikut ini:
-             sebagai ide,
-             dokumen tertulis,
-             proses pembelajaran, dan
-             hasil belajar.
Kurikulum sebagai ide berisikan jawaban pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa untuk mengembangkan kehidupan masa depan masyarakat dan bangsa. Jawaban tersebut berupa penerapan filosofi dan teori pendidikan yang dianggap tepat dan berguna untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan bangsa, pemilihan teori, model, dan prinsip kurikulum yang akan digunakan dalam mengembangkan dokumen kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Kurikulum sebagai dokumen tertulis adalah rancangan mengenai kualitas yang akan dimiliki peserta didik, konten yang dipelajari untuk menguasai kualitas yang dirumuskan dalam tujuan, proses/pengalaman belajar yang diperlukan untuk menguasai konten, dan penilaian hasil belajar untuk membantu peserta didik dan guru mengenai tingkat pencapaian kemampuan seorang peserta didik setelah melalui proses belajar serta upaya yang harus dilakukan peserta didik dan guru untuk memperbaiki hasil belajar yang belum mencapai tingkat kemampuan yang dipersyaratkan.
Apa yang telah dikemukakan, yaitu kurikulum sebagai ide, dokumen tertulis, proses, dan hasil belajar, adalah dimensi kurikulum sebagai praksis pendidikan. Keempat dimensi tersebut saling terkait dan dapat digambarkan sebagai berikut (Hasan, 2010):
Gambar 8: Dimensi Kurikulum

Keempat dimensi tersebut terkait sangat erat. Ide kurikulum adalah pikiran pendidikan yang menentukan konten dan format dokumen kurikulumserta kurikulum sebagai pembelajaran. Dokumen kurikulum berisi rancangan mengenai komponen kurikulum seperti tujuan, materi, proses, dan penilaian. Selain ditentukan oleh kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai pembelajaran ditentukan pula oleh kurikulum sebagai dokumen. Kurikulum sebagai hasil  ditentukan secara langsung oleh kurikulum sebagai pembelajaran. Dengan demikian, kurikulum sebagai pembelajaran adalah faktor penentu hasil belajar peserta didik. Jika kurikulum sebagai pembelajaran tidak cukup baik menerjemahkan apa yang dirumuskan dalam dokumen kurikulum maka kurikulum sebagai hasil atau hasil belajar yang dimiliki peserta didik tidak akan mencapai apa yang dirancang dalam dokumen kurikulum.
Berbagai kondisi suatu lembaga pendidikan berpengaruh terhadap realisasi ide kurikulum yang tertuang pada dokumen kurikulum. Pengaruh tersebut dapat menjadi faktor mendukung pelaksanaan kurikulum tetapi dapat juga menjadi menjadi faktor penghambat. Apabila para pengembang kurikulum sebagai dokumen tidak mampu mengantisipasi berbagai kondisi berbeda di berbagai lembaga pendidikan dan jika pelaksanaan atau implementasi kurikulum tidak mampu mengatasi berbagai kondisi yang menjadi penghambat, maka kurikulum sebagai hasil atau hasil belajar yang dimiliki peserta didik bukanlah hasil yang dirumuskan dalam ide kurikulum dan dokumen kurikulum.
Keterkaitan keempat dimensi kurikulum pada Gambar 2 itu menunjukkan pula bahwa jika pengembang dokumen kurikulum (guru) tidak sepenuhnya mampu menerjemahkan ide kurikulum dalam suatu rancangan berupa dokumen kurikulum maka akan menimbulkan kurikulum sebagai hasil yang berbeda dari yang dirumuskan dalam kurikulum sebagai ide. Apabila pelaksanaan kurikulum tidak sesuai dengan dokumen kurikulum maka kurikulum sebagai hasil akan berbeda pula dari apa yang dirumuskan dalam dokumen kurikulum. Hasil belajar yang dimiliki peserta didik adalah hasil langsung dari learned curriculum, yaitu hasil yang diperoleh peserta didik dari pengalaman belajarnya dari suatu kurikulum. Pengalaman belajar tersebut ditentukan oleh apa yang diajarkan guru (taught curriculum) dan kemampuan, sikap, serta keterampilan yang dimiliki peserta didik pada waktu belajar.
Dalam situasi dimana terjadi perbedaan (discrepancy) antara satu dimensi kurikulum dengan dimensi lainnya maka hasil belajar yang dimiliki peserta didik bukan hasil belajar dari ide kurikulum dan dokumen kurikulum tetapi merupakan hasil belajar dari learned curriculum yang merupakan kurikulum sebagai sesuatu yang dialami peserta didik (observed curriculum) dalam proses implementasi kurikulum. Hasil belajar tersebut mungkin di bawah atau di atas apa yang diinginkan kurikulum. Untuk memperbaiki hasil belajar yang di bawah apa yang dirancang kurikulum maka perubahan yang harus dilakukan adalah terhadap learned curriculum dengan cara memperbaiki taught curriculum, yaitu memperbaiki performance guru sehingga apa yang diajarkan guru dan apa yang dialami peserta didik dalam belajar tidak berbeda secara mendasar. Artinya, ketika suatu kurikulum baru akan diimplementasikan maka guru perlu dipersiapkan secara mendasar sehingga guru memahami  ide kurikulum dengan baik, memiliki sikap yang dipersyaratkan kurikulum baru, dan ketrampilan dalam menterjemahkan ide dan desain kurikulum dalam bentuk taught curriculum yang sebangun dengan learned curriculum. Selain guru faktor lain yang dapat mendekatkan antara taught curriculum  dan learned curriculum adalah fasilitas belajar antara lain buku dan manajemen persekolahan yang memiliki kekuatan dalam membangun suasana kerja yang kolaboratif antar guru dan antara guru dengan kepala sekolah.
Dari keempat dimensi kurikulum tersebut, hasil adalah kompetensi yang dimiliki peserta didik dan merupakan variabel terikat. Sebagai suatu kenyataan di lapangan, variabel ini tidak dapat dikembangkan secara langsung tetapi tercapai melalui pengembangan ide kurikulum, dokumen kurikulum, dan implementasi kurikulum. Meski pun demikian, sebagai suatu hasil yang dirancang (ideal) maka kualitas yang harus dimiliki peserta didik berpengaruh terhadap pengembangan ide, dokumen, dan implementasi. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan kurikulum para pengembang secara langsung melakukan pengembangan dimensi ide, dokumen, dan implementasi yang dipercaya akan memberikan hasil belajar sebagaimana yang  diinginkan sebagai  kualitas hasil.
3.      Definisi Kurikulum
Pada umumnya definisi kurikulum terfokus pada salah satu dimensi-dimensi kurikulum yang telah dikemukakan di atas. Ruang lingkup kurikulum yang luas mencakup berbagai dimensi seringkali tidak tercermin dengan baik dalam definisi kurikulum. Seringkali, perhatian khusus dan yang terkait dengan  salah satu dimensi kurikulum menyebabkan kurikulum diidentikkan dengan dimensi yang didefinisikan. Tentu saja fokus pada salah satu dimensi menyebabkan proses pengembangan kurikulum menjadi lebih mudah dan prosedur pengembangan dapat dirinci dalam langkah-langkah yang cukup teknis. Kelemahannya definisi pada salah satu dimensi adalah keutuhan keseluruhan konstrak kurikulum tidak tergambarkan.
Perbedaan definisi terjadi karena ketidakutuhan persepsi terhadap dimensi kurikulum dan juga oleh teori pendidikan yang digunakan untuk memahami salah satu dimensi tersebut. Konsekuensi dari perbedaan tersebut sering melahirkan istilah-istilah teknis yang berbeda seperti misalnya kurikulum sebagai yang diajarkan guru (as taught), kurikulum sebagai kenyataan yang dialami peserta didik (as learned) kurikulum sebagai realisasi dari rancangan (as reality, as implemented).

