Kamis, 30 Mei 2013

KONSELOR MASA DEPAN



A. PENDAHULUAN
            Dengan dicantumkannya konselor sebagai salah satu tenaga pendidik pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, merupakan salah satu indikator bahwa konselor sebagai salah satu profesi  kiprahnya mulai diterima masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, tonggak yang bersejarah ini harus dimanfaatkan dan dijadikan landasan kuat dalam melakukan evaluasi diri sebagai bagian dari upaya membangun profesi  yang profesional.
            Orientasi kinerja profesional tidak bisa lepas dari perkembangan kehidupan profesi masa lalu, sekarang dan tantangannya di masa depan. Karena itu sudah sepantasnya apabila telaahan bukan hanya difokuskan kepada hal-hal yang bersifat praktis dan dukungan sistem kehidupan saat ini, melainkan sampai kepada aspek-aspek yang membungkus profesi konselor untuk tetap eksis dan lebih maju daripada masa lalu bahkan daripada profesi yang lainnya.
         

Dalam kaitannya dengan tataran evaluasi dan pengembangan profesi konselor itulah, makalah ini berusaha mengkaji berbagai aspek yang memiliki keterkaitan dengan:
1)     Peluang dan Tantangan Abad Komunikasi dan Teknologi Informasi;
2)     Pemaknaan Life Skill dan Belajar Sepanjang Hayat;
3)     Diversifikasi Kebutuhan Layanaan Konseling;    
4)     Profesionalisasi dan Deprofesionalisasi Konseling.
Kajian mengenai aspek-aspek tersebut di atas, diakhiri dengan implikasi kompetensi dan aspek etis yang perlu dimiliki seorang konselor dengan harapan mampu memberikan wawasan dan warna yang lebih jelas bagi anggota profesi konselor dalam menekuni kinerja profesionalnya.
           
B. Peluang dan Tantangan Abad Komunikasi dan Teknologi Informasi
Abad 21 sering dikatakan sebagai era globalisasi. Dekade ini memberikan nilai-nilai dan dampak baru bagi tatanan kehidupan manusia pada umunnya. Demikian pula dalam kehidupan kebudayaan terjadi perubahan citra dengan adanya kebudayaan global yang mendesak dan menggoyang sendi-sendi budaya lokal. Ditopang dengan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, umat manusia benar-benar menjadi satu. Nampaknya tidak ada lagi sudut-sudut wilayah bumi yang tersekat dan terisolasi berkat kemajuan teknologi informasi dan kemunikasi itu. Kini umat manusia bukan lagi berbicara jarak antara suatu negara dengan negara lainnya yang dihitung dalam satuan hari atau jam melainkan dalam hitungan detik karena cybernet dan cybernation (Sunaryo Kartadinata, 2002).
Dengan keadaan dunia tanpa batas, perdagangan bebas, dan dunia yang terbuka mendorong manusia untuk lebih saling mengenal satu sama lain, lebih saling mengenal kemampuan suatu bangsa, mengetahui kekayaan dan kebudayaan bangsa lain, maka dengan sendirinya manusia semakin memperoleh pengetahuan yang lebih banyak dan luas.
Berdasarkan peluang dan tantangan tersebut di atas, globalisasi membawa nilai-nilai baru yang perlu diterjemahkan oleh semua pihak, termasuk konselor agar nilai-nilai itu dapat mendorong terwujudnya dan tercapainya kehidupan manusia  yang lebih berkualitas dan bermakna. Sebab bila kita hanya bangga dengan keterbukaan yang membawa kemajuan bidang komunikasi, teknologi informasi, sumber energi dan alternatif bahan barunya, tetapi tidak merasa tersentak dan “berpikir panjang” dengan  keadaan yang mendorong munculnya kesukuan, terorisme, kesenjangan Barat dan Timur, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, kerusakan lingkungan dan kebebasan yang kebablasan, maka tidak menutup kemungkinan manusia hanya akan menjadi korban kemajuan serta tidak pernah memahaminya bahkan menikmati kemajuan itu.  Oleh sebab itu wajar bila Moch. Djawad Dahlan (2002), mengingatkan  bahwa pengembangan sumber daya manusia pada hakikatnya bertumpu pada keunggulan akhlak dan moral bangsa. Jika pada bidang akhlak ini cukup berhasil, kita akan mudah mengembangkan keunggulan di bidang lainnya. Senada dengan hal itu H.A.R. Tilaar (1999) mengemukakan bahwa untuk menyikapi keadaan ini diperlukan munculnya manusia yang memiliki sifat keunggulan. Baik keunggulan secara individualistik maupun keunggulan partisipatoris. Keunggulan partisipatoris adalah keunggulan manusia yang mampu menggali dan mengembangkan potensinya untuk mencari jalan terbaik dan mampu survive dalam kemajuan dan persaingan yang semakin tajam. Bukan berarti bahwa mereka memiliki kebebasan untuk membunuh potensi manusia yang  lainnya tetapi tetap harus tumbuh bersama dalam keadaan sejahtera. Lebih jauh dikemukakan bahwa “ Kehidupan manusia abad 21 seseorang diarahkan kepada terciptanya suatu masyarakat madani (civil society) yaitu suatu masyarakat yang mengenal akan hak dan kewajiban masing-masing anggota dan secara bersama-sama bertanggungjawab terhadap umat manusia, seluruh umat manusia membangun masyarakat madani di mana perdamaian dan keadilan menjadi nilai-nilai tertinggi” (Dedi Supriadi, 2002).
Menurut Rogers (William A. Wallace, 1986), manusia adalah makhluk yang tidak pernah selesai. Karena itu wajar apabila manusia  dipandang sebagai individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Di samping itu, terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu berlangsung secara mulus, atau steril dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang seseorang anut.  
Perkembangan manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, maupun sosial. Sifat inheren  lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan, dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) manusia sebagai bagian dari warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,  maka  akan melahirkan diskontinuitas perkembangan perilaku individu, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi, atau penyimpangan-penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan diskontinuitas perkembangan tersebut, seseorang diantaranya : ledakan penduduk, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perkembangan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan yang kurang sehat,  ternyata mempengaruhi  perkembangan pola perilaku atau gaya hidup  sebagian manusia yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlaq yang mulia), seperti :  pelanggaran tata tertib masyarakat, tawuran, meminum mi-numan keras, penyalahgunaan obat-obat terlarang, narkotika, ekstasy, putau, kriminalitas, dan pergaulan bebas , bahkan memandang manusia lain sebagai bahan santapannya.

