NASKAH
AKADEMIKPENGEMBANGAN KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
selesainya penyusunan Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum sebagaisalahsatuperangkat
kelengkapan DokumenKurikulum 2013.Penyusunan
naskah akademik ini adalah dalam rangka menindak-lanjuti Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 maupun Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional
2010-2014.
Di dalam Naskah Akademik ini dipaparkan
rancangan pengembangan kurikulum secara konseptual dan kontekstual,yang mencakup (i) rekonseptualisasi
ide kurikulum yang berbasis kompetensi,(ii) pengembangan struktur kurikulum berdasarkan ide kurikulum
yang telah direkonseptualisasi, (iii) pengembangan Kompetensi Inti (KI) sebagai
faktor pengikat, dan (iv)
pengembangan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran yang dikaitkan dengan
Kompetensi Inti.
Pengembangan
Kurikulum berbasis kompetensi didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan Satuan
Pendidikan yang diturunkan dari Tujuan PendidikanNasional. Untuk mencapai Standar Kompetensi
Lulusan maka dikembangkan Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian.Semua
standar tersebut secara faktual menjadi acuan bagi pengembangan dan pelaksanaan
kurikulum operasional pada tingkat satuan pendidikan.
KepalaBadanPenelitiandanPengembangan
Prof. Dr. Khairil Anwar
Notodiputro
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengacu pada prioritas
kebijakan pembangunan pendidikan nasional, baik yang dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 maupun yang dimuat dalam
Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional (Renstra Kemendiknas)
2010-2014, Pusat Kurikulum dan
Perbukuandiberi amanat
untukmelakukan penyempurnaan kurikulum
yang berlaku sejak 2006 sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi dan nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Keduanya
menjadi acuan dalam pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang merupakan kurikulum operasional.
Ketetapan dalam RPJMN
2010-2014 mensyaratkan adanya penyempurnaan pada dua hal yaitu proses
pembelajaran dan kurikulum. Mengenai proses pembelajaran RPJMN 2010-2014
mengamanatkan agar terjadi perubahan dalam proses pembelajaran sehingga
pembelajaran tidak lagi diartikan sebagai teaching
to the test tetapi perlu diarahkan kepada pengembangan potensi anak dalam
belajar. Secara spesifik, Bab IV Prioritas 2 Pendidikan, pasal 3
tersebut menyebutkan:
Metodologi: Penerapan metodologi pendidikan yang
tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test),
namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi
pekerti, kecintaan terhadap budayabahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem
Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun 2011
yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014.
Lebih lanjut RPJMN menegaskan
perlunya penyempurnaan kurikulum dalam bentuk pengembangan kurikulum baru yang
dapat menjawab berbagai tantangan kehidupan pada abad ke-21. Pasal 5
RPJMN secara ekplisit menetapkan adanya penataan kurikulum sejalan dengan apa
yang dikemukakan dalam Pasal 3 di atas. Pasal 5 menyebutkan:
Kurikulum: Penataan ulang kurikulum sekolah yang
dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat
mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk
mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan
kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and match);
Adanya ketentuan dalam RPJMN
tersebut memberikan amanat
langsung kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan perubahan
kurikulum.
Selain adanya ketentuan legal
yang mengharuskan adanya perubahan kurikulum, masyarakat Indonesia dan
masyarakat dunia mengalami perubahan yang sangat cepat dan dalam dimensi yang
beragam terkait dengan kehidupan individual, masyarakat, bangsa, dan ummat
manusia. Fenomena globalisasi yang membuka batas-batas fisik negara dan bangsa
dipertajam dan dipercepat oleh kemajuan teknologi, terutama teknologi
komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan memperkuat dampak globalisasi dan
kemajuan teknologi tersebut. Perubahan yang terjadi dalam dua dasawarsa
terakhir mengalahkan kecepatan dan dimensi perubahan yang terjadi dalam
kehidupan manusia di abad-abadsebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut telah
menjangkau kehidupan manusia dari tingkat global, nasional, dan lokal serta
dari kehidupan sebagai umat manusia, warganegara, anggota masyarakat, dan
pribadi.
Perubahan-perubahantersebut menjadi amat
penting seiring dengan kontinuitas segala kemungkinan yang terjadi berkaitan
dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya
pada tataran lokal, nasional, regional, dan global di masa depan. Jenlink
(1995) mengungkapkanbahwa the future will be dramatically different
from the present, and it is already calling us into preparation for major
changes being brought to life by forces of change that will require us to
transcend current mindsets of the world we know ---masa depan akan berbeda
secara dramatis dari masa sekarang, dan itu sudah menuntut kita mempersiapkan
untuk perubahan penting yang sedang terjadi pada kehidupan kita dengan kekuatan
perubahan yang akan memerlukan kita mengalihkan pola pikir kita sekarang tentang dunia yang kita ketahui.
Pendidikan dan dalam hal ini
kurikulum sebagai the heart of education(Klein,
1992) harus mempersiapkan generasi bangsa yang mampu hidup dan berperan aktif
dalam kehidupan lokal, nasional, dan lokal yang mengalami perubahan dengan
cepat tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Oliva (1982), kurikulum perlu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan politik. Perubahan-perubahan
yang dikemukakan di atas memberikan landasan kuat bagi perubahan suatu
kurikulum.
Kenyataan adanya amanat legal
dan kehidupan manusia yang berubah cepat menyebabkan perubahan kurikulum merupakan suatu keniscayaan
yang tak dapat dihindari. Atas dasar itu, Pusat Kurikulum dan Perbukuan memandang perlu untuk
menyusun Naskah Akademik Penyempurnaan Kurikulum yang merupakan suatu rancangan
konseptual dan kontekstual penyempurnaan kurikulum. Dengan adanya naskah
akademik ini, Pusat Kurikulum dan
Perbukuanberupaya untuk mentransformasikan pemikiran yang menjembatani segala sesuatu yang telah ada saat
ini (what it is) dengan segala sesuatu yang seharusnya ada di
masa yang akan datang (what should be
next) dalam suatu rancangan kurikulum.
B. Tujuan
Penyusunan Naskah Akademik ini
bertujuan untuk digunakan sebagai:
1.
pedoman
dalam mengembangkan kurikulum (dokumen kurikulum, implementasi kurikulum, dan
evaluasi kurikulum);
2.
pedoman
untuk mengembangkan aspek yang terkait dengan pengembangan kurikulum.
Naskah Akademik ini memberikan
landasan yuridis, filosofis, dan teoritis bagi pengembang kurikulum. Landasan tersebut,
terutama landasan filosofis dan teoritis, menjadi pedoman bagi para pengembang
dalam menetapkan ide kurikulum untuk menjawab tantangan yang dihadapi,
mengembangkan desain dokumen kurikulum, mengembangkan rancangan untuk
implementasi kurikulum, dan mengembangkan rancangan evaluasi kurikulum. Melalui
landasan yang dikemukakan sebagai pedoman dalam Naskah Akademik keseluruhan
komponen pengembangan kurikulum (curriculumdevelopment)
tercakup.
Selain itu, Naskah Akademik
ini juga memberikan arahan mengenai aspek-aspek yang perlu dikembangkan
sehubungan dengan proses pengembangan dokumen kurikulum, implementasi kurikulum,
dan evaluasi kurikulum.
C. Landasan Perubahan Kurikulum
Perubahan kurikulum
didasarkan pada butir-butir kebijakan nasional dalam bidang pendidikan yang
terdapat dalam dokumen sebagai berikut:
1.
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL 2005-2025
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 menjadi landasan bagi perumusan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
RPJMN menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga dalam
menyusun Rencana Strategis kementerian dan lembaga (Renstra-K/L) dan menjadi
bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menyesuaikan
rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian sasaran
pembangunan nasional.
2.
RANCANGAN PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL
Tahap Itelah dimulai dengan RPJMN 2005-2009 yang
ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor7Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
Tahap II dimulai dengan RPJMN 2010-2014 yang
ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010.
Di dalam RPJMN 2010-2014 telah ditetapkan Prioritas 2
Pendidikan sebanyak 6 substansi inti program aksi bidang pendidikan sebagaimana
yang disajikan dalam cuplikan dokumen berikut ini.
Substansi Inti Program Aksi Bidang Pendidikan RPJMN
Tahun 2010-2014
Prioritas 2:
Pendidikan
Peningkatan akses
pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien menuju
terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi pekerti,
dan karakter bangsa yang kuat. Pembangunan bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga
terdidik dengan kemampuan: 1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan
dan 2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja.
Oleh karena
itu, substansi inti program aksi bidang pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Akses
pendidikan dasar-menengah: Peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM)
pendidikan dasar dari 95% di 2009 menjadi 96% di 2014 dan APM pendidikan
setingkat SMP dari 73% menjadi 76% dan Angka Partisipasi Kasar (APK)
pendidikan setingkat SMA dari 69% menjadi 85%; Pemantapan/rasionalisasi
implementasi BOS, penurunan harga buku standar di tingkat sekolah dasar dan
menengah sebesar 30-50% selambat-lambatnya 2012 dan penyediaan sambungan
internet ber-content pendidikan ke sekolah tingkat menengah
selambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar;
2. Akses
pendidikan tinggi: Peningkatan APK pendidikan tinggi dari18% di 2009 menjadi
25% di 2014;
3. Metodologi:
Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi
kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh
yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap
budaya-bahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem Ujian Akhir Nasional pada
2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun
2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014;
4. Pengelolaan:
Pemberdayaan peran kepala sekolah sebagai manajer sistem pendidikan yang
unggul, revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai entitas quality
assurance, mendorong aktivasi peran Komite Sekolah untuk menjamin
keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pembelajaran, dan Dewan
Pendidikan di tingkat Kabupaten;
5. Kurikulum:
Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat
nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik
yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung pertumbuhan nasional dan
daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan (diantaranya dengan
mengembangkan model link and match);
6. Kualitas: Peningkatan kualitas guru,
pengelolaan dan layanan sekolah, melalui: 1) program remediasi kemampuan
mengajar guru; 2) penerapan sistem evaluasi kinerja profesional tenaga
pengajar; 3) sertifikasi ISO 9001:2008 di 100% PTN, 50% PTS, 100% SMK sebelum
2014; 4) membuka luas kerja sama PTN dengan lembaga pendidikan internasional;
5) mendorong 11 PT masuk Top 500 THES pada 2014; 6) memastikan perbandingan
guru:murid di setiap SD & MI sebesar 1:32 dan di setiap SMP & MTs
1:40; dan 7) memastikan tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) bagi
Pendidikan Agama dan Keagamaan paling lambat tahun 2013.
|
[Sumber: RPJMN 2010-2014]
Seluruh substansi inti program aksi bidang pendidikan
itu harus dilakukan dan diwujudkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Rencana Strategis Tahun 2010-2014.
3.
RENSTRA
KEMENDIKNAS 2010-2014
Kebijakan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum
dalam Renstra Kemendiknas tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut ini.
Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional
2010-2014
4.2 Arah
Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014
4.2.4
Penerapan Metodologi Pendidikan Akhlak Mulia dan Karakter Bangsa
Sistem pembelajaran saat ini dipandang
belum secara efektif membangun siswa memiliki akhlak mulia dan karakter
bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degradasi moral seperti
penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar, pornografi dan pornoaksi,
plagiarisme, dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Menanamkan pendidikan moral yang
mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli
kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan
pendidikan;
(2) Mengembangkan kurikulum pendidikan yang
memberikan muatan soft skills yang meningkatkan akhlak mulia dan
menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
(3) Menumbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli
lingkungan, dan peduli ketertiban melalui pembelajaran aktif di lapangan;
(4) Penilaian prestasi keteladanan siswa yang
mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.