Secara praktis, berbagai definisi kurikulum sebagai praksis pendidikan  dapat dikelompokkan sebagai berikut:
-          Kurikulum sebagai rangkaian hasil belajar
-          Kurikulum sebagai rangkaian rencana bahan ajar
-          Kurikulum sebagai pengalaman belajar
Kurikulum sebagai rangkaian hasil belajar menghasilkan kurikulum yang berorientasi hasil belajar (outcomes-basedcurriculum)(Oliva, 1997). Varian yang yang berkembang pada saat sekarang adalah model “competency-based curriculum”. Diantara tokoh yang menggalakkan pendekatan ini adalah Bloom, Popham dan Baker, dan Johnson. Dalam rancangan kurikulum proses penentuan kompetensi adalah suatu kegiatan penting karena hasil belajar diartikan sebagai kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut adalah kualitas yang diperlukan untuk kehidupan peserta di masa mendatang dalam lingkungan masyarakat dan bangsanya.
Definisi kurikulum yang dikemukakan oleh Popham dan Baker (1967) yang mengatakan: all planned learning outcomes for which the school is responsible. Demikian pula yang dikemukakan oleh Johnson (1967) bahwa kurikulum adalah  a structured series of intended learning outcomes. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa kurikulum adalah rancangan hasil belajar dimana Popham dan Baker (1967) menggunakan istilah planned learning outcomes sementara Johnson menggunakan istilah intended learning outcomes.
Dalam konsep kurikulum berdasarkan hasil belajar kegiatan penentuan hasil belajar menjadi sangat penting. Kriteria penting hasil belajar ditentukan oleh pandangan pendidikan yang berpengaruh sangat kuat terhadap kurikulum. Bagi penganut filsafat esensialisme dan perenialisme maka pendidikan adalah pendidikan disiplin ilmu dan oleh karena itu maka hasil belajar utama adalah kemampuan intelektual keilmuan dan konten kurikulum adalah teori, konsep, prinsip, dan fakta yang telah dikembangkan dan dihasilkan ilmuwan di bidang disiplin ilmu tersebut(Schiro, 2008). Sedangkan bagi pengikut rekonstruksi maka disiplin ilmu bukanlah dominan pendidikan tetapi kehidupan masyarakat yang menjadi dominan pendidikan. Oleh karena itu hasil belajar yang harus dirancang kurikulum adalah kompetensi sosial yang luas sehingga mencakup juga kompetensi intelektual keilmuan.
Kelompok kedua yang mengatakan kurikulum sebagai rangkaian rencana bahan ajar diwakili oleh definisi Orlosky dan Smith (1978). Orlosky dan Smith mengatakan bahwa kurikulum adalah curriculum is the substance of the school program. it is the content pupils are expected to learn. Pengertian ini mendominasi dunia pengembangan kurikulum di Amerika Serikat sejak awal abad ke 20 dan di Indonesia masih terus berlanjut. Perubahan kurikulum terjadi karena perubahan substansi walau pun Indonesia mengembangkan model kurikulum berbasis kompetensi.
Kelompok ketiga adalah mereka yang beranggapan bahwa kurikulum adalah serangkaian pengalaman belajar. Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar tidak setua pengertian kurikulum sebagai bahan pelajaran. Tokoh kurikulum seperti Goodlad (1963) dan Oliva (1982) dari Amerika Serikat dan Stenhouse dari Inggris adalah mereka yang menganut pandangan ini. Goodlad mengatakan bahwa a curriculum consists of all those learning intended for a student or group of students. Sedangkan Oliva mengatakan curriculum is the plan or program for all experiences which the learner encounters under the direction of the school. Keduanya memberikan tekanan pada pengalaman belajar yang secara nyata dialami peserta didik di suatu lembaga pendidikan. Perbedaannya adalah Goodlad menyatakan secara eksplisit bahwa pengalaman belajar tersebut dirancang sebagai sesuatu yang diinginkan sekolah sedangkan Oliva memberikan keluasan dengan mengatakan yang dialami/ditemukan di dalam proses yang diarahkan oleh sekolah sehingga menurut Oliva pengalaman tersebut dapat berupa sesuatu yang direncanakan lebih dulu tetapi dapat juga sebagai sesuatu yang muncul dari proses interaksi belajar yang terjadi. 
Tanner dan Tanner (1980) dapat dikatakan sebagai tokoh yang menjembatani antara kurikulum sebagai konten dan pengalaman belajar. Tanner dan Tanner (1980) mengatakan bahwa kurikulum adalah reconstruction of knowledge and experience, systematically developed under the auspices of the school (or university), to enable the learner to increase his or her control of knowledge and experience. Ada hal yang mengemuka dari pengertian kurikulum yang diajukan Tanner dan Tanner (1980) yaitu (1) kurikulum berkenaan dengan rekonstruksi pengetahuan dan pengalaman yang menjembatani pandangan bahwa kurikulum adalah penguasaan konten dan pengalaman. (2) Selanjutnya, definisi yan dikemukakan Tanner dan Tanner menempatkan peserta didik secara eksplisit sebagai subjek yang mengontrol pengetahuan dan pengalaman belajar yang dipelajarinya.
Secara yuridis, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan PemerintahNomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan pengertian kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian yang diungkapkan dalam kedua produk hukum itu dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum. Kegiatan pengembangan kurikulum (curriculum development) terdiri atas tiga kegiatan utama yaitu konstruksi kurikulum (curriculumconstruction), pelaksanaan kurikulum (curriculumimplementation), dan evaluasi kurikulum (curriculumevaluation).
Selanjutnya di dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan perlunya pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi. Ide kurikulum yang digunakan pada saat ini sangat dipengaruhi oleh filosofi progresif dan rekonstruksi sosial sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bagian B.