 

C. Pemaknaan Life Skill dan Belajar Sepanjang Hayat

Kemajuan zaman yang memberikan peluang dan tantangan sama besarnya memunculkan kultur kehidupan manusia yang bukan hanya  berorientasi pada aspek keunggulan dan kecepatan waktu tetapi secara terbuka menuntut proses pembelajaran sebagai wahana dan fasilitas yang terorganisir untuk menjadikan manusia yang memiliki pemenuhan kebutuhan belajarnya.  Kebutuhan belajar individu sebagai pribadi dan sosial mengimplikasikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya terbatas kepada sekat persekolahan dan guru tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar tetapi lebih terbuka kepada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan proses pembelajaran E–learning (Sayling Wen, 2003). Implikasi pemenuhan kebutuhan belajar individu (learning needs)  sebagai pribadi dan sosial mengisyaratkan pembelajaran tidak hanya terfokus kepada empat hal, yaitu learning to know, learning to do, learning to live with together/others dan learning to be, sebagaimana pilar pendidikan yang dikemas UNESCO (1996), tetapi individu pun dituntut untuk belajar bagaimana belajar dilakukan (learning to learn). Dalam konteks yang terakhir itu (learning to learn), nilai-nilai etis dan moral sebagai landasan kehidupan diharapkan memberikan warna positif bagi perilaku belajar dan kehidupan pada umumnya.
(1) Learning to know
Penguasaan materi dalam bentuk pengetahuan sebenarnya merupakan tahap paling sederhana sebagaimana dikemukakan Benyamin Blomm dengan taksonomi perilaku kognitifnya, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, sintesa, analisa dan evaluasi. Apabila target suatu pembelajaran hanya menekankan kepada  penguasaan sejumlah pengetahuan, maka secara tidak disadari proses pembelajaran itu tidak akan bermakna apa-apa bagi kehidupan manusia selanjutnya. Karena itu target ini harus ditindaklanjuti dengan latihan pemecahan masalah dan analisis peristiwa secara nyata dalam kehidupan manusia sehari-hari.