4.2.5 Pengembangan
Metodologi Pendidikan yang Membangun Manusia yang Berjiwa Kreatif, Inovatif,
Sportif dan Wirausaha
Dalam mendukung Pengembangan Ekonomi
Kreatif (PEK) tahun 2010-2014, yakni pengembangan kegiatan ekonomi
berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk
menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan
berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia perlu dirumuskan
kebijakan pengintergrasian aspek yang menumbuhkan jiwa kreatif, inovatif, sportif
dan wirausaha dalam metodologi pendidikan. Pengembangan metodologi pendidikan
ini dilakukan melalui kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
(1) Melakukan kajian dan penyempurnaan kurikulum
pendidikan dan pelatihan agar lebih berorientasi pada pembentukan kreativitas
dan kewirausahaan siswa sedini mungkin;
(2) Meningkatkan kualitas pendidikan nasional
yang mendukung penciptaan kreativitas dan kewirausahaan pada siswa sedini
mungkin;
(3) Menciptakan akses pertukaran informasi dan
pengetahuan ekonomi kreatif antar penyelenggara pendidikan;
(4) Peningkatan jumlah dan perbaikan kualitas dan
lembaga pendidikan dan pelatihan formal dan informal yang mendukung
penciptaan insan kreatif dalam pengembangan ekonomi kreatif;
(5) Menciptakan keterhubungan dan keterpaduan
antara lulusan pendidikan tinggi dan sekolah menengah kejuruan yang terkait
dengan kebutuhan pengembangan ekonomi kreatif;
(6) Mendorong para wirausahawan sukses untuk
berbagi pengalaman dan keahlian di institusi pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi dalam pengembangan ekonomi kreatif;
(7) Fasilitasi pengembangan jejaring dan
mendorong kerja sama antar insan kreatif Indonesia di dalam dan luar negeri.
|
[Sumber: Renstra
Kemendiknas 2010-2014]
Sesuai dengan arah
kebijakan dan penugasan secara khusus, selanjutnya Pusat Kurikulum dan Perbukuan menjabarkan aspek
yang berkenaan dengan pengembangan
kurikulum dan penguatan pelaksanaan kurikulum satuan pendidikan (KTSP) dengan melakukan rekonseptualisasi ide
kurikulum, desain kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum.
Rekonseptualisasi ide kurikulum merupakan penataan ulang pemikiran teoritik kurikulum
berbasis kompetensi. Teori mengenai kompetensi dan kurikulum berbasis
kompetensi diarahkan kepada pikiran pokok bahwa konten kurikulum adalah
kompetensi, dan kompetensi diartikan sebagai kemampuan melakukan sesuatu (ability to perform) berdasarkan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan.Ketetapan yang tercantum dalam Renstra
Kemendikbud memperlihatkan arah yang jelas bahwa kurikulum baru yang
dikembangkan perlu mempedulikan aspek-aspek potensi manusia yang terkait dengan
domain afektif untuk pengembangan soft-skills yang seimbang dengan hard-skills.
Desainpengembangan kurikulum baru harus didasarkan
pada pengertian bahwa kurikulum adalah suatu konstrak pendidikan yang utuh untuk
jenjang pendidikan tertentu. Desain ini menempatkan mata pelajaran sebagai organisasi
konten kurikulum yang terbuka dan saling berinteraksi. Desain kurikulum yang
akan digunakan untuk mengembangkan kurikulum baru harus mampu mengaitkan
antarkonten kurikulum baik yang
bersifat horizontal maupun
vertikal.
Dalam pengembangan kurikulum keseluruhan dimensi kurikulum, yaitu ide, desain, implementasi dan evaluasi
kurikulum, direncanakan dalam
satu kesatuan.Inilah sebenarnya yang menjadi inti dari pengembangan
kurikulum (curriculum development).
BAB II
RASIONAL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang dihadapi, baik
tantangan internal maupun tantangan eksternal.Disamping itu, dalam menghadapi
tuntutan perkembangan zaman, perlu adanya penyempurnaan pola pikir dan
penguatan tata kelola kurikulum serta pendalaman dan perluasan materi.Selain
ituyang tidak kalah pentingnya adalah perlunya penguatan proses pembelajaran
dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang
diinginkan dengan apa yang dihasilkan.
A. Tantangan Internal
Tantangan internalpengembangan kurikulum baru terkaitdengan standar pendidikan dan faktor
kependudukan Indonesia. Terkait dengan standar pendidikan, tantangan internal
berkenaan dengan 8 Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan,
standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar
kompetensi lulusan yang berpengaruh terhadap kualitas manusia
Indonesia yang harus dihasilkan suatu kurikulum. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak
sekolah yang belum memenuhi standar yang sudah ditetapkan. Data hasil
akreditasi tahun 2012 menunjukkan bahwa untuk SMA, sebanyak 32% terakreditasi
A, 43% terakreditasi B, 20% terakreditasi C dan sisanya 5% tidak terakreditasi.
Selanjutnya untuk SMK, sebanyak 38% terakreditasi A, 46% terakreditasi B, 14%
terakreditasi C dan sisanya 2% tidak terakreditasi. Hal ini menunjukkan bahwa
kita memiliki tanggungjawab untuk terus mengupayakan agar semua sekolah
memenuhi standar nasional pendidikan. Tantangan internal lainnya terkait
dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk
usia produktif. Penduduk usia
produktif ini harus disiapkan sedini mungkin melalui pendidikan berkualitas
sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap pembangunan nasional.
Pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan antaralain oleh kurikulum yang
mampu menjawab perubahan dan tantangan zaman.
Terkait dengan
tantangan internal pertama, berbagai program dan kegiatan dilaksanakan untuk mengupayakan agar
penyelenggaraan pendidikan dapat mencapai
standar yang telah ditetapkan. Di dalam memenuhi Standar Pengelolaan, hal-hal yang dikembangkan antara lain adalah pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah.
Rehabilitasi gedung sekolah dan penyediaan laboratorium serta perpustakaan
sekolah terus dilaksanakan agar setiap sekolah yang ada di Indonesia dapat
mencapai Standar Sarana-Prasarana yang telah ditetapkan.
Dalam mencapai Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan, berbagai upaya yang dilakukan antara lain
adalah peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru, pembayaran tunjangan
sertifikasi, serta uji kompetensi dan pengukuran kinerja guru. Keempat standar tersebut dikembangkan untuk
mendukung implementasi kurikulum yang lebih baik dan yang lebih memberikan
kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan potensi dirinya.
Keempat standar lainnya, yaitu Standar Kompetensi Lulusan,Standar
Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian, merupakan standar yang terkait langsung dengan kurikulum. Standar-standar tersebut perlu secara terus menerus dikaji agar peserta
didik dapat memiliki kompetensi yang telah dirumuskan. Kajian-kajian
tersebut menyebabkan adanya perubahan dalam standar dan berdampak pada perubahan kurikulum.Gambar
1 memperlihatkan keterkaitan antara
standar dan kurikulum.
Gambar 1
Terkait dengan tantangan yang
kedua, saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun)
lebih banyak daripada usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan
orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan
mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035,yaitu pada saat angkanya mencapai 70% dari jumlah penduduk Indonesia. Komposisi ini mengandung makna bahwa kelompok
produktif yang besar ini akan menjadi pendukung potensial bagi kehidupan bangsa
Indonesia yang lebih baik ketika kelompok ini memiliki kompetensi yang
diperlukan.Hal ini dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 2
Dari Gambar 2 terlihat bahwa
sampai tahun 2035, penduduk usia kerja menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Ini
berarti bahwa pada tahun 2020-2035 sumber daya manusia (SDM) Indonesia usia
produktif akan melimpah. SDM yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan
keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun
apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban
pembangunan.Tantangan besar
yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang
melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan
keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Artinya, kurikulum harus memberikan kesempatan
yang luas bagi penduduk usia sekolah untuk mengembangkan potensi mereka menjadi
kemampuan yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan umat manusia.
B. Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal yang
dihadapi dunia pendidikan berkaitan dengan tantangan dan kompetensi yang diperlukan di masa depan,
persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai
fenomena negatif yang mengemuka.Tantangan masa depan antara lain terkait dengan
arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup,
kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan
perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Di era globalisasi, dimana terjadi perubahan-perubahan
yang sedang dan akan berlangsung
dalam waktu cepat,dunia
menjadi semakin transparan,
terasa sempit, dan seakan tanpa batas.Hubungan komunikasi, informasi, dan
transportasi menjadikan satu sama lain menjadi dekat sebagai akibat darihasil
pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi informasi dan komunikasi. Arus globalisasi menggeser pola hidup
masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri
dan perdagangan modern seperti yang diindikasikan dengan dibentuknya WTO, ASEAN
Community, APEC, dan AFTA. Tantangan masa depan juga terkait dengan pergeseran
kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, serta mutu, investasi
dan transformasi pada sektor pendidikan.
Arus globalisasi dalam dunia pendidikan merupakan
tantangan yang nyata di Indonesia. Keikutsertaan Indonesia di dalam
studi International TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for International Student Assessment) sejak tahun 1999 juga
menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam
beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA yang hanya menduduki
peringkat empat besar dari bawah. Penyebab capaian yang rendah ini antara lain adalah karena
banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat di
kurikulum Indonesia.
Kompetensi masa depan
yang diperlukan dalam menghadapi arus globalisasi antara lain berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi,
berpikir jernih dan kritis, kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kemampuan
menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kemampuan mencoba untuk mengerti
dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, dan kemampuan hidup dalam
masyarakat yang mengglobal. Disamping itu generasi Indonesia juga harus
memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki
kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, dan memiliki rasa tanggung-jawab
terhadap lingkungan.
Gambar 3 merangkum berbagai
tantangan eksternal yang merupakan conditio
sine qua non bagi dunia pendidikan Indonesia untuk memiliki kurikulum baru
yang dapat menjawab tantangan eksternal.
Gambar 3
Dilihat dari persepsi
masyarakat dan kajian para ahli,
pendidikan di Indonesia saat ini dinilai terlalu menitik-beratkan pada aspek
kognitif tingkat rendah dan
beban siswa dianggap terlalu berat,
dan kurang bermuatan karakter. Pengetahuan tentang fakta yang hanya memerlukan kemampuan kognitif
mengingat menjadi hasil belajar yang dominan, sedangkan kemampuan menerapkan
apa yang sudah dipelajari di sekolah dan di masyarakat dan kemampuan berpikir
kreatif sebagai dasar bagi kemampuan kreativitas baik dalam ilmu mau pun dalam
aspek kehidupan tidak mendapat perhatian yang cukup dalam kurikulum. Demikian pula
dalam aspek sikap dan kebiasaan yang menjadi dasar bagi pengembangan soft-skillstidak menjadi hasil belajar
yang diandalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam hasil belajar ranah
psikomotorik yang untuk menghasilkan kemampuan pada jenjang mahir dan kreatif
memerlukan kemampuan kognitif tinggi dan nilai serta sikap yang tinggi pula.
Akibat dari penguasaan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik pada
jenjang rendah upaya pengembangan kurikulum menjadi suatu keharusan yang
mendesak agar penduduk usia produktif memiliki berbagai kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotorik untuk digunakan dalam mengembangkan kehidupan
pribadi, masyarakat dan bangsa yang lebih baik.
Penyelenggaraan
pendidikan juga perlu memperhatikan perkembangan pengetahuan yang terkait
dengan perkembangan neurologi dan psikologi serta perkembangan pedagogi yang
terkait dengan observation-based
(discovery) learning,collaborative learning,
dan Project-Based Learning. Ketiga pendekatan dalam belajar ini memungkinkan penerapan teori belajar
tentang kemampuan berpikir, kebiasaan belajar, sikap, dan keterampilan
psikomotorik. Kelompok kemampuan ini yang merupakan kompetensi utama dalam
belajar dan termasuk ke dalam yang dinamakan developmental content, hanya dapat dikembangkan melalui suatu
kegiatan belajar yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Kegiatan belajar yang
dikembangkan dalam Observation-based
learning, Collaborative Learning, dan Project-Based Learning memberikan
kesempatan yang leluasa untuk mengembangkan kemampuan kelompok developmental content. Aplikasi dari
kegiatan belajar yang demikian adalah pada pengembangan kurikulum yang memiliki
desain sesuai dengan karakteristik konten tersebut dalam bentuk proses belajar.
Artinya, diperlukan suatu desain kurikulum yang menerapkan proses belajar yang
berkelanjutan dan berkesimbungan. Dengan perkataan lain organisasi konten yang
berkesinambungan secara vertikal dan saling memperkuat secara horizontal.
Tantangan eksternal lainnya berupa fenomena negatif yang mengemuka antara
lain terkait dengan masalah
perkelahian pelajar, masalah narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam
ujian, dan gejolak sosial di masyarakat (social
unrest). Permasalahan sosial
merupakan hal yang selalu harus mendapat perhatian kurikulum dan berpengaruh
terhadap kurikulum, sebagaimana yang dikemukakanoleh Oliva (1992). Oliva
mengatakan bahwa curriculumis a product
of its time.... Curriculum reponds to and is changed by social forces,
philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and
educational leadership at its moment in history.Perubahan yang terjadi di
masyarakat harus dijawab tetapi juga berpengaruh terhadap kurikulum sehingga
perubahan kurikulum merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan.