4.      Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dalam kategori yang konseptual, Oliva (1997) mengemukakan bahwa kurikulum berdasarkan kompetensi masuk dalam kelompok yang dinamakan outcomes-based curriculum.Dalam bentuknya yang masih awal, Oliva (1997) mengemukakan bahwa perkembangan ide kurikulum berbasis outcomes dapat ditelusuri sejauh pertengahan abad ke-19 oleh seorang pendidik terkenal Eropa yang bernama Herbert Spencer.Di Amerika Serikat perkembangan ide kurikulum berbasis outcomesdimulai pada awal abad ke-20 (Burke, 1995).Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Ralph Tyler tahun 1950 ketika yang bersangkutan mengembangkan proyek kurikulum tingkat nasional di Amerika Serikat. Ide ini kemudian dilengkapi oleh Bloom dengan mastery learning and competency basedcurriculum.
Kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Dalam pengertian ini berbagai ahli mengartikan kompetensi meliputi berbagai aspek kemampuan yang harus dimiliki seseorang. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi "pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat". Dalam pengertian yang lebih konseptual tetapi memiliki persamaan dengan apa yang telah dikemukakan kedua akhli tersebut, McAsham (1981) merumuskan kompetensi sebagai berikut:
Competency is knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which become parts of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behavior.

Pengertian di atas dapat dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Wolf (1995) dan Debling (1995), dan Kupper dan Palthe (1995). Wolf (1995) mengatakan bahwa esensi dari pengertian kompetensi adalah the ability to perform.Debling (1995) mengatakan bahwa "competence pertains to the ability to perform the activities within a function or an occupational area to the level of performance expected in employment".Sedangkan Kupper dan Palthe (1995) mengatakan bahwa "competencies as the ability of a student/worker enabling him to accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in work situations.Lebih lanjut Kupper dan Palthe (1995) mengatakan bahwa "these qualifications should be expressed in terms of knowledge, skills, and attitude".
Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide, dipengaruhi oleh pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan kompetensi yang dapat mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa depan. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi, pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam mengembangkan kualitas manusia Indonesia, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan sebagaimana dikatakanoleh Quillen (2001) sebagai berikut: The first part of the process of integration is to understand the theoritical and practical basis of a competency-based educational system.
Selanjutnya,kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.Perkembangan kemampuan baru dalam masyarakat menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh peserta didik. Oleh karena itu, Kupper dan Palthe (1995) mengingatkan bahwa kompetensi bersifat dinamis dan berkembang terus sesuai dengan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan yang berkaitan dengan kompetensi tertentu. Maknanya, penyesuaian SKL harus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, sehingga kurikulum yang dikembangkan untuk mencapai SKL tidak menjadi kadaluwarsa.
Dalam kegiatan pengembangan dokumen kurikulum berdasarkan kompetensi,  maka ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Salah satu prinsip yang utama adalah bahwa kompetensi inti menjadi milik dari suatu mata pelajaran tertentu. Hal ini mengandung makna bahwa mengembangkan setiap kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik harus dikembangkan oleh setiap mata pelajaran. Penerapan prinsip ini menghendaki agar sekolah mengembangkan desain konten kurikulum yang secara jelas memperlihatkan pada setiap pokok bahasan nilai dan ketrampilan yang dinyatakan dalam SKL. Setiap materi pengetahuan yang dipelajari pada setiap pokok bahasan setiap mata pelajaran, memiliki kewajiban untuk mengembangkan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang telah ditetapkan. Prinsip yang sama tentang pengembangan kompetensi harus diterapkan ketika sekolah mengembangkan dokumen kurikulum, dilanjutkan pada waktu mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk proses.