(2) Learning to do
Istilah apal cangkem merupakan tabu dalam konsep belajar untuk bisa (learning to do), sebab konsep pembelajaran learning to do bukan hanya menekankan kepada aspek pengetahuan dan pemahaman tetapi sampai kepada kemampuan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, konsep John Dewey dengan learning by doing-nya harus merupakan kejaran strategi dimana proses pendidikan dan pembelajaran itu dilakukan, sehingga target akhir suatu proses pendidikan atau pembelajaran adalah sampai pada tarap bisa melakukan sesuatu sebagai bekal dan jalan dalam mencari dan memenuhi kebutuhan ekonomi kehidupan manusia.
(3) Learning to life with together/others
Keberhasilan proses pembelajaran pada dasarnya ditandai dengan kebermaknaan kehidupan seorang manusia  pada masa yang akan datang. Makna hidup itu tidak hanya bagi dirinya sebagai individu tetapi barmakna juga bagi masyarakat dan lingkungan dimana seseorang berada.  Ini berarti bahwa keberhasilan proses belajaran yang diraih seorang manusia melalui kompetisi dengan orang lain tidak menjadikan dirinya keluar dari lingkungan, tetapi hendaknya menjadi modal pemahaman dan pengakuan atas kemampuan, kelemahan dan perbedaan  dirinya dengan orang lain sehingga dalam kehidupannya selalu mampu berjalan seiring dan seirama selamanya.
(4)   Learning to be
Kemampuan seseorang pada dasarnya merupakan modal untuk menjadi dirinya sendiri, dan Maslow sering mengistilahkan dengan sebutan aktualisasi diri (Lindzey G. & Hall Calvin S., 1978). Aktualisasi diri merupakan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peringkat paling tinggi, Karena itu, bagaimana proses pembelajaran dilakukan agar mampu membantu dan membentuk seorang manusia menjadi dirinya sendiri. Sehingga kehidupan, kebiasaan, dan prestasi seorang manusia tidak merupakan bayang-bayang dan gambaran orang lain atau hanya meniru-niru gaya orang lain atau bahkan hanya keinginan orang lain sementara yang bersangkutan tidak merasakan apa-apa. Kemandirian akan mendorong manusia untuk memiliki otonomi pribadi secara penuh serta pemaknaan tanggung jawab atas dampak dan konsekuensi kemandiriannya.
(5)   Learning to learn
Dalam konsep belajar sepanjang hayat (long life  education) mengandung makna bahwa proses pembelajaran akan berhenti hanya jika jiwa berpisah dengan raganya. Artinya proses belajar itu tidak akan pernah terhenti dengan sekat-sekat pendidikan masyarakat secara formal. Begitu pula proses belajar yang berorientasi learning to learn hendaknya memberikan nuansa dan kondisi-kondisi agar manusia-manusia terdorong untuk selalu belajar dan belajar. Bagaimana seseorang belajar atas keberhasilan yang diraih saat ini untuk dijadikan modal pada masa depan dan bagaimana seseorang mempelajari kegagalan yang dihadapi saat ini agar tidak ditemukan dalam kurun waktu selanjutnya.
(6)   Mendekatkan diri kepada Allah SWT
Seorang bijak mengatakan bahwa hidup ini adalah sebagai jalan bagi kehidupan yang lebih kekal. Artinya kehidupan di dunia  harus dijadikan sebagai upaya pencarian jalan dan investasi terbaik untuk mempermudah kehidupan di akhirat nanti. Dengan kata lain baik dalam keadaan bahagia maupun menderita pendekatan diri kepada  Allah SWT hendaknya merupakan kebutuhan dan tetap dijalankan dengan suatu landasan keimanan dan keikhlasan.

D. Diversifikasi Kebutuhan Layanaan Konseling
Munculnya kultur kehidupan manusia yang berorientasi keunggulan dan kecepatan memberikan warna keluasan dan kebebasan manusia dalam mencari jalan kehidupannya. Dalam situasi seperti ini, bukan saja peluang yang sangat terbuka bagi seseorang untuk memasuki bidang lain tetapi konsekuensi produktivitas dan efisiensi kerja semakin tinggi sehingga memunculkan rasionalisasi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana. Dengan kata lain, situasi ini bukan saja memunculkan kesempatan untuk memperoleh  formasi dan peluang karir yang semakin luas tetapi memunculkan pula penyakit-penyakit secara fisik dan psikhis bahkan penyakit sosial  yang makin merajalela.
Memaknai dan menterjemahkan kenyataan ini, menuntut reorientasi layanan konseling yang tidak lagi dipandang dan hanya diperuntukan sebagai kegiatan dalam setting persekolahan tetapi harus  dilakukan sebagai warna dan alternatif  baru yang mampu memberikan  bantuan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam menemukan makna kehidupan bagi manusia pada umumnya (Sunaryo Kartadinata, 2002). Ini berarti bahwa kemajuan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih dan menyebabkan kompleksitas kehidupan manusia yang semakin rumit memberikan peluang bagi pengembangan profesi konselor  untuk menempati ruang dan koridor-koridor khusus seperti, konselor dalam setting karir,  perusahaan, lintas budaya, masyarakat dan keluarga, pasca traumatis dan penyakit sosial lainnya (kesehatan mental)