C. Penyempurnaan Pola Pikir
Pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat terwujud apabila terjadi pergeseran atau perubahan pola
pikir. Laporan BSNP tahun 2010 dengan judul Paradigma Pendidikan Nasional Abad
XXI menegaskan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam menghadapi
masa depan perlu dilakukan perubahan paradigma pembelajaran melalui pergeseran
tata cara penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas
atau lingkungan sekitar lembaga pendidikan tempat siswa menimba ilmu.
Pergeseran itu meliputi proses pembelajaran sebagai berikut:
1. Dari
berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa. Apayang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak,
dan menulis, maka sekarang guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling
berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari
pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.
2. Dari
satu arah menuju interaktif. Mekanisme
pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke siswa, maka saat ini
harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk
komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai
pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola.
3. Dari
isolasi menuju lingkungan jejaring. Proses pembelajaran yang dominan sekarang adalah siswa hanya dapat
bertanya pada guru dan berguru pada buku yang ada di dalam kelas semata, maka kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada
siswa menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat
dihubungi serta diperoleh via internet.
4. Dari
pasif menuju aktif-menyelidiki. Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja
mendengarkan dan menyimak baik-baik apa yang disampaikan gurunya agar mengerti,
maka kurikulum yang akan datang
harus memberikan kesempatan kepada siswa lebih aktif dengan cara
memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya secara berkelanjutan dan meningkat dalam kualitas
soal yang diajukan.
5. Dari
maya/abstrak menuju konteks dunia nyata. Dalam proses pembelajaran, contoh-contoh yang diberikan guru kepada
siswanya kebanyakan bersifat abstrak
dan tidak terkait dengan kehidupan nyata siswa, kurikulum yang akan datang harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menerapkan apa yang dipelajari di sekolah dalam kehidupan nyata sesuai
dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan.
6. Dari
belajar yang bersifat individual menuju
pembelajaran berbasis tim. Proses
pembelajaran yang terjadi bersifat
kelas tetapi pada dasarnya siswa belajar lebih bersifat personal atau
berbasiskan masing-masing individu, maka kurikulum yang akan dikembangkan
adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.
7. Dari
pengetahuan yang umum dan luas tapi
tidak dapat digunakan dalam masyarakat menuju pengetahuan yang mendalam dan dapat digunakan dalam
kehidupan di masyarakat.Pada saat sekarang, ilmu atau materi yang didesain dalam kurikulum lebih
bersifat umum (semua materi yang dianggap perlu diberikan), maka kurikulum yang akan datang dipilih ilmu
atau materi yang benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara
sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang
diberikan).
8. Dari
stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru. Dalam kurikulum yang berlaku, siswa hanya
menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru
(mata dan telinga), maka dalam
kurikulum yang akan datang semua panca indera dan komponen
jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran (kognitif,
afektif, dan psikomotorik).
9. Dari
alat tunggal menuju alat multimedia. Kurikulum yang berlaku terbatas pada menggunakan papan tulis untuk mengajar dan sedikit penerapan teknologi informasi,
kurikulum yang akan datang harus
memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk dapat menggunakan beranekaragam
peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia, baik yang bersifat konvensional
maupun modern.
10. Dari
hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif. Kurikulum yang akan datang haruslah didasarkan pada proses pembelajaran
kooperatif, dimana siswa belajar dari teman sekelompok yang memiliki kemampuan
untuk menjelaskan dan memimpin kelompok dalam diskusi serta menyelesaikan
masalah.
11. Dari
produksi massal menuju kebutuhan pelanggan. Jika kurikulum sekarang didesain untuk semua
siswa tanpa kecuali untuk memperoleh
bahan atau konten materi yang sama, maka kurikulum yang akan datang perlu mengakomodasi kebutuhan berbeda
setiap siswa untuk mendapatkan konten sesuai dengan ketertarikan atau keunikan
potensi yang dimilikinya.
12. Dari
usaha sadar tunggal menuju jamak. Jika kurikulum yang berlaku siswa harus secara seragam mengikuti sebuah cara
dalam berproses maka yang harus ditonjolkan sekarang justru adanya keberagaman
inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.
13. Dari
satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak. Kurikulum yang akan datang tidak boleh
membatasi siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu
sisi pandang ilmu, maka sekarang konteks pemahaman akan jauh lebih baik
dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.
14. Dari
kontrol terpusat pada guru menuju
pembelajaran yang memberikan otonomi
dan kepercayaan kepada siswa.
Kontrol dan kendali kelas untuk kurikulum yang akan datang tidak
hanya pada guru tetapi
siswa diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan
aktivitasnya masing-masing.
15. Dari
belajar hafalan faktual
menuju kemampuan berpikir kritis-kreatif. Kurikulum yang akan datang tidak lagi membahas
pengetahuan yang hanya bersifat faktual tetapi
dikembangkan kepada pengembangan
kemampuan berpikir kritis-kreatif melalui pembahasan terhadap berbagai problema.
16. Dari
penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Kurikulum yang berlaku mengembangkan
“pemindahan” ilmu dari guru ke siswa, maka dalam abad XXI ini yang terjadi di
kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan
sesamanya.
Undang-undangSistem Pendidikan Nasional mengamanatkan kompetensi lulusan yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan pada tingkat individu, masyarakat, bangsa
dan negara, serta peradaban. Pencapaian kompetensi lulusan dirumuskan dalam
bentuk Standar Kompetensi Lulusan, yang menjadi acuan dalam pengembangan Standar Isi, Standar Proses, dan Standar
Penilaian.
D. Pendalaman dan Perluasan Materi
Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 level
kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua siswa Indonesia
hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara negara lain yang
terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4, 5, dan 6. Dengan
keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat
disimpulkan dari hasil studi ini hanya satu, yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan
tuntutan zaman.
Gambar 4
Analisis hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika dan IPA
untuk siswa kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk
bidang matematika, lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level
menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% siswanya mampu mencapai level
tinggi dan advance. Dari hasil ini
dapat disimpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang
diujikan atau yang distandarkan di tingkat internasional.
Gambar 5
Untuk bidang IPA, pencapaian siswa kelas 2 SMP juga tidak jauh berbeda
dengan pencapaian yang mereka peroleh untuk bidang matematika. Hasil studi pada
tahun 2007 dan 20011 menunjukkan bahwa lebih dari 95% siswa Indonesia hanya
mampu mencapai level menengah, sementara hampir 40% siswa Taiwan mampu mencapai
level tinggi dan advance. Dengan
keyakinan bahwa semua anak dilahirkan sama, kesimpulan yang dapat diambil dari
studi ini adalah bahwa apa yang diajarkan kepada siswa di Indonesia berbeda
dengan apa yang diujikan atau distandarkan di tingkat internasional.
Gambar 6
Hasil studi internasional untuk reading
dan literacy (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan
hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi untuk tingkat SMP seperti yang
dipaparkan terdahulu. Dalam hal membaca, lebih dari 95% siswa Indonesia di SD
kelas IV juga hanya mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50%
siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Hal ini juga menunjukkan bahwa apa yang diajarkan di
Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan dan distandarkan pada tingkat
internasional
Gambar 7
Hasil analisis lebih jauh untuk studi TIMSS dan PIRLS menunjukkan bahwa
soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dibagi menjadi empat
kategori, yaitu:
-
low mengukur
kemampuan sampai level knowing
-
intermediate
mengukur kemampuan sampai level applying
-
high mengukur
kemampuan sampai levelreasoning
-
advancemengukur
kemampuan sampai level reasoning with
incomplete information.
Domain
|
Topics
|
Biology
|
1.
|
Major organs and organ systems in humans and other organisms
|
2.
|
Cells and their functions, including respiration and
photosynthesis as cellular process
|
3.
|
Reproduction and heredity
|
4.
|
Role of variation
|
&
|
adaptation in survival/extinction of species in a changing
environ
|
.
|
5.
|
Interdependence of populations of organisms in an ecosystem
|
6.
|
Reasons for increase in world’s human population and
|
its
|
effects on the environment
|
7.
|
Human health (infection, prevention, immunity
|
)
|
and the importance of diet
|
&
|
exercise
|
Chemistry
|
1.
|
Classification, composition,
|
and particulate structure of matter (
|
inside atom
|
)
|
2.
|
Solutions (solvent, solute, concentration/dilution, effect of
temperature on solubility)
|
3.
|
Properties and uses of common acids and bases
|
4.
|
Chemical change (transformation
|
,
|
conservation
|
,
|
oxidation
|
)
|
Physics
|
1.
|
Physical states and changes in matter
|
2.
|
Energy forms, transformations, heat, and temperature
|
3.
|
Basic properties/behaviors of light and sound
|
4.
|
Electric circuits and properties and uses of permanent magnets
and electromagnets
|
5.
|
Forces and motion (forces, basic description of motion,
effects of density
|
&
|
pressure)
|
Earth
|
Science
|
1.
|
Earth’s structure and
|
physical features
|
2.
|
Earth’s processes, cycles, and history
|
3.
|
Earth’s resources, their use, and conservation
|
4.
|
Earth in the solar system and the universe
|
Ada beberapa topik yang sebenarnya diajarkan di kelas IX,
sehingga belum semua diajarkan pada
|
siswa SMP Kelas VIII yang mengikuti TIMSS
|
Tabel 1: Perbandingan
Kurikulum IPA SMP Kelas VIII dan Materi TIMSS
|
Merah: Belum Diajarkan di Kelas VIII
|
Analisis lebih jauh untuk membandingkan kurikulum IPA SMP kelas 2 yang
ada di Indonesia dengan materi yang terdapat di TIMSS menunjukkan bahwa
terdapat beberapa topik yang sebenarnya belum diajarkan di kelas 2 SMP (Tabel
2). Hal yang sama juga terdapat di kurikulum matematika kelas 2 SMP di mana
juga terdapat beberapa topik yang belum diajarkan di kelas 2. Lebih parahnya
lagi, malah terdapat beberapa topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam
kurikulum saat ini, sehingga menyulitkan bagi siswa kelas 2 SMP menjawab
pertanyaan yang terdapat di dalam TIMSS.
Domain
|
Topics
|
Number
|
1.
|
Computing
|
, estimating, or approximating
|
with whole numbers
|
2.
|
Concepts of fractions and computing with fractions
|
3.
|
Concepts of decimals and computing with decimals
|
4.
|
Representing, comparing, ordering, and computing with integers
|
5.
|
Problem solving involving percents and proportions
|
Algebra
|
1.
|
Numeric, algebraic, and geometric patterns or sequences
|
2.
|
Simplifying and evaluating algebraic expressions
|
3.
|
Simple linear equations and inequalities
|
4.
|
Simultaneous (two variable
|
s
|
equations)
|
5.
|
Representation of functions as ordered pairs, tables, graphs,
words, or equations
|
Geometry
|
1.
|
Geometric properties of angles and geometric shapes
|
2.
|
Congruent figures and similar triangles
|
3.
|
Relationship between three
|
-
|
dimensional shapes and their two
|
-
|
dimensional represent
|
.
|
4.
|
Using appropriate measurement formulas for perimeters,
circumferences, areas, surface
|
areas, and volumes
|
5.
|
Points on the Cartesian plane
|
6.
|
Translation, reflection, and rotation
|
Data &
|
Chances
|
1.
|
Reading and displaying data using tables, pictographs, bar,
pie, and line graphs
|
2.
|
Interpreting data sets
|
3.
|
Judging, predicting, and determining the chances of possible
outcomes
|
Ada beberapa topik yang tidak terdapat pada kurikulum saat
ini, sehingga menyulitkan bagi siswa
|
kelas VIII yang mengikuti TIMSS
|
Tabel 2: Perbandingan
Kurikulum Matematika SMP Kelas VIII dan Materi TIMSS
|
Merah: Belum Diajarkan di Kelas VIII
|
Hal yang sama juga terjadi di kurikulum matematika kelas 4 SD pada studi
PIRLS di mana juga terdapat topik yang belum diajarkan ke kelas 4 dan topik
yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini, seperti bisa
dilihat pada Tabel 3.