BAB IV
RANCANG BANGUN KURIKULUM


Kurikulum yang akan dikembangkan dibangun atas sejumlah karakteristik yang mampu menjawab tantangan kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia pada abad ke 21. Tantangan yang dikemukakan di bagian awal dan landasan teoritis kurikulum akan menentukan prinsip, struktur, karakteristik, dan desainkurikulum.

A.       Prinsip Pedagogis dan Psikologis Kurikulum

Kurikulum yang akan dikembangkan memiliki karakteristik yang dibangun atas dasar prinsip pedagogis dan psikologis sebagai berikut:
1.         Kurikulum bukan hanya merupakan sekumpulan daftar mata pelajaran karena mata pelajaran hanya merupakan sumber materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi;
2.         Kurikulum berakar pada budaya dan lingkungan sosial dimana kurikulum tersebut dilaksanakan;
3.         Kurikulum merupakan media pendidikan bangsa untuk membangun dan mengembangkan semangat kebangsaan, persatuan, cinta tanah air, cinta bahasa Indonesia, dan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia;
4.         Kurikulum harus disusun dengan memperhatikan proses dan hasil belajar karena pengalaman belajar dalam bentuk proses dan hasil belajar adalah dua hal yang sama pentingnya;
5.         Kurikulum harus mempertimbangka keseimbangan penguasaan kemampuanantara ranah sikap, pengetahuan, kognitif dan psikomotor. Keseimbangan tersebut tercermin dalam kompetensi yang akan dicapai oleh kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian hasil belajar;
6.         Kurikulum harus memberi kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan dan menerapkan apa yang sudah mereka pelajari dalam bentuk perilaku, kebiasaan, dan kemampuan di lingkungan kelas, sekolah,dan masyarakat;
7.         Kurikulum harus terkait dengan kehidupan masyarakat sehingga apa yang dipelajari peserta didik selalu memiliki kemungkinan untuk diterapkan di dalam kehidupan dan dapat digunakan untuk mendukung usaha-usaha perbaikan dan pengembangan kehidupan masyarakat;
8.         Kurikulum harus mengembangkan rasa ingin tahu, kreativitas dan kemampuan belajar seumur hidup yang menjadi dasar untuk belajar;
9.         Kurikulum harus memberi kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan kemampuannya;
10.     Kurikulum harus memberikan kesempatan belajar untuk pengembangan nilai, sikap, kebiasaan, kemampuan berpikir, dan keterampilan yang bersifat berkelanjutan dan saling mendukung antar mata pelajaran;
11.     Kurikulum harus menjamin proses pembelajaran yang memberikan pengalaman nyata bagi peserta didik untuk menerapkan pengetahuan yang sudah dipelajari dalam suatu situasi nyata/alami atau situasi khusus yang dirancang untuk kepentingan penerapan tersebut seperti laboratorium atau situasi lainnya.

B.        Struktur Kurikulum

Struktur kurikulum yang akan dikembangkan memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.   Sederhana, mudah dipahami, dan jelas menggambarkan posisi setiap mata pelajaran. Struktur kurikulum yang akan datang perlu dikemukakan dalam bentuk sederhana sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh pengambil kebijakan, pelaksana kurikulum, dan masyarakat.
2.   Untuk Sekolah Dasar, proses pembelajaran adalah tematik integratif berdasarkan prinsip belajar psikologi Gestalt.
3.   Berdasarkan sistem semester. Struktur kurikulum yang akan datang didasarkan pada sistem semester sebagai organisasi konten mata pelajaran dan sistem penyampaian.
4.   Memberikan kejelasan tentang beban belajar per minggu untuk setiap mata pelajaran berdasarkan analisis tugas belajar dan kemampuan fisik peserta didik.
5.   Memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan minat dan kemampuannya menguasai kompetensi yang diinginkannya.
6.   Berdasarkan pengertian kurikulum sebagai desain pedagogis untuk satu satuan pendidikan dan meninggalkan pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran.