E.    Profesionalisasi dan Deprofesionalisasi Konseling

Kekuatan eksistensi suatu profesi bergantung kepada pengakuan dan kepercayaan masyarakat atau public trust (Biggs & Blocher,1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Lebih jauh Biggs & Blocher (1986), mengemukakan public trust akan melanggengkan profesi karena dalam public trust terkandung keyakinan bahwa profesi dan anggotanya itu : (1) memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (2) ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik, (3) para anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh kepada standar profesi.
1. Kompetensi dan Keahlian Konselor
            Ellis, Shertser and Stone (1980), menyatakan bahwa “Counseling is an interaction process that fasilitates meaningful understanding of self and environment and results in the establisment and/or clarification of goals and values for future behavior .” Konseling adalah proses interaksi yang memfasilitasi dan mengklarifikasi makna pemahaman diri dan lingkungan, tujuan-tujuan  serta nilai-nilai perilaku klien pada waktu yang akan datang.
Bila konseling dianggap sebagai fasilitas dalam mengklarifikasi pemahaman diri dan lingkungan dimana klien berada berikut tujuan-tujuan serta nilai-nilai klien bagi perilakunya di masa datang, maka kewajiban konselor adalah mengajarkan bagaimana berpikir secara rasional tentang masalah-masalah pribadi klien dan bagaimana mengambil keputusan-keputusan yang secara moral nampak memuaskan baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Ini berarti bahwa konselor akan berperan sebagai pedagogi nilai dan peranan ini sangat kompleks. Dalam hal ini konselor membantu “mendefinisikan konsep fungsi pribadi secara utuh dan membuat kriteria untuk menggambarkan kehidupan yang baik dan kesehatan mental individu; dan membuat tujuan-tujuan konseling yang konsisten dengan definisi konselor. Karena itu, proses konseling hendaknya dipandang sebagai urutan pilihan konselor terutama  dalam menentukan interpretasi terhadap perilaku klien, menentang pikiran yang irasional klien, memberi saran, atau hanya mendengar dengan tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini model konseling akan memberikan rujukan dalam membatasi dan memfokuskan tujuan, waktu dan prosedur kerjanya (Steven. J.Lynn, P. John Garske,1985),
Berdasarkan keragaman klien dan perberbedaan orientasi konselor, secara umum seorang konselor hendaknya menunjukkan sikap dan perilaku sebagai berikut.
1.      Berusaha meciptakan suasana dan hubungan konseling yang kondusif,
2.      Berusaha menjaga sikap objektif terhadap klien,
3.      Mengekplorasi faktor penyebab masalah-masalah psikologis, baik masa lalu maupun masa kini,
4.      Menentukan kerangka rujukan atau perangkat kognitif terhadap kesulitan klien dengan cara yang dapat dimengerti klien,
5.      Konseling memiliki strategi untuk mengubah kembali perilaku salah suai, keyakinan irasional, gangguan emosi dan menyalahkan diri sendiri.
6.      Mempertahankan trasfer pemahaman tentang perilaku baru yang diperlukan klien dalam kehidupan sehari-harinya.
7.      Menjadi model atau contoh sosok yang memiliki sikap sehat dan normal.
8.      menyadari kesalahan yang pernah dibuat dan resiko yang dihadapi
9.      dapat dipercaya dan mampu menjaga kerahasiaan
10.    memiliki orientasi diri yang selalu berkembang.dan
11.    iklas dalam menjalankan profesinya
Beberapa upaya untuk mendukungnya keahlian dan kompetensi yang tercermin dalam sikap dan perilaku konselor itu menuntut :
1.     Persyaratan calon konselor profesional, tidak hanya  berdasarkan batas minimal jenjang pendidikan tetapi menekankan juga pada syarat-syarat pribadi seperti kecerdasan, bakat, minat dan aspek-aspek pribadi lainnya yang diyakini menunjang profesinya.
2.     Penentuan akreditasi pendidikan calon konselor dan pemberian lisensi atau kewenangan seorang konselor sebagai surat kepercayaan yang dilakukan organisasi profesi dengan standar nasional perlu dilakukan secara kontinyu.
3.     Penataan perkuliahan tidak hanya menekankan pada aspek-aspek matakuliah tetapi memiliki kesinambungan antar matakuliah dan pelaksanaan praktikum baik di laboratorium maupun di lapangan.
4.     Pemberian kesempatan untuk praktek dan evaluasi diri serta pengembangannya bagi konselor yang telah memenuhi standarisasi profesi hendaknya terus dilakukan baik oleh ABKIN maupun lembaga dimana seorang konselor bekerja.
            2. Perangkat Perundang-undangan
            Pemerintah pada tahun 1975 mengeluarkan Buku III-C sebagai pedoman pelaksanaan layanan konseling di sekolah.  Searah dengan kebijakan dalam pendidikan pada tahun 1989 mengeluarkan Undang-undang RI nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 28 dan 29 tahun 1990 yang mempertegas pelaksanaan layanan konseling di sekolah, serta Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN nomor 0433/P/1993 dan nomor 25 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.  Searah dengan kiprah perjalanan profesi konselor, pada tahun 2003 pemerintah mengusung Undang-undang nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), di dalamnya memuat secara eksplisit bahwa konselor sebagai salah satu tenaga pendidik (Pasal 1, ayat 13).
     Di lain pihak, upaya-upaya untuk mempertegas dan memperkuat posisi serta kemampuan konselor sudah dilakukan dengan:
1)     Hasil Kongres IPBI di Lampung pada tahun 2001, selain menyempurnakan AD-ART ada keberanian yang sangat berarti untuk masa depan organisasi profesi itu, yaitu nama organisasi profesi dari Ikatan Petugas Bimibingan Indonesia (IPBI) diganti menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN).
2)     Pada tahun 2002 di Yogyakarta  lebih jauh dikaji standarisasi  profesi konselor yang berkaitan dengan standar pelayanan konselor dan pendidikan profesinya, dan
3)     Pada tanggal 17 Pebruari tahun 2003 Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) menyelenggarakan Workshop untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi konselor masa depan dengan mengkaji lebih dalam mengenai fondasi etis layanan konseling yang berkaitan dengan   aspek-aspek religi, lintas budaya, pembinaan ketenagaan serta peningkatan kreativitas para konselor di lapangan.
3. Kode Etik Profesi Konselor
Konseling merupakan layanan profesional yang memanfaat-kan hubungan antar individu. Hubungan yang bersifat membantu itu harus lurus dengan memegang etika antar manusia. Karena itu, hubungan tersebut harus dilindungi dari perilaku yang salah dari pihak konselor, klien maupun masyarakat. Perlindungan itu pada umumnya ditata dalam bentuk kode etik (Rochman Natawidjaja, 2002).