Domain
|
Topics
|
Number
|
1.
|
Concepts of whole numbers, including place value and ordering
|
2.
|
Adding, subtracting, multiplying, and/or dividing with whole
numbers
|
3.
|
Concepts of fractions
|
4.
|
Adding and subtracting with fractions
|
5.
|
Concepts of decimals, including place value and ordering
|
6.
|
Adding and subtracting with decimals
|
7.
|
Number sentences
|
8.
|
Number patterns
|
Geometry
|
Shapes and
|
Measu
|
-
|
rement
|
1.
|
Lines: measuring, estimating length of; parallel and
perpendicular lines
|
2.
|
Comparing and drawing angles
|
3.
|
Using informal coordinate systems to locate points in a plane
|
4.
|
Elementary properties of common geometric shapes
|
5.
|
Reflections and rotations
|
6.
|
Relationships between two
|
-
|
dimensional and three
|
-
|
dimensional shapes
|
7.
|
Finding and
|
estimating
|
areas, perimeters, and volumes
|
Data
|
Display
|
1.
|
Reading data from tables, pictographs, bar graphs, or pie
charts
|
2.
|
Drawing conclusions from data displays
|
3.
|
Displaying data using tables, pictographs, and bar graphs
|
Ada beberapa topik yang tidak terdapat pada kurikulum saat
ini, sehingga menyulitkan bagi siswa
|
kelas VIII yang mengikuti TIMSS
|
Tabel 3: Perbandingan
Kurikulum Matematika SD Kelas IV dan Materi TIMSS
|
Merah: Belum Diajarkan di Kelas IV
|
Dalam kaitan itu, perlu dilakukan langkah penguatan materi dengan
mengevaluasi ulang ruang lingkup materi yang terdapat di dalam kurikulum dengan
carameniadakan materi yang tidak esensial atau tidak relevan bagi siswa,
mempertahankan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan menambahkan
materi yang dianggap penting dalam perbandingan internasional. Disamping itu
juga perlu dievaluasi ulang tingkat kedalaman materi sesuai dengan tuntutan perbandingan
internasional dan menyusun kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang
dibutuhkan.
BAB III
LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Standar Dalam Pengembangan Kurikulum
Meskipun standar mempunyai beberapa pengertian yang tergantung pada
konteks penggunaannya, namun
suatu standar menurut Ravitch (1995) adalahboth a “goal” (what
should be done) and a “measure” of progress toward that goal (how well it was
done). Standar hidup sangat diperlukan dalam kehidupan manusia terutama di
negara yang sudah modern.Oleh karena itu, penyediaan berbagai standar dalam
berbagai bidang kehidupan (standard of
living) di setiap negara sudah menjadi tuntutan global dan mutlak untuk
diwujudkan. Standar dalam berbagai bidang kehidupan disusun dalam rangka
memudahkan setiap orang untuk menentukan kepastian apa yang harus dilakukan dan
mengukur sejauh mana keberhasilan pencapaiannya.
Begitu pula di bidang
pendidikan, penyediaan standar berbagai komponen pendidikan sudah menjadi kecenderungan
internasional.Misalnya negara anggota The Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) telah membuat standar pendidikan yang
berlaku untuk seluruh negara yang menjadi anggotanya.
Dengan
adanya standar pendidikan yang jelas akan membuat kepastian bagi setiap orang
dalam mencapai keunggulan yang hendak diraihnya dalam bidang pendidikan.
Standar dalam pendidikan,
agar tidak dipandang berbeda oleh orang-orang yang berbeda, perlu disertai dengan alat pengukur yang
digunakan untuk mengukur keberhasilan pencapaiannya. Ravitch (1995) mengatakan
bahwa a standard is not useful or
meaningful unless there is some way to measure whether it is reached
---standar tidak berguna dan tidak bermanfaat jika tidak ada instrumen untuk mencapai standar tersebut.
Kurikulum adalah instrumen atau cara untuk mengembangkan kualitas dan mencapai
kualitas yang dinyatakan dalam standar terutama standar kompetensi lulusan.
Seperti halnya di negara-negara
lain yang menganut kebijakan
pengembangan kurikulum yang berbasis sekolah, berdasarkan UU Pemerintah Daerah, pendidikan
di Indonesia sudah memberikan
wewenang pengelolaan kepada pemerintah daerah, dan berdasarkan UU nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menganut paham
standarisasi (standards-based education).
Hal ini ditunjukkan dengan diberlakukannya berbagai standar pendidikan yang
terdiri atas Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Tenaga Kependidikan,
Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian. Standar nasional
pendidikan diartikan sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia [Pasal 1 Ayat (17) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional].
B. Landasan Filosofis Kurikulum
Landasan filosofis bagi pengembangan suatu
kurikulum amat penting. Schubert (1986) menyatakan bahwaphilosophy lies at the heart of educational
endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other,
for curriculum is a response to the question of how to live a good life. Arti pentingfilosofi dalam suatu
pengembangan kurikulum karena wawasan pengembang kurikulum didasari atas
keyakinannya mengenai pendidikan sebagai proses pengembangan potensi peserta
didik. Oleh karena itu Tanner dan Tanner (1986) mengatakan bahwa philosophy servesas both a source and an
influence for educational objectives and curriculum development.
Untuk pengembangan kurikulum yang akan dilakukan,
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia menjadi sumber utama dan
penentu arah yang akan dicapai dalam kurikulum. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila adalah nilai-nilai dasar yang dikembangkan dalam kurikulum.
Cara pandang bangsa Indonesia yang tercantum dalam rumusan Pancasila dan menjadi
pedoman dalam pengembangan kualitas bangsa Indonesia menjadi amanat penting dan
utama dalam kurikulum yang akan dikembangkan.
Berdasarkan Pancasila, kurikulum dikembangkan atas
dasar filosofi sebagai berikut:
1. Kurikulum berakar pada budaya lokal dan
bangsa (Dewantara, 1936; Bloomer, 1997). Kurikulum harus selalu didasarkan pada
apa yang dimiliki budaya lokal dimana peserta didik hidup sampai kepada budaya
nasional. Berdasarkan pandangan filosofi ini maka kurikulum memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari budaya setempat dan nasional
tentang berbagai nilai yang penting, dan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk berpartisipasi dalam mengembangkan nilai-nilai budaya setempat dan
nasional menjadi nilai budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka
dan menjadi nilai yang dikembangkan lebih lanjut untuk kehidupan di masa depan.
Filosofi ini memberikan arah dan proses pendidikan sebagai cultural transmission and cultural development.
2. Kurikulum dikembangkan berdasarkan
filosofi eksperimentalisme yang mengatakan bahwa proses pendidikan adalah upaya
untuk mendekatkan apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di
masyarakat baik dalam bentuk menjadikan apa yang terjadi di masyarakat sebagai
sumber konten kurikulum mau pun mengembangkan potensi peserta didik sebagai agent of change dalam berpartisipasi
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Manusia yang demokratis dalam
sistem kehidupan bernegara, politik dan sosial adalah tujuan pendidikan yang
harus menjadi kepedulian kurikulum.
3. Filosofi
yang dikenal dengan nama
rekonstruksi sosial memberikan dasar bagi pengembangan kurikulum untuk
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang peduli pada lingkungan sosial,
alam, dan lingkungan budaya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa
pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi intelektual, berpikir
rasional, dan kemampuan membangun masyarakat demokratis peserta didik menjadi
suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat
yang lebih baik.
4. Filsofi esensialisme dan perenialisme yang
menempatkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional sebagai aspek penting
yang harus menjadi kepedulian kurikulum untuk dikembangkan. Manusia cerdas dan
intelektual adalah manusia yang terdidik dan sekolah harus menjadi centre for excellence, di mana kurikulum
memiliki tugas mengembangkan potensi manusia dalam aspek intelektual dan
rasional semata. Filsafat esensialisme dan perenialisme merupakan filsafat yang banyak digunakan
dalam mengembangkan kurikulum di berbagai negara di berbagai belahan dunia dan
penerapannya secara ekslusif akan menhasilkan manusia cerdas secara akademik
tetapi kurang memiliki kepedulian sosial dan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Dua filosofi ini harus digunakan bersama-sama filosofi lain yang diungkapkan di
atas agar kurikulum dapat mengembangkan potensi intelektual jamak manusia.
5. Kurikulum dikembangkan berdasarkan
filosofi eksistensialisme dan romantik naturalisme bahwa proses pendidikan
adalah untuk mengembangkan rasa kemanusiaan yang tinggi, kemampuan berinteraksi
dengan sesama dalam mengangkat harkat kemanusiaan, dan kebebasan berinisiatif
serta berkreasi. Pandangan filsafat ini memberikan arahan bahwa setiap individu
peserta didik adalah unik, memiliki kebutuhan belajar yang unik, serta perlu
mendapatkan perhatian secara individual. Mereka adalah subjek dalam pendidikan
yang memiliki kebebasan untuk menentukan kehidupan mereka.
Masing-masing filosofi
tersebut memiliki keunggulan dan berkenaan dengan salah satu potensi manusia. Sedangkan
pendidikan berkenaan dengan pengembangan seluruh potensi manusia atau seperti
apa yang dinamakan dengan manusia seutuhnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Oliva
(1997), pengembangan kurikulum adalahan
eclectic approach to philosophy, choosing the best from several philosophies.Mengingat keunggulan setiap filosofi dan
keterbatasannya dalam pengembangan potensi manusia, maka kepedulian utama
kurikulum adalah pada pengembangan potensi manusia. Oleh karena itu kurikulum
yang baru terkait dengan pengembangan berbagai potensi setiap anak menjadi
kemampuan prima (intelligence) yang
bersifat jamak. Dengan demikian maka kurikulum baru memanfaatkan setiap
keunggulan filosofi menjadi sesuatu yang bersifat eklektik, mengingat posisi
peserta didik sebagai manusia dengan beragam potensi yang mereka miliki untuk
dapat dikembangkan menjadi beragam kemampuan prima.
C. Kurikulum
Banyak definisi kurikulum
yang dikemukakan para ahli.Pada
dasarnya, definisi-definisi tersebut bersifat operasional dan sangat
membantu proses pengembangan kurikulum, tetapi pengertian atau makna
kurikulum yang diajukan tidak lengkap. Ada ahli yang mengemukakan bahwa kurikulum adalah
pernyataan mengenai tujuan, ada yang mengemukakan bahwa kurikulum adalah suatu
rencana tertulis (Tanner and Tanner, 1980), dan ada yang menyatakan bahwa kurikulum adalah pengalaman nyata yang
dialami peserta didik dengan bimbingan sekolah (Saylor dan Alexander,
1980).Definisi yang dikemukakan sering
hanya berkenaan dengan salah satu dimensi kurikulum, yaitu dimensi ide, dimensi dokumen, dan dimensi implementasi. Memang secara tekniskurikulum mencakup dimensi ide, dokumen
tertulis, implementasi, dan hasil (Hasan, 2000) dan oleh karena itu definisi teknis yang dikemukakan seharusnya mencakup
keempat dimensi tersebut, bukan hanya mengenai salah satu dimensi kurikulum.
Secara konseptual, kurikulum adalah jawaban pendidikan terhadap kebutuhan dan tantangan masyarakat
(Oliva, 1997). Definisi ini sering dilupakan orang, padahal kurikulum dalam pengertian ini teramat penting karena definisi ini menggambarkan posisi
pedagogis kurikulum dalam mengembangkan potensi peserta didik, dan landasan
bagi pertanyaan utama yang harus dijawab ketika proses pengembangan suatu kurikulum akan dimulai. Oleh karena itu, pengertian ini sangat fundamental dan menggambarkan
posisi sesungguhnya kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Atas dasar pemikiran tersebut, Klein
(1999) menempatkan posisi kurikulum
sebagaithe
heart of education. Dengan
posisi tersebut maka proses
pengembangan kurikulum tidak boleh hanya terjebak pada pengertian kurikulum
yang berkaitan dengan dimensi kurikulum semata danbersifat praktis tetapi dimulai dengan jawaban yang
diberikan pendidikan terhadap tantangan masyarakat bagi kehidupan manusia
Indonesia di masa kini dan masa mendatang. Setelah jawaban tersebut diperoleh
maka proses pengembangan kurikulum sebagai rencana tertulis baru dapat dimulai,
dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum sebagai proses pembelajaran, dan
evaluasi hasil kurikulum.