C.       Karakteristik Kurikulum

Kurikulum yang dikembangkan memiliki karateristik sebagai berikut:
1.   kompetensi inti yang mengikat kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Hal ini merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai desain pedagogis untuk satu satuan pendidikan dan bukan daftar mata pelajaran yang masing-masing berdiri sendiri. Konten mata pelajaran yang bersifat umum dikembangkan dalam setiap peristiwa belajar (learning events) dan aktivitas belajar (learning activities) sedangkan konten yang bersifat khusus menjadi fokus dan inti untuk mengembangkan konten khusus suatu mata pelajaran dan konten umum mata pelajaran. Konten umum mata pelajaran adalah pengembangan sikap, kebiasaan dan ketrampilan berpikir. Konten khusus suatu mata pelajaran adalah substantive yang membangun body of knowledge suatu mata pelajaran, baik dari suatu disiplin ilmu mau pun gabungan atau integrasi dari berbagai disiplin ilmu (IPA, IPS).
2.   Memiliki elemen pengikat atau elemen pengorganisasi (organizingelement) yang mampu mengikat konten mata pelajaran secara horizontal (kesinambungan horizontal) untuk menjamin prinsip penguatan penguasaan kompetensi antar mata pelajaran sebgaimana yang dipersyaratkan dalam kurikulum berbasis kompetensi. Kesinambungan horizontal antar mata pelajaran terlihat pada kesesuaian jenjang kemampuan kompetensi setiap mata pelajaran.
3.   Memiliki elemen pengikat yang menunjukkan adanya kesinambungan vertikal antar konten dalam satu mata pelajaran. Kesinambungan vertikal terlihat pada keluasan dan kedalaman kompetensi yang dinyatakan dalam Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran.
4.   Berdasarkan teori belajar bahwa setiap peristiwa belajar (learningevents) adalah peristiwa dimana setiap peserta didik secara akumulatif mengembangkan kompetensi yang dipelajarinya.
5.   Mampu mengembangkan kreativitas dan softskills peserta didik yang dinyatakan dalam Kompetensi Dasar yang dikelompokkan pada kelompok sikap, baik sikap beragama maupun sikap pribadi dan sosial.
6.   Menggambarkan proses pembelajaran yang memiliki kemampuan mengintegrasikan aspek afektif, kognitif, dan psikomotor yang terintegrasi dalam peristiwa belajar dan kegiatan belajar (learningactivities).

D.       Desain Kurikulum

Desain kurikulum merupakan suatu rancang bangun kurikulum dalam kaitannya dengan aspek rumusan filosofi yang terkait dengan belajar dan mengajar, kompetensi dan pengalaman belajar yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik, lingkungan belajar yang akan mendukung peserta didik dalam mencapai kompetensi dan pengalaman belajar, dan cara untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi dan pengalaman belajar.
Dalam mendesain suatu kurikulum perlu dipertimbangkan bahwa perancang kurikulum sedang merencanakan “perjalanan intelektual” bagi peserta didik selama masa belajar di suatu satuan pendidikan tertentu atau dengan kata lain merencanakan peserta didik yang sedang “melakukan suatu rangkaian perjalanan pengalaman belajar” yang diharapkan. Dengan melalui perjalanan tersebut, peserta didik akanmemperoleh hasil belajar sesuai dengan kompetensi lulusan dari satuan pendidikan tertentu.
Kurikulum hanya merupakan salah satu elemen yang mempengaruhi bagaimana peserta didik Indonesia dipersiapkan melalui pendidikan untuk mengarungi kehidupan masa depannya di abad ke-21.Untuk itu, desain kurikulum harus mendukung harapan dalam skala tinggi untuk memungkinkan terjadinya peristiwa pembelajaran yang berkualitas dan terwujudnya budaya dan kepemimpinan sekolah, memenuhi kebutuhan dunia kerja dan industri, dan investasi sumber daya manusia, waktu, upaya, dan sumber-sumber lainnya secara luas.
Terkait dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, desain kurikulumnya mesti memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
·      Menantang, memotivasi, dan menyenangkan bagi seluruh peserta didik untuk mengikuti kegiatan belajar dan memperoleh pengalaman belajar
·      Memenuhi keluasan dan kedalaman sesuai dengan beban belajar dan karakteristik peserta didik pada satuan pendidikan tertentu
·      Memberikan kesempatan untuk mengembangkan dan mengunjuk-kerjakan kreativitas peserta didik
·      Berkelanjutan yang diwujudkan dengan rangkaian rumusan kompetensi mulai dari tingkat awal ke tingkat berikutnya
·      Menyediakan pelayanan individual dan pilihan yang memenuhi kebutuhan peserta didik dalam pengembangan potensi diri sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan
·      Melengkapi kegiatan belajar yang mesti terkait dengan pengalaman belajar yang hendak dicapai dan hubungan antara kedua hal tersebut harus tampak jelas
·      Memungkinkan peserta didik dapat mengetahui nilai kebaikan dari kegiatan belajar, pengalaman belajar, dan tujuannya serta relevansinya bagi kehidupan mereka pada saat ini dan masa depan.
Mengukur kegiatan dan pengalaman belajar secara jelas dengan alat ukur yang dapat mengidentifikasi atau mengungkapkan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Terkait dengan kepentingan guru, kurikulum berbasis kompetensi harus didesain untuk memfasilitasi guru menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran yang memenuhi antara tuntutan kompetensi dan kegiatan belajar-mengajar dan pengalaman belajar yang diharapkan dan meng-update kegiatan belajar-mengajar dan pengalaman belajar secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, terkait dengan kepentingan peserta didik, desain kurikulum harus memungkinkan setiap peserta didik pada berbagai tingkatan untuk memperoleh:
·      Dasar-dasar yang kuat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bermanfaat bagi mereka untuk belajar lebih lanjut
·      Praktik dalam bentuk pembiasaan untuk memperdalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dipelajarinya
·      Kemampuan umum dalam bentuk antara lain berpikir analitis dan kritis, penyelesaian masalah, dan bekerja sama dengan individu atau kelompok lain.