Kode etik itu merupakan pernyataan-pernyataan yang berisi persyaratan tindakan yang harus dilakukan dan tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam kegiatan layanan konseling.
Nilai-nilai dan etika sangat berhubungan, karena etika seorang individu dan kelompok mencerminkan nilai mereka. Bixler & Seaman (Carlton E.Beck, 1971) menyatakan  bahwa “ etika merupakan prinsip-prinsip dari suatu tindakan yang berdasarkan sistem nilai yang biasa berlaku di suatu tempat. Karena itu tuntutan bagi seorang konselor adalah memaknai hakekat konseling dengan menunjukkan sikap profesionalisme yang konsisten dengan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masayarakat.
Dari etika dan nilai-nilai ke hakikat sangatlah dekat maknanya. Hakikat merupakan gabungan nilai-nilai, biasanya menghasilkan pernyataan-pernyataan berupa postulat-postulat, asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip. Ellis dalam Paterson (1986), mengemukakan beberapa prinsip yang harus diterapkan konselor dalam konseling  adalah :
a.      Kepercayaan bahwa kehidupan manusia, kebahagiaan dan kesejahteraan adalah untuk dinilai;
b.      Menonjolkan/menegaskan bahwa manusia adalah tuan bagi takdirnya sendiri, dengan pemahaman yang tepat dalam mengembangkan minat-minat dengan caranya sendiri.
c.      Penentuan bahwa harga diri setiap orang itu bernilai  seharusnya dihargai sepanjang waktu dan berbagai kondisi.
d.      Anggapan atau asumsi bahwa setiap individu memiliki hak dan kebebasannya.
Tujuan konseling sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, karena itu Mowrer (Carlton E.Beck, 1971), mengkritik  psikoanalisis yang menekankan dalam membebaskan id dari super egonya, dia menyarankan bahwa seharusnya  konseling memperkuat superego.Lebih jauh dia berpendapat bahwa konseling hendaknya memfasilitasi perkembangan kebebasan individu dalam mengambil tanggung jawab bagi dirinya sendiri, pilihan-pilihan, keputusan-keputusan serta nilai-nilai tingkah lakunya.
Kesadaran konselor dalam mempengaruhi nilai klien akan sangat menentukan proses dan hasil sebuah konseling oleh karena itu sangat wajar bila Gerald Corey, et al (1988), mengingatkan ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan konselor di saat mempengaruhi nilai-nilai klien , yaitu:
a.     Tidak ada keraguan sama sekali bahkan secara universal prinsip-prinsip dan peraturan yang ada bukan merupakan ketentuan filosofis kehidupan. Setiap individu berbeda, unik dan untuk beberapa hal mungkin tidak sama dengan orang lain.
b.    Terlalu besar harapan klien agar konselor berbuat banyak dalam mengubah kehidupannya.
c.     Proses konseling bukanlah tempat yang tepat untuk memberi instruksi tentang etika dan filosofis kehidupan.
d.    Individu tidak membangun sistem tentang nilai-nilai atau hakikat kehidupan dalam jangka waktu yang pendek, tapi dihasilkan dalam jangka waktu yang panjang dengan pengaruh yang ada.
e.     Akan lebih baik bila individu mengembangkan filosofi uniknya sendiri daripada dari orang lain karena hal itu akan lebih berarti dan efektif.
f.     Konselor harus menerima di kala klien menolak untuk menerima sistem nilai atau filosofi kehidupan yang diajukan.
Memperhatikan beberapa sifat yang harus dimiliki konselor, tidak berlebihan jika E.V.Daubner dan E.S. Daubner (Carlton, 1971), menyarankan supaya konselor memiliki bekal : (1) pengetahuan tentang etika, (2) pengetahuan tentang pembuatan keputusan, dan (3) perlu kebajikan dan kebenaran (rightness) dalam setiap keputusan yang diberikan..dan nilai kebajikan dan kebenaran yang hakiki adalah bersumber dari agama. Dengan kata lain, sangat kurang pantas apa bila seorang konselor belum atau tidak mengetahui kode etik profesinya.
Kode etik profesi yaitu serangkaian peraturan profesional yang harus dipergunakan para anggota suatu profesi dalam pelaksanaan praktek profesionalnya. Aturan-aturan itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan oleh semua anggota profesi dalam pemberian layanannya. Dengan demikian semua anggota profesi harus tunduk pada aturan-aturan standar itu sebab bagi yang melanggar akan diberikan sanksi atau hukuman oleh masyarakat organisasi profesinya (Woolfe, Ray & Dryden Windy, 1998).
Kode etik suatu organisasi profesi secara spesifik harus menjelaskan kepada para anggotanya mengenai prinsip-prinsip yang membatasi tingkah laku anggota-anggotanya dan menjadi dasar bagi pengaduan-pengaduan etis yang dihadapi para angotanya. Karena itu dalam kode etik biasanya memuat hubungan layanan, kerahasiaan, tangung jawab profesional, hubungan dengan profesi lain, evaluasi dan interpretasi, pendidikan dan latihan, penelitian, publikasi dan penetapan atau memecahan isu etik  (America Counseling Asosiations:  Code of Ethic and Standards of Practice, 1996).
Dalam “rancangan” Kode Etik Konselor Indonesia tahun 2001, di dalamnya memuat tentang :
a.       Kualifikasi Konselor: (1) nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan; (2) pengakuan atas kewenangan sebagai konselor.
b.       Kegiatan Profesional: (1) penyimpanan dan penggunaan informasi dan (2) penanganan klien.
c.       Testing: (1) kewenangan konselor dalam pelaksanaan testing, (2) prosedur testing dan (3) pemanfaatan hasil testing.
d.       Riset: (1) prosedur riset, (2) pelaporan dan pemanfaatannya.
e.       Layanan Individual: (1) hak klien, (2) kewajiban konselor terhadap klien dan atasannya.
f.        Konsultasi dan Hubungan dengan rekan atau Ahli Lain: (1) konsultasi antar anggota, (2) evaluasi pelayanan dan (3) referral.
g.       Hubungan Kelembagaan dan Hak serta Kewajiban Konselor: menetapkan kewajiban-kewajiban seorang konselor yang bekerja dalam suatu lembaga konsultasi serta dukungan dan perlindungan dari rekan-rekan seprofesi.
Bila membandingkan kedua kode etik di atas, nampak bahwa kode etik konselor kita lebih mengedepankan perlindungan terhadap klien terutama dalam penghargaan mereka sebagai individu yang memiliki hak dan martabat kemanusiaannya. Sedangkan arah pengembangan karir konselor belum terlihat sejara jelas. Namun demikian, penghargaan atas martabat klien sangat wajar sebab menurut Biggs D.A &  Blocher D.H (1986) kegiatan konseling memerlukan penilaian nilai. Artinya nilai-nilai konselor akan benar-benar mempengaruhi pilihan klien di saat berpikir untuk mengambil suatu keputusan terbaik dan bermakna bagi diri dan lingkungannya. Karena itu konselor perlu mengembangkan pedoman-pedoman tentang peranan  nilai dalam konseling etis yang terinternalisasi melalui filosofis dan kepercayaan atau keyakinan kehidupannya.