1. Kurikulum Sebagai Jawaban Pendidikan
Terhadap Kebutuhan Bangsa
Dalam kedudukannya sebagai program
pendidikan, secara filosofis dan konseptual, kurikulum adalah jawaban dunia
pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dalam membangun kualitas generasi muda
untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Oliva (1997:29) mengatakan:
Curriculum
is a product of its time. Curriculum responds to and is changed by
social forces, philosophical positions, psychological principles, accumulating
knowledge, and educational leadership at its moment in history
Pengertian ini sangat mendasar menggambarkan
hakekat kurikulum yang sebenarnya sebagai program pendidikan. Sebagai esensi
dari proses pendidikan maka kurikulum dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat
dan bangsa mengenai kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa depan(Jacobs,
2010). Dalam pengertian tersebut maka kurikulum adalah sesuatu yang dipersiapkan
untuk membangun kehidupan bangsa, masyarakat, dan individu peserta didik di
masa depan. Pembangunan kehidupan bangsa dan masyarakat dilakukan melalui
pengembangan potensi individu peserta didik yang akan menjadi anggota
masyarakat dan warganegara produktif suatu bangsa.
Oleh karena itu sudah seharusnya proses
pengembangan kurikulum diawali dengan analisis tentang kehidupan masyarakat dan
bangsa di masa depan, kualitas warga masyarakat dan warga negara yang akan
melanjutkan dan mengembangkan kehidupan masyarakat tersebut ke arah yang lebih
baik. Konsep kehidupan masyarakat dan bangsa tersebut meliputi berbagai aspek
kehidupan masyarakat masa kini yang perlu dan harus dilanjutkan di masa depan,
ditingkatkan, dan diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan masa
mendatang. Untuk itu kurikulum harus menjawab tantangan yang berkaitan kualitas
kemampuan yang perlu dimiliki generasi muda sebagai pewaris dan pengembang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya, kurikulum selalu berorientasi
pada apa yang sudah dimiliki masyarakat dan bangsa masa kini dan apa yang perlu
dimiliki masyarakat dan bangsa di masa depan untuk membangun suatu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang sehat dan bermartabat.
Kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa yang
sehat dan bermartabat dimasa depan ditentukan melalui suatu keputusan politik
bangsa. Keputusan politik tersebut dapat berbentuk Undang-Undang Dasar,
undang-undang atau bentuk lainnya tergantung pada sistem pendidikan yang
berlaku. Untuk Indonesia keputusan politik tersebut ditetapkan dalam UUD 1945,
UU Sisdiknas, Standar Kompetensi Lulusan yan dinyatakan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Daerah, dan ketetapan pada jenjang
yang lebih rendah seperti Dewan Pendidikan atau pun Komite Sekolah, sesuai
dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang dilayani suatu kurikulum. Kualitas
kehidupan bangsa secara nasional tentu saja dibangun berdasarkan analisis
kebutuhan nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
serta kehidupan antar bangsa. Kualitas kehidupan suatu masyarakat di daerah
tertentu tentu saja ada persamaan dengan kualitas kehidupan berbangsa secara
nasional tetapi juga memiliki kekhasan tertentu yang berbeda dari lingkungan
masyarakat lainnya. Perbedaan-perbedaan itu merupakan kekayaan nasional ketika
dan menjadikan suatu karakter bangsa yang utuh.
Dari pengertian kurikulum yang dikemukakan
Oliva (1997) di atas tersurat bahwa kurikulum berubah disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu kekuatan sosial, perkembangan/perubahan filsafat yang digunakan,
perkembangan psikologi, terutama psikologi pendidikan dan psikologi belajar,
perkembangan pengetahuan, dan kepemimpinan di bidang politik dan pendidikan.
Kelima faktor ini, selain menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
kurikulum, juga menjadi landasan bagi pengembangan suatu kurikulum baru. Faktor
kekuatan sosial dan kepemimpinan yang berpengaruh terhadap kurikulum
menyebabkan kurikulum tidak dapat membebaskan diri dari kekuatan politik sesuai
dengan ungkapan bahwa curriculum is
politically viable. Kurikulum baru dapat dinyatakan berlaku apabila sesuai
dengan kemauan politik dan oleh karenanya suatu kurikulum tidak dapat
menempatkan diri sepenuhnya sebagai suatu produk pendidikan. Perubahan kurikulum
di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Korea Selatan dan banyak negara
lain termasuk Indonesia menunjukkan perubahan kurikulum terjadi juga karena adanya
perubahan kebijakan politik dan perubahan kekuatan sosial yang kemudian
berwujud pada kebijakan politik.
2. Dimensi Kurikulum
Sebagaimana telah disebutkan di bagian
terdahulu, secara kategorial pengertian kurikulum sebagai program pendidikan
diberi arti dalam dimensi kurikulum berikut ini:
-
sebagai
ide,
-
dokumen
tertulis,
-
proses
pembelajaran, dan
-
hasil
belajar.
Kurikulum sebagai ide berisikan jawaban pendidikan
terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa untuk mengembangkan kehidupan masa
depan masyarakat dan bangsa. Jawaban tersebut berupa penerapan filosofi dan
teori pendidikan yang dianggap tepat dan berguna untuk menjawab kebutuhan
masyarakat dan bangsa, pemilihan teori, model, dan prinsip kurikulum yang akan
digunakan dalam mengembangkan dokumen kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Kurikulum sebagai dokumen tertulis adalah
rancangan mengenai kualitas yang akan dimiliki peserta didik, konten yang
dipelajari untuk menguasai kualitas yang dirumuskan dalam tujuan,
proses/pengalaman belajar yang diperlukan untuk menguasai konten, dan penilaian
hasil belajar untuk membantu peserta didik dan guru mengenai tingkat pencapaian
kemampuan seorang peserta didik setelah melalui proses belajar serta upaya yang
harus dilakukan peserta didik dan guru untuk memperbaiki hasil belajar yang
belum mencapai tingkat kemampuan yang dipersyaratkan.
Apa yang telah dikemukakan, yaitu
kurikulum sebagai ide, dokumen tertulis, proses, dan hasil belajar, adalah
dimensi kurikulum sebagai praksis pendidikan. Keempat dimensi tersebut saling
terkait dan dapat digambarkan sebagai berikut (Hasan, 2010):
Gambar 8: Dimensi Kurikulum
Keempat dimensi tersebut terkait sangat erat. Ide
kurikulum adalah pikiran pendidikan yang menentukan konten dan format dokumen
kurikulumserta kurikulum sebagai pembelajaran. Dokumen kurikulum berisi
rancangan mengenai komponen kurikulum seperti tujuan, materi, proses, dan
penilaian. Selain ditentukan oleh kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai
pembelajaran ditentukan pula oleh kurikulum sebagai dokumen. Kurikulum sebagai
hasil ditentukan secara langsung oleh
kurikulum sebagai pembelajaran. Dengan demikian, kurikulum sebagai pembelajaran
adalah faktor penentu hasil belajar peserta didik. Jika kurikulum sebagai pembelajaran
tidak cukup baik menerjemahkan apa yang dirumuskan dalam dokumen kurikulum maka
kurikulum sebagai hasil atau hasil belajar yang dimiliki peserta didik tidak
akan mencapai apa yang dirancang dalam dokumen kurikulum.
Berbagai kondisi suatu lembaga pendidikan
berpengaruh terhadap realisasi ide kurikulum yang tertuang pada dokumen
kurikulum. Pengaruh tersebut dapat menjadi faktor mendukung pelaksanaan
kurikulum tetapi dapat juga menjadi menjadi faktor penghambat. Apabila para
pengembang kurikulum sebagai dokumen tidak mampu mengantisipasi berbagai
kondisi berbeda di berbagai lembaga pendidikan dan jika pelaksanaan atau
implementasi kurikulum tidak mampu mengatasi berbagai kondisi yang menjadi
penghambat, maka kurikulum sebagai hasil atau hasil belajar yang dimiliki
peserta didik bukanlah hasil yang dirumuskan dalam ide kurikulum dan dokumen
kurikulum.
Keterkaitan keempat dimensi kurikulum pada Gambar
2 itu menunjukkan pula bahwa jika pengembang dokumen kurikulum (guru) tidak
sepenuhnya mampu menerjemahkan ide kurikulum dalam suatu rancangan berupa
dokumen kurikulum maka akan menimbulkan kurikulum sebagai hasil yang berbeda
dari yang dirumuskan dalam kurikulum sebagai ide. Apabila pelaksanaan kurikulum
tidak sesuai dengan dokumen kurikulum maka kurikulum sebagai hasil akan berbeda
pula dari apa yang dirumuskan dalam dokumen kurikulum. Hasil belajar yang
dimiliki peserta didik adalah hasil langsung dari learned curriculum, yaitu hasil yang diperoleh peserta didik dari
pengalaman belajarnya dari suatu kurikulum. Pengalaman belajar tersebut
ditentukan oleh apa yang diajarkan guru (taught
curriculum) dan kemampuan, sikap, serta keterampilan yang dimiliki peserta
didik pada waktu belajar.
Dalam situasi dimana terjadi perbedaan (discrepancy) antara satu dimensi
kurikulum dengan dimensi lainnya maka hasil belajar yang dimiliki peserta didik
bukan hasil belajar dari ide kurikulum dan dokumen kurikulum tetapi merupakan
hasil belajar dari learned curriculum
yang merupakan kurikulum sebagai sesuatu yang dialami peserta didik (observed curriculum) dalam proses
implementasi kurikulum. Hasil belajar tersebut mungkin di bawah atau di atas
apa yang diinginkan kurikulum. Untuk memperbaiki hasil belajar yang di bawah
apa yang dirancang kurikulum maka perubahan yang harus dilakukan adalah
terhadap learned curriculum dengan
cara memperbaiki taught curriculum, yaitu
memperbaiki performance guru sehingga
apa yang diajarkan guru dan apa yang dialami peserta didik dalam belajar tidak
berbeda secara mendasar. Artinya, ketika suatu kurikulum baru akan
diimplementasikan maka guru perlu dipersiapkan secara mendasar sehingga guru
memahami ide kurikulum dengan baik,
memiliki sikap yang dipersyaratkan kurikulum baru, dan ketrampilan dalam
menterjemahkan ide dan desain kurikulum dalam bentuk taught curriculum yang sebangun dengan learned curriculum. Selain guru faktor lain yang dapat mendekatkan
antara taught curriculum dan learned
curriculum adalah fasilitas belajar antara lain buku dan manajemen
persekolahan yang memiliki kekuatan dalam membangun suasana kerja yang
kolaboratif antar guru dan antara guru dengan kepala sekolah.
Dari keempat dimensi kurikulum tersebut,
hasil adalah kompetensi yang dimiliki peserta didik dan merupakan variabel
terikat. Sebagai suatu kenyataan di lapangan, variabel ini tidak dapat
dikembangkan secara langsung tetapi tercapai melalui pengembangan ide
kurikulum, dokumen kurikulum, dan implementasi kurikulum. Meski pun demikian,
sebagai suatu hasil yang dirancang (ideal) maka kualitas yang harus dimiliki
peserta didik berpengaruh terhadap pengembangan ide, dokumen, dan implementasi.
Oleh karena itu, dalam proses pengembangan kurikulum para pengembang secara
langsung melakukan pengembangan dimensi ide, dokumen, dan implementasi yang
dipercaya akan memberikan hasil belajar sebagaimana yang diinginkan sebagai kualitas hasil.
3. Definisi Kurikulum
Pada umumnya definisi kurikulum terfokus pada
salah satu dimensi-dimensi kurikulum yang telah dikemukakan di atas. Ruang
lingkup kurikulum yang luas mencakup berbagai dimensi seringkali tidak
tercermin dengan baik dalam definisi kurikulum. Seringkali, perhatian khusus
dan yang terkait dengan salah satu
dimensi kurikulum menyebabkan kurikulum diidentikkan dengan dimensi yang
didefinisikan. Tentu saja fokus pada salah satu dimensi menyebabkan proses
pengembangan kurikulum menjadi lebih mudah dan prosedur pengembangan dapat
dirinci dalam langkah-langkah yang cukup teknis. Kelemahannya definisi pada
salah satu dimensi adalah keutuhan keseluruhan konstrak kurikulum tidak
tergambarkan.
Perbedaan definisi terjadi karena ketidakutuhan
persepsi terhadap dimensi kurikulum dan juga oleh teori pendidikan yang
digunakan untuk memahami salah satu dimensi tersebut. Konsekuensi dari
perbedaan tersebut sering melahirkan istilah-istilah teknis yang berbeda
seperti misalnya kurikulum sebagai yang diajarkan guru (as taught), kurikulum sebagai kenyataan yang dialami peserta didik (as learned) kurikulum sebagai realisasi
dari rancangan (as reality, as
implemented).