BAB V
STRATEGI DAN PROSEDUR PENGEMBANGAN KURIKULUM


A.    Strategi Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulumdilakukan melalui strategidan proses sebagai berikut:
1.   Manajemen pengembangan kurikulum dilakukan oleh tim dengan otoritas manajemen yang mampu mengaktifkan partisipasi aktif seluruh unsur kementerian dan lembaga yang terkait dengan pengembangan pendidikan. Dengan otoritas manajemen tersebut koordinasi antar komponen tim pengembang dapat dilakukan.
2.   Pengembangankurikulum baru dilakukan oleh tim yang terdiri atas tim teknis, tim inti, tim pengarah, dan tim nara sumber. Tim teknis berperan dalam menyiapkan materi yang diperlukan untuk pengembangan konten kurikulum. Tim inti berperan dalam mengembangkan ide kurikulum dan desain kurikulum serta mereviu konten yang telah dikembangkan oleh tim teknis. Tim pengarah berperan sebagai pengembang kebijakan kurikulum dan mereviu hasil pengembangan kurikulum. Tim nara sumber berperan sebagai pemberi saran dan arah pengembangan kurikulum untuk ditindak-lanjuti oleh tim inti dan tim teknis.
3.   Pengembangan kurikulum dilakukan setelah perumusan Standar Kompetensi Lulusan. Rumusan Standar Kompetensi Lulusan mencakup ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.
4.   Proses pengembangan kurikulum diawali dengan pengembangan ide kurikulum yang berupa proses deliberasi mengenai:(1) konsep kompetensi dan kurikulum berbasis kompetensi, (2) penyederhanaan konten kurikulum baik berupa jumlah mata pelajaran dalam struktur kurikulum maupun konten yang harus dipelajari peserta didik dari setiap mata pelajaran dan pemaknaan mata pelajaran yang lebih sesuai untuk kurikulum berbasis kompetensi, (3) pengembangan konsep organisasi vertikal dan horizontal, (4) pengembangan proses pembelajaran, dan (5) penentuan fokus serta instrumen penilaian.

B.     Prosedur Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum yang akan datang dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:
1.      Pengembangan Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Prosedur yang digunakan untuk pengembangankurikulum mengacu pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat 1 yang mengatur bahwa “Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan pemerintah.” Selanjutnya ayat 2 pada pasal yang sama mengatur bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.”
Di dalam Penjelasan Umum undang-undang yang sama dijelaskan bahwa “Pembaruan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: ... 2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi.” Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 35 yang terkait dengan kompetensi dijelaskan bahwa “Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.”
Penyusunan kurikulumdimulai dengan menetapkan Standar Kompetensi Lulusan berdasarkan kesiapan siswa, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan.Kemudian ditentukan Kerangka Dasar Kurikulum,Struktur Kurikulum, pengembangan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, dan silabus. Berdasarkan silabus, dikembangkan buku untuk siswa dan buku guru.
Keseluruhan proses penyusunan dokumen kurikulum dapat dilihat pada Gambar 5.
Kerangka Dasar Kurikulum meletakkan landasan pengembangan yuridis, filosofis, dan konseptual atau teoritis kurikulum yang akan dikembangkan. Secara garis besar landasan-landasan tersebut sudah dikemukakan dalam Naskah Akademik tetapi perlu dirinci lebih lanjut dalam Kerangka Dasar Kurikulum.Pengembangan Kerangka Dasar Kurikulum harus selalu terbuka untuk penyempurnaan dan penyesuaian sampai dokumen kurikulum dinyatakan telah selesai dan diundangkan secara resmi.
Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Selain itu, struktur kurikulum juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran.

2.      Penyusunan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Kompetensi Inti adalah terjemahan atau operasionalisasi Standar Kompetensi Lulusan dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu. Sesuai dengan arahan berdasarkan hasil temuan mengenai kualitas manusia Indonesia masa depan yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan, maka Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian hard skills dan soft skills.
Kompetensi Inti berfungsi sebagai unsur pengorganisasi (organising element) kompetensi dasar. Sebagai unsur pengorganisasi, Kompetensi Inti merupakan pengikat untuk organisasi vertikal dan organisasi horizontal. Organisasi vertikal konten kurikulum menunjukkan keterkaitan antara satu kelas atau jenjang ke kelas/jenjang di atasnya sehingga memenuhi prinsip pendidikan, yaitu terjadi suatu akumulasi yang berkesinambungan antara konten kurikulum. Organisasi horizontal adalah keterkaitan antara satu konten dengan konten lainnya dari mata pelajaran yang berbeda dalam satu pertemuan mingguan sehingga terjadi proses saling memperkuat.
Kompetensi Dasar adalah konten atau kompetensi yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bersumber pada kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri suatu mata pelajaran. Mata pelajaran sebagai sumber konten untuk menguasai kompetensi bersifat terbuka dan tidak selalu diorganisasikan berdasarkan disiplin ilmu yang sangat berorientasi hanya pada filosofi esensialisme dan perenialisme. Mata pelajaran dapat dijadikan organisasi konten yang dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu atau non disiplin ilmu yang diperbolehkan menurut filosofi rekonstruksi sosial, progresif atau pun humanisme. Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum yang akan dikembangkan adalah eklektik seperti dikemukakan di bagian landasan filosofi, maka nama mata pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang akan dikembangkan tidak perlu terikat pada kaedah filosofi esensialisme dan perenialisme.