F. Implikasi Pengembangan Profesi Konselor Masa Depan
Dengan dicantumkannya konselor sebagai salah satu tenaga pendidik pada Rancangan Undang-Undang tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, merupakan salah satu indikator bahwa konselor sebagai salah satu profesi  kiprahnya mulai diterima masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, tonggak yang bersejarah ini harus dimanfaatkan dan dijadikan landasan kuat dalam melakukan evaluasi diri sebagai bagian dari upaya membangun profesi  yang profesional.
            Orientasi kinerja profesional tidak bisa lepas dari perkembangan kehidupan profesi masa lalu, sekarang dan tantangannya di masa depan. Karena itu sudah sepantasnya apabila telaahan bukan hanya difokuskan kepada hal-hal yang bersifat praktis dan dukungan sistem kehidupan saat ini, melainkan sampai kepada aspek-aspek yang membungkus profesi konselor untuk tetap eksis dan lebih maju daripada masa lalu bahkan daripada profesi yang lainnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, kemajuan teknologi yang tiada henti, dan pengembangan seni serta aspirasi budaya yang senantiasa menggejolak, semuanya memberikan peluang bagi profesi konselor untuk secara berkelanjutan berkembang dan memperlihatkan kinerja yang lebih baik.  Peluang lain adalah kesegaran pemikiran reformasi di segala bidang dewasa ini, termasuk paradigma baru visi dan misi konseling yang ditunjang dengan keajegan pilar organisasi profesi dan perundang-undangan yang semakin jelas sangat membuka peluang bagi profesi konselor untuk selalu meningkatkan kualitasnya secara berkelanjutan dan berkembang selaras dengan kemampuan profesi, dan kebutuhan, tuntutan serta harapan-harapan lingkungan.
Peningkatan kualitas profesi konselor secara berkelanjutan hendaknya terilhat dalam peningkatan:



1.     Kinerja Profesional.
Kemampuan ini merupakan seperangkat perilaku nyata yang ditunjukkan oleh seorang konselor profesional dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan profesional atau keahliannya.
Tinggi dan rendahnya kualitas profesional seorang konselor akan berdampak langsung terhadap tinggi dan rendahnya pengakuan masyarakat luas dan imbalan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, seorang konselor profesional akan selalu  menjaga kualitas kinerja dan nama baik pribadi dan profesinya.
2.    Penguasaan Landasan Profesional.
Kemampuan ini meliputi pemahaman dan penghayatan mendalam seorang konselor mengenai filsapat profesi atau kepakaran di bidang konseling yang berkenaan dengan aspek religi, sosial budaya maupun aspek-aspek psikologisnya.
Konseling bukan pekerjaan teknis, tetapi sebagai salah satu fram work bagi pengembangan pribadi individu baik klien maupun konselor. Karena itu, kuat tidaknya landasan filosofis yang memaknai manusia, landasan psikologis yang memberikan pemahaman terhadap keunikan manusia, landasan sosial budaya yang memberikan pemahaman tentang kultur, nilai dan moral individu dan kelompoknya, serta landasan religi yang memberikan pemahaman manusia tentang akidah serta nilai keagamaan yang dianutnya akan memberikan warna dan dampak yang sangat jelas dalam tujuan dan hasil konselingnya.
3.     Penguasaan Materi Akademik.
Kemampuan ini mencakup penguasaan seorang konselor mengenai sosok tubuh disiplin ilmu konseling serta bagian-bagian dari disiplin ilmu terkait dan penunjang  yang melandasi kinerja profesionalnya.
Penguasaan materi akademik bagi seorang konselor hendaknya dipandang sebagai dasar pengembangan dirinya setelah terjun ke lapangan. Karena itu, terpaku terhadap materi-materi yang diperoleh pada bangku perkuliahan dan tidak memaknai perkembangan orientasi materi akademik yang saat ini berlangsung sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi, maka akan membawa seorang konselor kepada kemandegan pengetahuan dan keterampilan serta terjebak pada kesombongan gelar yang pernah diraih tetapi tidak berkontribusi bagi pengembangan diri dan profesinya.
4.     Penguasaan Keterampilan Proses.
Kemampuan ini mencakup keterampilan-keterampilan khusus kinerja profesional yang dimiliki seorang konselor, mulai perencanaan, proses pelaksanaan sampai dengan tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Meskipun pekerjaan konseling bukan merupakan teknis, tetapi bukan berarti bahwa pekerjaan itu hanya berdasarkan common sense belaka. Artinya tetap berpijak pada acuan proses yang harus diikuti langkah demi langkahnya. Dalam penguasaan keterampilan proses dituntut bagi seorang konselor untuk selalu mencoba dan mengevaluasi kelebihan dan kelemahan yang dia alami di samping memperhatikan perkembangan zaman yang lebih mempermudah suatu proses dilaksanakan. Misalkan, layanan informasi tidak harus selalu dilakukan dengan cara tatap muka, bisa menggunakan teknologi yang terbaru, tetapi dalam prosesnya tetap harus memperhatikan : siapa yang akan diberikan informasi, mengapa harus diberikan informasi, tujuan yang ingin dicapai setelah informasi itu dilakukan, materi apa yang cocok dengan kebutuhan subjek layanan dan bagaimana strategi pelaksanaan yang perlu dilakukan serta dengan cara apa evaluasinya dilakukan.
5.     Penguasaan Penyesuaian Interaksional.
            Kemampuan ini mencakup cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan suasana lingkungan kerja pada saat melaksanakan tugas profesinya. 
            Setiap lembaga yang ditempati seorang konselor secara normatif tidak akan pernah sama persis. Karena itu tuntutan dan harapan seorang konselor mengenai juklak dan juknis untuk menyeragamkan pekerjaan dengan lembaga lain merupakan hal yang sia-sia. Dalam tuntutan seperti ini sudah merupakan kewajiban bagi seorang konselor untuk lebih memahami kondisi lingkungan tempat kerjanya, baik yang menyangkut siswa, kemampuan sekolah, personel dan norma-norma lain yang dianut lembaga itu.
6.     Kepribadian .
Kemampuan ini mencakup sifat-sifat dan keyakinan yang perlu dimiliki seorang konselor termasuk di dalamnya adalah sikap, nilai, moral dan etika yang akan memberikan warna serta arah kinerja profesinya.
Kejelasan identitas sebagai pribadi dan profesional hendaknya selalu diperhatikan di pertehankan. Artinya, kehidupan pribadi yang dibungkus dengan kekentalan keyakinan suatu agama, wawasan pengetahuan yang mengikuti perkembangan zaman, keterampilan kinerja yang selalu diasah merupakan warna pribadi dan profesi yang selamanya tercermin melalui sikap, pikiran dan perbuatan sereta berkontribusi positif bagi pengembangan diri dan profesinya .
7.     Kreatif .
Kemampuan ini  meliputi pemahaman, penghayatan, aktivitas profesi serta kesejahteraan kehidupan dirinya di masa depan yang didasarkan pada pengembangan potensi yang dimilikinya.
Seorang konselor kreatif, dalam kehidupannya tidak berpangku pada nasib dan hanya  menunggu belas kasih orang lain, tetapi berupaya melangkah ke depan searah visi dan misi profesi yang dimilikinya.
8.     Peningkatan Kolaborasi.
Kemampuan ini mencakup penerimaan dan penghargaan terhadap profesi lain untuk bersama-sama menggalang keberhasilan layanan profesionalnya.
Kegiatan konseling bukan merupakan pekerjaan individu semata tetapi melibatkan kemampuan orang lain (team work). Karena itu untuk memperlancar kegiatan konseling perlu dibangun atas penghargaan terhadap orang lain dan diri sendiri sebagaimana kapasitas dan kualitas serta peran dan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing personel.
Bila kerjasama antar personel dalam suatu lembaga sudah dibina maka tidak akan pernah merasa sungkan untuk selalu bekerjasama dengan sesama anggota profesi dan dengan profesi-profesi lain seperti dokter, psikolog, ekerja sosial dan sebagainya, dan kerjasama  itu pada akhirnya akan merupakan kebutuhan untuk menghargai profesi sendiri.