Secara praktis, berbagai definisi kurikulum
sebagai praksis pendidikan dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
-
Kurikulum
sebagai rangkaian hasil belajar
-
Kurikulum
sebagai rangkaian rencana bahan ajar
-
Kurikulum
sebagai pengalaman belajar
Kurikulum sebagai rangkaian hasil belajar
menghasilkan kurikulum yang berorientasi hasil belajar (outcomes-basedcurriculum)(Oliva,
1997). Varian yang yang berkembang pada saat sekarang adalah model
“competency-based curriculum”. Diantara tokoh yang menggalakkan pendekatan ini
adalah Bloom, Popham dan Baker, dan Johnson. Dalam rancangan kurikulum proses
penentuan kompetensi adalah suatu kegiatan penting karena hasil belajar
diartikan sebagai kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi
tersebut adalah kualitas yang diperlukan untuk kehidupan peserta di masa
mendatang dalam lingkungan masyarakat dan bangsanya.
Definisi kurikulum yang dikemukakan oleh Popham
dan Baker (1967) yang mengatakan: all
planned learning outcomes for which the school is responsible. Demikian pula yang dikemukakan oleh
Johnson (1967) bahwa kurikulum adalah a structured series of intended learning
outcomes. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa kurikulum adalah rancangan
hasil belajar dimana Popham dan Baker (1967) menggunakan istilah planned learning outcomes sementara
Johnson menggunakan istilah intended
learning outcomes.
Dalam konsep kurikulum berdasarkan hasil belajar
kegiatan penentuan hasil belajar menjadi sangat penting. Kriteria penting hasil
belajar ditentukan oleh pandangan pendidikan yang berpengaruh sangat kuat
terhadap kurikulum. Bagi penganut filsafat esensialisme dan perenialisme maka
pendidikan adalah pendidikan disiplin ilmu dan oleh karena itu maka hasil
belajar utama adalah kemampuan intelektual keilmuan dan konten kurikulum adalah
teori, konsep, prinsip, dan fakta yang telah dikembangkan dan dihasilkan
ilmuwan di bidang disiplin ilmu tersebut(Schiro, 2008). Sedangkan bagi pengikut
rekonstruksi maka disiplin ilmu bukanlah dominan pendidikan tetapi kehidupan
masyarakat yang menjadi dominan pendidikan. Oleh karena itu hasil belajar yang
harus dirancang kurikulum adalah kompetensi sosial yang luas sehingga mencakup
juga kompetensi intelektual keilmuan.
Kelompok kedua yang mengatakan kurikulum sebagai
rangkaian rencana bahan ajar diwakili oleh definisi Orlosky dan Smith (1978).
Orlosky dan Smith mengatakan bahwa kurikulum adalah curriculum is the substance of the school program. it is the content
pupils are expected to learn. Pengertian ini mendominasi dunia pengembangan
kurikulum di Amerika Serikat sejak awal abad ke 20 dan di Indonesia masih terus
berlanjut. Perubahan kurikulum terjadi karena perubahan substansi walau pun
Indonesia mengembangkan model kurikulum berbasis kompetensi.
Kelompok ketiga adalah mereka yang beranggapan
bahwa kurikulum adalah serangkaian pengalaman belajar. Pengertian kurikulum sebagai
pengalaman belajar tidak setua pengertian kurikulum sebagai bahan pelajaran.
Tokoh kurikulum seperti Goodlad (1963) dan Oliva (1982) dari Amerika Serikat
dan Stenhouse dari Inggris adalah mereka yang menganut pandangan ini. Goodlad
mengatakan bahwa a curriculum
consists of all those learning intended for a student or group of students. Sedangkan Oliva mengatakan curriculum is the plan or program for all
experiences which the learner encounters under the direction of the school.
Keduanya memberikan tekanan
pada pengalaman belajar yang secara nyata dialami peserta didik di suatu
lembaga pendidikan. Perbedaannya adalah Goodlad menyatakan secara eksplisit
bahwa pengalaman belajar tersebut dirancang sebagai sesuatu yang diinginkan
sekolah sedangkan Oliva memberikan keluasan dengan mengatakan yang
dialami/ditemukan di dalam proses yang diarahkan oleh sekolah sehingga menurut
Oliva pengalaman tersebut dapat berupa sesuatu yang direncanakan lebih dulu
tetapi dapat juga sebagai sesuatu yang muncul dari proses interaksi belajar
yang terjadi.
Tanner dan Tanner (1980) dapat dikatakan sebagai
tokoh yang menjembatani antara kurikulum sebagai konten dan pengalaman belajar.
Tanner dan Tanner (1980) mengatakan bahwa kurikulum adalah reconstruction of knowledge and experience,
systematically developed under the auspices of the school (or university), to
enable the learner to increase his or her control of knowledge and experience. Ada hal yang mengemuka dari pengertian
kurikulum yang diajukan Tanner dan Tanner (1980) yaitu (1) kurikulum berkenaan
dengan rekonstruksi pengetahuan dan pengalaman yang menjembatani pandangan
bahwa kurikulum adalah penguasaan konten dan pengalaman. (2) Selanjutnya,
definisi yan dikemukakan Tanner dan Tanner menempatkan peserta didik secara eksplisit
sebagai subjek yang mengontrol pengetahuan dan pengalaman belajar yang
dipelajarinya.
Secara yuridis, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan PemerintahNomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan pengertian kurikulum sebagai seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian yang
diungkapkan dalam kedua
produk hukum itu dapat
dijadikan landasan pengembangan kurikulum. Kegiatan pengembangan kurikulum (curriculum
development) terdiri atas tiga kegiatan utama yaitu konstruksi kurikulum (curriculumconstruction),
pelaksanaan kurikulum (curriculumimplementation),
dan evaluasi kurikulum (curriculumevaluation).
Selanjutnya di dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan perlunya pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
berbasis kompetensi. Ide kurikulum yang digunakan pada saat ini sangat
dipengaruhi oleh filosofi progresif dan rekonstruksi sosial sebagaimana yang
telah dijelaskan pada Bagian B.
4. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dalam kategori yang
konseptual, Oliva (1997)
mengemukakan bahwa kurikulum berdasarkan kompetensi masuk dalam kelompok yang dinamakan outcomes-based curriculum.Dalam bentuknya yang masih awal, Oliva
(1997) mengemukakan bahwa perkembangan ide kurikulum berbasis outcomes dapat ditelusuri sejauh
pertengahan abad ke-19 oleh
seorang pendidik terkenal Eropa yang
bernama Herbert Spencer.Di Amerika Serikat perkembangan ide kurikulum
berbasis outcomesdimulai pada awal abad ke-20 (Burke,
1995).Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Ralph Tyler tahun 1950 ketika yang
bersangkutan mengembangkan proyek kurikulum tingkat nasional di
Amerika Serikat. Ide ini kemudian dilengkapi oleh Bloom dengan mastery learning and competency basedcurriculum.
Kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai
seorang peserta didik. Dalam pengertian ini berbagai ahli mengartikan
kompetensi meliputi berbagai aspek kemampuan yang harus dimiliki seseorang.
Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi
"pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap,
dan minat". Dalam pengertian yang lebih konseptual tetapi memiliki
persamaan dengan apa yang telah dikemukakan kedua akhli tersebut, McAsham
(1981) merumuskan kompetensi sebagai berikut:
Competency is knowledge, skills, and
abilities that a person can learn and develop, which become parts of his or her
being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive,
affective, and psychomotor behavior.
Pengertian di atas dapat
dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Wolf (1995) dan Debling (1995), dan Kupper dan Palthe (1995). Wolf (1995)
mengatakan bahwa esensi dari pengertian kompetensi adalah the
ability to perform.Debling (1995) mengatakan bahwa "competence
pertains to the ability to perform the activities within a function or an
occupational area to the level of performance expected in employment".Sedangkan
Kupper dan Palthe (1995) mengatakan bahwa "competencies as the ability of a student/worker enabling him to
accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in work
situations.Lebih lanjut Kupper dan Palthe (1995) mengatakan bahwa "these qualifications should be
expressed in terms of knowledge, skills, and attitude".
Kurikulum berbasis
kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide, dipengaruhi oleh pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan kompetensi yang dapat mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa depan.
Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis
kompetensi, pengembang
kurikulum harus mengenal benar landasan kekuatan dan kelemahan pendekatan
kompetensi dalam mengembangkan
kualitas manusia Indonesia, serta jangkauan validitas pendekatan
tersebut ke masa depan sebagaimana
dikatakanoleh Quillen (2001) sebagai berikut: The first part of the
process of integration is to understand the theoritical and practical basis of
a competency-based educational system.
Selanjutnya,kompetensi bersifat terus berkembang
sesuai dengan perkembangan kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia.Perkembangan kemampuan baru dalam masyarakat menghendaki adanya
kompetensi baru yang harus dikuasai oleh peserta didik. Oleh karena itu, Kupper dan Palthe (1995) mengingatkan bahwa kompetensi bersifat dinamis dan
berkembang terus sesuai dengan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan
yang berkaitan dengan kompetensi tertentu. Maknanya, penyesuaian SKL harus mengikuti perkembangan yang terjadi di
masyarakat, sehingga kurikulum yang dikembangkan untuk mencapai SKL tidak
menjadi kadaluwarsa.
Dalam
kegiatan pengembangan dokumen
kurikulum berdasarkan kompetensi, maka ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan. Salah satu
prinsip yang utama adalah
bahwa kompetensi inti menjadi milik dari suatu mata pelajaran tertentu. Hal ini mengandung makna bahwa mengembangkan
setiap kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik harus dikembangkan oleh
setiap mata pelajaran. Penerapan prinsip ini menghendaki agar sekolah
mengembangkan desain konten kurikulum yang secara jelas memperlihatkan pada
setiap pokok bahasan nilai dan ketrampilan yang dinyatakan dalam SKL. Setiap
materi pengetahuan yang dipelajari pada setiap pokok bahasan setiap mata
pelajaran, memiliki kewajiban untuk mengembangkan kompetensi kognitif, afektif,
dan psikomotor yang telah ditetapkan. Prinsip yang sama tentang pengembangan
kompetensi harus diterapkan ketika sekolah mengembangkan dokumen kurikulum,
dilanjutkan pada waktu mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk proses.
BAB IV
RANCANG BANGUN KURIKULUM
Kurikulum yang
akan dikembangkan dibangun atas sejumlah karakteristik yang mampu menjawab
tantangan kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia pada abad ke 21.
Tantangan yang dikemukakan di bagian awal dan landasan teoritis kurikulum akan menentukan
prinsip, struktur, karakteristik, dan desainkurikulum.
A. Prinsip Pedagogis dan Psikologis Kurikulum
Kurikulum yang akan dikembangkan memiliki
karakteristik yang dibangun atas dasar prinsip pedagogis dan psikologis sebagai
berikut:
1.
Kurikulum
bukan hanya merupakan sekumpulan daftar mata pelajaran karena mata pelajaran hanya
merupakan sumber materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi;
2.
Kurikulum
berakar pada budaya dan lingkungan sosial dimana kurikulum tersebut
dilaksanakan;
3.
Kurikulum
merupakan media pendidikan bangsa untuk membangun dan mengembangkan semangat
kebangsaan, persatuan, cinta tanah air, cinta bahasa Indonesia, dan rasa bangga
sebagai bangsa Indonesia;
4.
Kurikulum
harus disusun dengan memperhatikan proses dan hasil belajar karena pengalaman
belajar dalam bentuk proses dan hasil belajar adalah dua hal yang sama
pentingnya;
5.
Kurikulum
harus mempertimbangka keseimbangan penguasaan kemampuanantara ranah sikap,
pengetahuan, kognitif dan psikomotor. Keseimbangan tersebut tercermin dalam
kompetensi yang akan dicapai oleh kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian
hasil belajar;
6.
Kurikulum
harus memberi kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
menerapkan apa yang sudah mereka pelajari dalam bentuk perilaku, kebiasaan, dan
kemampuan di lingkungan kelas, sekolah,dan masyarakat;
7.
Kurikulum
harus terkait dengan kehidupan masyarakat sehingga apa yang dipelajari peserta
didik selalu memiliki kemungkinan untuk diterapkan di dalam kehidupan dan dapat
digunakan untuk mendukung usaha-usaha perbaikan dan pengembangan kehidupan
masyarakat;
8.
Kurikulum
harus mengembangkan rasa ingin tahu, kreativitas dan kemampuan belajar seumur
hidup yang menjadi dasar untuk belajar;
9.