3.      Penyusunan Silabus
Silabus merupakan rancangan pembelajaran suatu mata pelajaran yang berlaku untuk satu tahun pelajaran.Silabus memuat komponen-komponen: (1) identitas satuan pendidikan dan mata pelajaran, (2) tingkat kelas, (3) kompetensi inti, (4) kompetensi dasar, (5) indikator, (6) materi pembelajaran, (7) proses pembelajaran, (8) penilaian, (9) alokasi waktu, dan (10) sumber belajar.
Dengan silabus yang dirancang per satu tahun pelajaran maka prinsip kesinambungan antar kelas dalam satu mata pelajaran (organisasi vertikal) dapat dipertahankan dan guru antar kelas dalam mata pelajaran yang sama memiliki kesinambungan proses pembelajaran yang tinggi.
4.      Pendokumentasian Kurikulum
Pengembangan kurikulum diakhiri dengan pendokumentasian berbagai naskah sebagai berikut:
(1)         Dokumen Kurikulum Satuan Pendidikan (SD,SMP,SMA,SMK)
(2)         Dokumen Kurikulum untuk setiap mata pelajaran
(3)         Pedoman Pelaksanaan seperti KTSP, Proses, Penilaian, BK
(4)         Buku Siswa dan Buku Panduan Guru

(5)          

BAB VI
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KURIKULUM



A.    Implementasi Kurikulum

Implementasi kurikulum merupakantahapan dimana seluruh dokumen kurikulum digunakan sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Agar implementasi kurikulum berlangsung secara optimal diperlukan penyiapan seluruh perangkat yang mendukungnya, antara lain para pengguna kurikulum (guru, kepala sekolah, dan pengawas) serta sarana dan prasarana yang diperlukan.Penyiapan pengguna kurikulum dimaksudkan sebagai pemberianbekal melalui pelatihan dan pendampingan untuk membantu para pengguna kurikulum dalam mengatasi masalah yang muncul ketika kurikulum diimplementasikan.
Implementasi kurikulum dilaksanakan melalui dua strategi sebagai berikut:
1.      Implementasi Awal
Implementasi awal merupakan tahapan dimana dokumen kurikulum digunakan hanya di kelas dan satuanpendidikan tertentu.Misalnya implementasi kurikulum dimulai hanya di kelas I dan IV SD/MI, di kelas VII SMP/MTs, dan di kelas X SMA/MA/SMK.


2.      Implementasi Penuh
Implementasi penuh merupakan tahapan dimana dokumen kurikulum digunakan di seluruh kelas dan satuan pendidikan.Misalnya implementasi kurikulum dilakukan di seluruh kelas SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK.

B.     Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum dilaksanakan setelah kurikulum diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu, misalnya setelah diimplementasikan minimal satu tahun pelajaran.Evaluasi kurikulum akan dilakukan baik secara internal maupun secara eksternal.
Evaluasi kurikulum secara internal dilakukan oleh pengguna kurikulum, sedangkan evaluasi kurikulum secara eksternal dilakukan oleh pihak diluar pengguna kurikulum yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk melakukan evaluasi.
Hasil evaluasi kurikulum internal digunakan sebagai bahan untuk melakukan perbaikan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan masukan untuk para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Hasil evaluasi kurikulum eksternal digunakan sebagai: (1) pemetaan kekuatan dan kelemahan pelaksanaan kurikulum, (2) bahan untuk penyempurnaan naskah kurikulum sesuai dengan kebutuhan baik secara parsial maupun secara keseluruhan, dan (3) masukan untuk para pengambil keputusan di bidang pendidikan.

BAB VII
PENGELOLAAN



Pengelolaan kurikulum mutlak diperlukan agar implementasi kurikulum dapat berlangsung secara optimal.Pengelolaan kurikulum merupakan pengaturan kewenangan di bidang kurikulum pada tingkat nasional, daerah, dan satuan pendidikan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum.
Berikut adalah diagram pengelolaan kurikulum yang meliputi tingkat nasional, daerah, satuan pendidikan dan sistem masukan antar ketiga jenjang pengelolaan tersebut.
Hermana Somantrie, 2010
Pada tingkat nasional, Pemerintah berwenang atas penyiapan dokumen-dokumen kurikulum, pedoman pelaksanaan kurikulum, buku teks pelajaran, dan pelatihan guru.Pada tingkat daerah, pemerintah daerah berwenang mengelola kurikulum dalam penyiapan dokumen kurikulum, buku panduan guru, dan buku teks pelajaran untuk muatan lokal.Satuan pendidikan berwenang mengelola kurikulum dalam pengembangan dan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan termasuk rencana pelaksanaan pembelajaran dan pelaksanaannya sesuai dengan potensi, minat, bakat, dan kemampuan peserta didik dalam lingkungan belajar.

BAB VIII
PENUTUP


Pengembangan kurikulum perlu dilaksanakan dengan mempertimbangkan dan mengutamakan kepentingan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.Selain itu, keberadaan kurikulum menjadi instrumen persatuan bangsa dalam wilayah NKRI.
Pengelolaan kurikulum di tingkat nasional, daerah, dan satuan pendidikanperlu diwujudkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Atas dasar itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka mengutamakan kepentingan nasional dan menjaga persatuan bangsa dalam wilayah NKRI perlu segera mengambil langkah sebagai berikut:
1.    Menetapkan kebijakan untuk mewujudkan adanya konstelasi pengelolalan kurikulum yang merupakan rangkaian utuh dan logis, kurikulum tingkat nasional, kurikulum tingkat daerah, dan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
2.    Menetapkan kebijakan untuk menyempurnakan atau mengamandemen peraturan terkait dengan standar nasional pendidikan dan kurikulum yang tidak selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3.    Membentuk satuan tugas untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA


Dokumen Peraturan Perundang-undangan:
1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.
3.        Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
4.        Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
5.        Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.
6.        Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
7.        Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
8.        Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014.
9.        Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
10.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.