G. Daftar Pustaka

America Counseling Asosiations (1996).  Code of Ethic and Standards of Practice.
Biggs, Donald A. &  Blocher H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University of New York at Albany.
C.H. Patterson (1986). Theories of Counseling and Psychotherspy. New York: Harper & Row, Publishers.
Carlton E.Beck (1971), Philosophical Guidelines for Counseling: The Place of Values in Counseling and psychotherapy, Iowa:WM.C. Brown Company Publishers.
Dedi Supriadi, (2002). Isu-Isu dan Relevansi Penerapan Konseling Lintas Budaya, Pengukuhan Guru Besar UPI, Bandung:UPI.
Gerald Corey, et al (1988). Issues and Ethics in the Helping Professions: The Counselor as a Person and as a Profesisonal. New Yowk:Brooks/cole Publishing Company.
Tilaar.H.A.R., (1999), Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional, Magelang : Tera Indonesia.
Hall Calvin S. & Lindzey Gardner (1978). Theories of Personality. Ney York: John Wiley & Sons.
Moh. Djawad Dahlan (2002). Warna Arah Bimbingan dan Konseling Alternatif Di Eral Globalisasi, Jurnal Psikopedagogia, Bandung: ABKIN Pengda Jabar dan PPB FIP UPI.
Paterson C.H. (1986). Theories of Counseling and Psychotherapy. New York: Harper & Row, Publishers
RUU tahun 2002, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Rochman Natawidjaja, (2003). Kompetensi dan Etika Konselor Masa Depan, Makalah Seminar dan Workshop tanggal 17 Pebruari 2003,  Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Sayling Wen (2003). Future of Education (Masa Depan Pendidikan), Alih Bahasa Arvin Saputra, Batam :  Lucky Publishers.
Sunaryo Kartadinata (2002), Paradigma Baru Bimbingan dan Konseling, Makalah Disampaikan pada Konvensi IPBI di Lampung.
_____ (2002), Isu Etik dan Moral dalam Konseling (Kompilasi), Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Shertzer,B. & Stone, S.C., (1981). Fundamental of Guidance. Boston: Houghton Mifflin Company.
Steven Jay Lynn, P. John Garske (1985). Contemporary Psychotherapies: Models and Methods. Ohio: Bell & Howell Company.
United Nations Educational (1996). Treasure Within: Report to UNESCO of the International Commision on Education for the Twenty-First Century. France: Presses Universitaires de France.
Woolfe, Ray & Dryden Windy (1998). Handbook of Counseling Psychology. London-New Delhi : Sage Publications.