Kurikulum
harus memberi kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk mengembangkan minat
dan kemampuannya;
10. Kurikulum harus memberikan kesempatan belajar
untuk pengembangan nilai, sikap, kebiasaan, kemampuan berpikir, dan keterampilan
yang bersifat berkelanjutan dan saling mendukung antar mata pelajaran;
11. Kurikulum harus menjamin proses
pembelajaran yang memberikan pengalaman nyata bagi peserta didik untuk
menerapkan pengetahuan yang sudah dipelajari dalam suatu situasi nyata/alami
atau situasi khusus yang dirancang untuk kepentingan penerapan tersebut seperti
laboratorium atau situasi lainnya.
B. Struktur Kurikulum
Struktur kurikulum yang akan dikembangkan
memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sederhana, mudah dipahami, dan jelas
menggambarkan posisi setiap mata pelajaran. Struktur kurikulum yang akan datang
perlu dikemukakan dalam bentuk sederhana sehingga mudah dibaca dan dipahami
oleh pengambil kebijakan, pelaksana kurikulum, dan masyarakat.
2. Untuk Sekolah Dasar, proses pembelajaran
adalah tematik integratif berdasarkan prinsip belajar psikologi Gestalt.
3. Berdasarkan sistem semester. Struktur
kurikulum yang akan datang didasarkan pada sistem semester sebagai organisasi
konten mata pelajaran dan sistem penyampaian.
4. Memberikan kejelasan tentang beban belajar
per minggu untuk setiap mata pelajaran berdasarkan analisis tugas belajar dan
kemampuan fisik peserta didik.
5. Memberikan kesempatan yang sama kepada
seluruh peserta didik untuk mengembangkan minat dan kemampuannya menguasai
kompetensi yang diinginkannya.
6. Berdasarkan pengertian kurikulum sebagai
desain pedagogis untuk satu satuan pendidikan dan meninggalkan pengertian kurikulum
sebagai daftar mata pelajaran.
C. Karakteristik Kurikulum
Kurikulum yang dikembangkan memiliki
karateristik sebagai berikut:
1. kompetensi inti yang mengikat kompetensi
dasar setiap mata pelajaran. Hal ini merupakan konsekuensi dari kurikulum
sebagai desain pedagogis untuk satu satuan pendidikan dan bukan daftar mata
pelajaran yang masing-masing berdiri sendiri. Konten mata pelajaran yang
bersifat umum dikembangkan dalam setiap peristiwa belajar (learning events) dan aktivitas belajar (learning activities) sedangkan konten yang bersifat khusus menjadi
fokus dan inti untuk mengembangkan konten khusus suatu mata pelajaran dan
konten umum mata pelajaran. Konten umum mata pelajaran adalah pengembangan
sikap, kebiasaan dan ketrampilan berpikir. Konten khusus suatu mata pelajaran
adalah substantive yang membangun body of
knowledge suatu mata pelajaran, baik dari suatu disiplin ilmu mau pun
gabungan atau integrasi dari berbagai disiplin ilmu (IPA, IPS).
2. Memiliki elemen pengikat atau elemen pengorganisasi
(organizingelement) yang mampu
mengikat konten mata pelajaran secara horizontal (kesinambungan horizontal)
untuk menjamin prinsip penguatan penguasaan kompetensi antar mata pelajaran
sebgaimana yang dipersyaratkan dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Kesinambungan horizontal antar mata pelajaran terlihat pada kesesuaian jenjang
kemampuan kompetensi setiap mata pelajaran.
3. Memiliki elemen pengikat yang menunjukkan
adanya kesinambungan vertikal antar konten dalam satu mata pelajaran.
Kesinambungan vertikal terlihat pada keluasan dan kedalaman kompetensi yang
dinyatakan dalam Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran.
4. Berdasarkan teori belajar bahwa setiap
peristiwa belajar (learningevents)
adalah peristiwa dimana setiap peserta didik secara akumulatif mengembangkan
kompetensi yang dipelajarinya.
5. Mampu mengembangkan kreativitas dan softskills peserta didik yang dinyatakan
dalam Kompetensi Dasar yang dikelompokkan pada kelompok sikap, baik sikap
beragama maupun sikap pribadi dan sosial.
6. Menggambarkan proses pembelajaran yang
memiliki kemampuan mengintegrasikan aspek afektif, kognitif, dan psikomotor
yang terintegrasi dalam peristiwa belajar dan kegiatan belajar (learningactivities).
D. Desain Kurikulum
Desain kurikulum
merupakan suatu rancang bangun kurikulum dalam kaitannya dengan aspek rumusan
filosofi yang terkait dengan belajar dan mengajar, kompetensi dan pengalaman
belajar yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik, lingkungan belajar yang
akan mendukung peserta didik dalam mencapai kompetensi dan pengalaman belajar,
dan cara untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi dan pengalaman belajar.
Dalam mendesain suatu
kurikulum perlu dipertimbangkan bahwa perancang kurikulum sedang merencanakan
“perjalanan intelektual” bagi peserta didik selama masa belajar di suatu satuan
pendidikan tertentu atau dengan kata lain merencanakan peserta didik yang sedang
“melakukan suatu rangkaian perjalanan pengalaman belajar” yang diharapkan.
Dengan melalui perjalanan tersebut, peserta didik akanmemperoleh hasil belajar
sesuai dengan kompetensi lulusan dari satuan pendidikan tertentu.
Kurikulum hanya
merupakan salah satu elemen yang mempengaruhi bagaimana peserta didik Indonesia
dipersiapkan melalui pendidikan untuk mengarungi kehidupan masa depannya di
abad ke-21.Untuk itu, desain kurikulum harus mendukung harapan dalam skala
tinggi untuk memungkinkan terjadinya peristiwa pembelajaran yang berkualitas
dan terwujudnya budaya dan kepemimpinan sekolah, memenuhi kebutuhan dunia kerja
dan industri, dan investasi sumber daya manusia, waktu, upaya, dan
sumber-sumber lainnya secara luas.
Terkait dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, desain
kurikulumnya mesti memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
·
Menantang, memotivasi, dan menyenangkan bagi
seluruh peserta didik untuk mengikuti kegiatan belajar dan memperoleh
pengalaman belajar
·
Memenuhi keluasan dan kedalaman sesuai dengan
beban belajar dan karakteristik peserta didik pada satuan pendidikan tertentu
·
Memberikan kesempatan untuk mengembangkan dan
mengunjuk-kerjakan kreativitas peserta didik
·
Berkelanjutan yang diwujudkan dengan rangkaian
rumusan kompetensi mulai dari tingkat awal ke tingkat berikutnya
·
Menyediakan pelayanan individual dan pilihan
yang memenuhi kebutuhan peserta didik dalam pengembangan potensi diri sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan
·
Melengkapi kegiatan belajar yang mesti terkait
dengan pengalaman belajar yang hendak dicapai dan hubungan antara kedua hal
tersebut harus tampak jelas
·
Memungkinkan peserta didik dapat mengetahui
nilai kebaikan dari kegiatan belajar, pengalaman belajar, dan tujuannya serta
relevansinya bagi kehidupan mereka pada saat ini dan masa depan.
Mengukur kegiatan dan
pengalaman belajar secara jelas dengan alat ukur yang dapat mengidentifikasi
atau mengungkapkan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Terkait dengan
kepentingan guru, kurikulum berbasis kompetensi harus didesain untuk
memfasilitasi guru menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran yang memenuhi
antara tuntutan kompetensi dan kegiatan belajar-mengajar dan pengalaman belajar
yang diharapkan dan meng-update
kegiatan belajar-mengajar dan pengalaman belajar secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
Selain itu, terkait dengan kepentingan peserta didik, desain
kurikulum harus memungkinkan setiap peserta didik pada berbagai tingkatan untuk
memperoleh:
·
Dasar-dasar yang kuat dalam sikap, pengetahuan,
dan keterampilan yang bermanfaat bagi mereka untuk belajar lebih lanjut
·
Praktik dalam bentuk pembiasaan untuk
memperdalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dipelajarinya
·
Kemampuan umum dalam bentuk antara lain berpikir
analitis dan kritis, penyelesaian masalah, dan bekerja sama dengan individu
atau kelompok lain.
BAB V
STRATEGI DAN PROSEDUR PENGEMBANGAN
KURIKULUM
A. Strategi Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulumdilakukan melalui strategidan proses sebagai berikut:
1.
Manajemen
pengembangan kurikulum dilakukan oleh tim dengan otoritas manajemen yang mampu
mengaktifkan partisipasi aktif seluruh unsur kementerian dan lembaga yang
terkait dengan pengembangan pendidikan. Dengan otoritas manajemen tersebut
koordinasi antar komponen tim pengembang dapat dilakukan.
2.
Pengembangankurikulum
baru dilakukan oleh tim yang terdiri
atas tim teknis, tim inti, tim pengarah, dan tim nara sumber. Tim teknis
berperan dalam menyiapkan materi yang diperlukan untuk pengembangan konten
kurikulum. Tim inti berperan dalam mengembangkan ide kurikulum dan desain
kurikulum serta mereviu konten yang telah dikembangkan oleh tim teknis. Tim pengarah
berperan sebagai pengembang kebijakan kurikulum dan mereviu hasil pengembangan kurikulum. Tim nara
sumber berperan sebagai pemberi saran dan arah pengembangan kurikulum untuk ditindak-lanjuti oleh tim inti dan
tim teknis.
3.
Pengembangan
kurikulum dilakukan setelah perumusan Standar Kompetensi Lulusan. Rumusan Standar Kompetensi Lulusan mencakup ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan yang
menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.
4.
Proses
pengembangan kurikulum diawali dengan pengembangan ide kurikulum yang berupa proses deliberasi mengenai:(1)
konsep kompetensi dan kurikulum
berbasis kompetensi, (2) penyederhanaan
konten kurikulum baik berupa jumlah mata pelajaran dalam struktur kurikulum
maupun konten yang harus dipelajari
peserta didik dari setiap mata pelajaran dan pemaknaan mata pelajaran yang
lebih sesuai untuk kurikulum berbasis kompetensi, (3) pengembangan konsep organisasi vertikal dan
horizontal, (4) pengembangan
proses pembelajaran, dan (5) penentuan fokus serta instrumen penilaian.
B. Prosedur Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum
yang akan datang dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:
1. Pengembangan Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum
Prosedur yang digunakan untuk pengembangankurikulum
mengacu pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38
ayat 1 yang mengatur bahwa
“Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan
pemerintah.” Selanjutnya ayat 2 pada pasal yang sama mengatur bahwa “Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama
kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.”
Di dalam Penjelasan Umum
undang-undang yang sama dijelaskan bahwa “Pembaruan sistem pendidikan
memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam
undang-undang ini meliputi: ... 2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
berbasis kompetensi.” Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 35 yang terkait
dengan kompetensi dijelaskan bahwa “Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai
dengan standar nasional yang telah disepakati.”
Penyusunan kurikulumdimulai dengan menetapkan Standar Kompetensi Lulusan berdasarkan kesiapan siswa, tujuan pendidikan nasional, dan
kebutuhan.Kemudian ditentukan Kerangka
Dasar Kurikulum,Struktur Kurikulum, pengembangan Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar, dan silabus. Berdasarkan silabus, dikembangkan buku untuk
siswa dan buku guru.
Keseluruhan proses penyusunan dokumen kurikulum dapat
dilihat pada Gambar 5.
Kerangka Dasar Kurikulum meletakkan landasan
pengembangan yuridis, filosofis, dan konseptual atau teoritis kurikulum yang
akan dikembangkan. Secara garis besar landasan-landasan tersebut sudah
dikemukakan dalam Naskah Akademik tetapi perlu dirinci lebih lanjut dalam Kerangka
Dasar Kurikulum.Pengembangan Kerangka Dasar Kurikulum harus selalu terbuka untuk penyempurnaan dan penyesuaian sampai dokumen
kurikulum dinyatakan telah selesai dan diundangkan secara
resmi.
Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi
konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam
kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban
belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Selain
itu, struktur kurikulum juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian
konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem
pembelajaran.
2. Penyusunan Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar
Kompetensi Inti adalah terjemahan atau
operasionalisasi Standar Kompetensi
Lulusan dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka
yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau
jenjang pendidikan tertentu. Sesuai dengan arahan berdasarkan hasil temuan
mengenai kualitas manusia Indonesia masa depan yang dinyatakan dalam Standar
Kompetensi Lulusan, maka Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara
pencapaian hard skills dan soft skills.