Buku Ilmiah:
Alma, Buchari. (2009). Kewirausahaan. Bandung: Penerbit ALFABETA.
Armstrong, David G. (1989). Developing and Documneting the Curriculum. Boston: Allyn and Bacon.
Aunurrahman.(2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit ALFABETA, CV.
Badan Pusat Statistik. (2009). Data Statistik Penduduk Indonesia Menurut Jenis Kegiatan. Jakarta: BPS.
Benninga, Jacques S., Marvin W. Berkowitz, Phyllis Kuehn, Karen Smith. (2003). The Relationship of Character Education Implementation and Academic Achievement in Elementary Schools. Journal of Research in Character Education, 1(1), 2003, pp. 19–32.
Bloom, Benjamin S. (1976).Human Characteristics and School Learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bloomer, M. (1997).Curriculum Making in Post-16 Education. London dan New York: Routledge
Calhoun, Craig, Donald Light, & Suzanne Keller.(1994). Sociology. New York: McGraw-Hill, Inc.
Cole, Peter G. & Lorna KS Chan. (1994).Teaching Principles and Practice. New York: Prentice Hall.
Dewantara, Ki-Hajar.(1936). Pendidikan dan Pengajaran. Yogyakarta: Taman Siswa.
Glatthorn, Allan A. (1987). Curriculum Leadership. Glenview, IL: Scott, Foresman, and Company.
Goodlad, J.I. et al. (1979), Curriculum Inquiry: the Study of Curriculum Practice. New York: McGraw-Hill Book Company
Hasan, S.H. (1984): An Evaluation of the 1975 Secondary Social Studies Curriculum Implementation in Bandung Municipality. Sydney: Macquarie University. Unpublished Ph.D Thesis
Hasan, S.H. (2000). Evaluasi Kurikulum. Bandung. Rosda
Hirsch, E.D. (1999). The Schools We Need and Why We Don’t Have It. New York: Anchor Books Double Day.
Howkins, John. (2001). The Creative Economy, How People Make Money from Ideas. New York: Penguins Book.
Huntington, Samuel P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh M. Sadat Ismail. Jakarta: Penerbit Qalam.
Jacobs, H.H. (Ed)(2010). Curriculum 21: Essential Education for a Changing World. Alexandria, Virginia: ASCD
Jenlink, Patrick. (1995). Systemic Change: Touchstones for the Future School. Arlington Heights, IL: IRI/Skylight Training and Publishing.
Johnson,M. (1967). Definitions and Models in Curriculum Theory. Educational Theory 17, 127-140
Kasmir.(2006). Kewirausahaan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Klein, M.F. (1992). Curriculum reform in the elementary school.Creating your own agenda. New York and London: Teacher College Columbia University
Kementerian Pendidikan Nasional.(2010). Draf Pedoman Pengambangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa [Belum Dipublikasi]. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Kristanto, Heru R. (2009). Kewirausahaan (Entrepreneurship). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kupper,H.A.E. dan Arnold A.W. van Wulfften Palthe (1995), Competency-based curriculum development, Experiences in Agri Chain Management in the Netherlands and in China. Indiana University Medical Sciences Program (1995). Implementation of the Competency Based Curriculum in Bloomington. Available at http://medsci.indiana.edu, tanggal 9 Mei 2002.
McNeil, Linda M. (2000). Contradictions of School Reform. New York: Routledge.
Miller, John P. & Wayne Seller. (1985). Curriculum: Perspectives and Practices. New York: Longhorn.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2004). Handbook for Internationally Comparative Education Statistics: Concepts, Standards, Definitions, and Classifications. Paris, France: OECD Publication.
Oliva, Peter F. (1982). Developing the Curriculum. Boston: Little, Brown, and Co.
Pink, Daniel H. (2006).A Whole New Mind. New York: Rinehead Books.
Popham,W.J. dan Baker,E.L. (1970). Establishing Instructional Goals. Englewood Cliffs,New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Quillen,D.M. (2001). Challenges and Pitfalls of Developing and Applying a Competency-based Curriculum. Family Medicine, Oktober 2001.
Ravitch, Diane. (1995). National Standards in American Education. Washington, DC: Brooking Institution Press.
Roback, AA. (1928). The Psychology of Character: With a Survey of Temperament. New York: Harcourt, Brace.
Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran berorientasi pada Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Savage, Tom & David G. Armstrong.(1987). Effective Teaching in Elementary Social Studies. New York: MacMillan Publishing Company.
Scchiro,M.S. (2008). Curriculum Theory: Conflicting Visions and Enduring Concerns. Los Angele: Sage Publications.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum:Perpective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan Publishing Company.
Spring, Joel. (1989). American Education: An Introductory to Social and Political Aspects. New York: Longman.
Suherman, Eman. (2008). Kewirausahaan: Modal, Model, dan Modul. Bandung: Penerbit ALFABETA.
Taba, Hilda. (1962). Curriculum Development: Theory and Practice. New York: Harcourt Brace and World.
Tanner, Daniel & Laurel N. Tanner. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Co.
Tilaar, HAR. (2004). Multikulturalisme: Tantang-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Timmons, Jeffry & Stephen Spinelli. (2007). New Venture Creation, Entrepreneurship for the 21st Century. New York: McGraw-Hill, Inc.
Wagner, Tony. (2008). The Global Achievement Gap. New York: Basic Books. A Member of the Perseus Books Group.
Watt, Michael G. (2006). From National Curriculum Collaboration to National Consistency in Curriculum Outcomes: Does this Shift Reflect a Transition in Curriculum Reform in Australia? Tasmania, Australia: Sandy Bay Publication

Tidak ada komentar:

Posting Komentar