Kompetensi Inti berfungsi sebagai unsur
pengorganisasi (organising element)
kompetensi dasar. Sebagai unsur pengorganisasi, Kompetensi Inti merupakan pengikat
untuk organisasi vertikal dan organisasi horizontal. Organisasi vertikal konten
kurikulum menunjukkan keterkaitan antara satu kelas atau jenjang ke
kelas/jenjang di atasnya sehingga memenuhi prinsip pendidikan, yaitu terjadi
suatu akumulasi yang berkesinambungan antara konten kurikulum. Organisasi
horizontal adalah keterkaitan antara satu konten dengan konten lainnya dari
mata pelajaran yang berbeda dalam satu pertemuan mingguan sehingga terjadi
proses saling memperkuat.
Kompetensi Dasar adalah konten atau kompetensi
yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bersumber pada
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut dikembangkan
dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri
suatu mata pelajaran. Mata pelajaran sebagai sumber konten untuk menguasai
kompetensi bersifat terbuka dan tidak selalu diorganisasikan berdasarkan
disiplin ilmu yang sangat berorientasi hanya pada filosofi esensialisme dan
perenialisme. Mata pelajaran dapat dijadikan organisasi konten yang
dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu atau non disiplin ilmu yang
diperbolehkan menurut filosofi rekonstruksi sosial, progresif atau pun
humanisme. Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum yang akan dikembangkan
adalah eklektik seperti dikemukakan di bagian landasan filosofi, maka nama mata
pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang akan dikembangkan tidak
perlu terikat pada kaedah filosofi esensialisme dan perenialisme.
3. Penyusunan Silabus
Silabus merupakan rancangan pembelajaran
suatu mata pelajaran yang berlaku untuk satu tahun pelajaran.Silabus memuat
komponen-komponen: (1) identitas satuan pendidikan dan mata pelajaran, (2)
tingkat kelas, (3) kompetensi inti, (4) kompetensi dasar, (5) indikator, (6)
materi pembelajaran, (7) proses pembelajaran, (8) penilaian, (9) alokasi waktu,
dan (10) sumber belajar.
Dengan silabus yang dirancang per satu tahun
pelajaran maka prinsip kesinambungan
antar kelas dalam satu mata pelajaran (organisasi vertikal) dapat dipertahankan
dan guru antar kelas dalam mata pelajaran yang sama memiliki kesinambungan
proses pembelajaran yang tinggi.
4. Pendokumentasian Kurikulum
Pengembangan kurikulum diakhiri dengan pendokumentasian
berbagai naskah sebagai
berikut:
(1)
Dokumen
Kurikulum Satuan Pendidikan (SD,SMP,SMA,SMK)
(2)
Dokumen
Kurikulum untuk setiap mata pelajaran
(3)
Pedoman
Pelaksanaan seperti KTSP, Proses, Penilaian, BK
(4)
Buku
Siswa dan Buku Panduan Guru
(5)
BAB VI
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KURIKULUM
A. Implementasi Kurikulum
Implementasi kurikulum merupakantahapan
dimana seluruh dokumen kurikulum digunakan sebagai acuan dalam proses
pembelajaran. Agar implementasi kurikulum berlangsung secara optimal diperlukan
penyiapan seluruh perangkat
yang mendukungnya, antara lain para
pengguna kurikulum (guru,
kepala sekolah, dan pengawas) serta sarana dan prasarana yang diperlukan.Penyiapan pengguna kurikulum
dimaksudkan sebagai pemberianbekal melalui pelatihan dan pendampingan untuk membantu para pengguna kurikulum dalam mengatasi masalah yang muncul ketika kurikulum diimplementasikan.
Implementasi kurikulum
dilaksanakan melalui dua strategi sebagai berikut:
1.
Implementasi Awal
Implementasi awal merupakan tahapan dimana dokumen kurikulum
digunakan hanya di kelas dan satuanpendidikan tertentu.Misalnya implementasi
kurikulum dimulai hanya di kelas I dan IV SD/MI, di kelas VII SMP/MTs, dan di
kelas X SMA/MA/SMK.
2.
Implementasi Penuh
Implementasi penuh merupakan tahapan
dimana dokumen kurikulum digunakan di seluruh kelas dan satuan pendidikan.Misalnya implementasi kurikulum
dilakukan di seluruh kelas SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK.
B. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dilaksanakan setelah kurikulum diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu,
misalnya setelah diimplementasikan minimal satu tahun pelajaran.Evaluasi
kurikulum akan dilakukan baik secara internal maupun secara eksternal.
Evaluasi kurikulum
secara internal dilakukan oleh pengguna
kurikulum, sedangkan evaluasi kurikulum secara eksternal dilakukan oleh pihak
diluar pengguna kurikulum yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk
melakukan evaluasi.
Hasil evaluasi
kurikulum internal digunakan sebagai bahan untuk melakukan perbaikan sesuai
dengan kebutuhan di lapangan dan masukan untuk para pengambil keputusan di
bidang pendidikan. Hasil evaluasi kurikulum eksternal digunakan sebagai: (1)
pemetaan kekuatan dan kelemahan pelaksanaan kurikulum, (2) bahan untuk
penyempurnaan naskah kurikulum sesuai dengan kebutuhan baik secara parsial
maupun secara keseluruhan, dan (3) masukan untuk para pengambil keputusan di
bidang pendidikan.
BAB VII
PENGELOLAAN
Pengelolaan
kurikulum mutlak diperlukan agar implementasi kurikulum dapat berlangsung
secara optimal.Pengelolaan
kurikulum merupakan pengaturan kewenangan di bidang kurikulum pada tingkat
nasional, daerah, dan satuan pendidikan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi kurikulum.
Berikut adalah diagram
pengelolaan kurikulum yang meliputi tingkat nasional, daerah, satuan pendidikan
dan sistem masukan antar ketiga jenjang pengelolaan tersebut.
Hermana Somantrie, 2010
Pada tingkat nasional, Pemerintah berwenang atas penyiapan dokumen-dokumen
kurikulum, pedoman pelaksanaan kurikulum, buku teks pelajaran, dan pelatihan
guru.Pada tingkat daerah, pemerintah daerah berwenang mengelola kurikulum dalam
penyiapan dokumen kurikulum, buku panduan guru, dan buku teks pelajaran untuk
muatan lokal.Satuan pendidikan berwenang mengelola kurikulum dalam pengembangan
dan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan termasuk rencana
pelaksanaan pembelajaran dan pelaksanaannya sesuai dengan potensi, minat,
bakat, dan kemampuan peserta didik dalam lingkungan belajar.
BAB VIII
PENUTUP
Pengembangan kurikulum perlu dilaksanakan
dengan mempertimbangkan dan mengutamakan kepentingan nasional sebagaimana yang
diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.Selain itu, keberadaan
kurikulum menjadi instrumen persatuan bangsa dalam wilayah NKRI.
Pengelolaan kurikulum di
tingkat nasional, daerah, dan satuan pendidikanperlu diwujudkan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Atas dasar itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka
mengutamakan kepentingan nasional dan menjaga persatuan bangsa dalam wilayah
NKRI perlu segera mengambil langkah sebagai berikut:
1. Menetapkan
kebijakan untuk mewujudkan adanya konstelasi pengelolalan kurikulum yang
merupakan rangkaian utuh dan logis, kurikulum tingkat nasional, kurikulum
tingkat daerah, dan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
2. Menetapkan
kebijakan untuk menyempurnakan atau mengamandemen peraturan terkait dengan
standar nasional pendidikan dan kurikulum yang tidak selaras dengan amanat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Membentuk
satuan tugas untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
tidak sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Peraturan
Perundang-undangan:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang.
3.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
4.
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
5.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.
6.
Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi
Kreatif.
7.
Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
8.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun
2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014.
9.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi.
10.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
Buku Ilmiah:
Alma, Buchari.
(2009). Kewirausahaan. Bandung:
Penerbit ALFABETA.
Armstrong, David
G. (1989). Developing and Documneting the
Curriculum. Boston: Allyn and Bacon.
Aunurrahman.(2009).
Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Penerbit ALFABETA, CV.
Badan Pusat
Statistik. (2009). Data Statistik
Penduduk Indonesia Menurut Jenis Kegiatan. Jakarta: BPS.
Benninga, Jacques S., Marvin W. Berkowitz,
Phyllis Kuehn, Karen Smith. (2003). The Relationship of Character Education
Implementation and Academic Achievement in Elementary Schools. Journal of Research in
Character Education, 1(1), 2003, pp. 19–32.
Bloom, Benjamin S.
(1976).Human Characteristics and School
Learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bloomer,
M. (1997).Curriculum Making in Post-16
Education. London dan New York: Routledge
Calhoun, Craig, Donald Light, & Suzanne Keller.(1994). Sociology. New York: McGraw-Hill, Inc.
Cole, Peter G.
& Lorna KS Chan. (1994).Teaching
Principles and Practice. New York: Prentice Hall.
Dewantara, Ki-Hajar.(1936). Pendidikan dan Pengajaran. Yogyakarta: Taman Siswa.
Glatthorn, Allan
A. (1987). Curriculum Leadership.
Glenview, IL: Scott, Foresman, and Company.
Goodlad,
J.I. et al. (1979), Curriculum Inquiry: the Study of Curriculum
Practice. New York: McGraw-Hill Book Company
Hasan, S.H. (1984): An Evaluation of the 1975 Secondary Social Studies Curriculum
Implementation in Bandung Municipality. Sydney: Macquarie University.
Unpublished Ph.D Thesis
Hasan, S.H. (2000). Evaluasi Kurikulum. Bandung. Rosda
Hirsch, E.D.
(1999). The Schools We Need and Why We
Don’t Have It. New York: Anchor Books Double Day.
Howkins, John. (2001). The Creative Economy, How People Make Money from Ideas. New York:
Penguins Book.
Huntington, Samuel
P. (1996). The Clash of Civilizations and
the Remaking of World Order.Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh M. Sadat
Ismail. Jakarta: Penerbit Qalam.
Jacobs, H.H. (Ed)(2010). Curriculum 21: Essential Education for a Changing World.
Alexandria, Virginia: ASCD
Jenlink, Patrick.
(1995). Systemic Change: Touchstones for
the Future School. Arlington Heights, IL: IRI/Skylight Training and
Publishing.
Johnson,M. (1967). Definitions and Models in
Curriculum Theory. Educational Theory 17, 127-140
Kasmir.(2006). Kewirausahaan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Klein,
M.F. (1992). Curriculum reform in the
elementary school.Creating your own agenda. New York and London: Teacher
College Columbia University
Kementerian
Pendidikan Nasional.(2010). Draf Pedoman
Pengambangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa [Belum Dipublikasi].
Jakarta: Pusat Kurikulum.
Kristanto, Heru R.
(2009). Kewirausahaan (Entrepreneurship).
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kupper,H.A.E.
dan Arnold A.W. van Wulfften Palthe (1995), Competency-based curriculum development, Experiences in Agri
Chain Management in the Netherlands and in China. Indiana University Medical
Sciences Program (1995).
Implementation of the Competency Based Curriculum in Bloomington. Available at http://medsci.indiana.edu, tanggal 9 Mei
2002.
McNeil, Linda M.
(2000). Contradictions of School Reform.
New York: Routledge.
Miller, John P.
& Wayne Seller. (1985). Curriculum:
Perspectives and Practices. New York: Longhorn.
Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD). (2004). Handbook for
Internationally Comparative Education Statistics: Concepts, Standards, Definitions, and Classifications. Paris,
France: OECD Publication.
Oliva, Peter F.
(1982). Developing the Curriculum.
Boston: Little, Brown, and Co.
Pink, Daniel H.
(2006).A Whole New Mind. New York: Rinehead Books.
Popham,W.J. dan Baker,E.L. (1970). Establishing Instructional Goals.
Englewood Cliffs,New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Quillen,D.M.
(2001). Challenges and Pitfalls of Developing and Applying a Competency-based
Curriculum. Family Medicine, Oktober 2001.
Ravitch, Diane.
(1995). National Standards in American
Education. Washington, DC: Brooking Institution Press.
Roback, AA.
(1928). The Psychology of Character: With
a Survey of Temperament. New York: Harcourt, Brace.
Sanjaya, Wina.
(2009). Strategi Pembelajaran
berorientasi pada Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Savage, Tom &
David G. Armstrong.(1987). Effective
Teaching in Elementary Social Studies. New York: MacMillan Publishing
Company.
Scchiro,M.S. (2008). Curriculum Theory: Conflicting Visions and Enduring Concerns. Los
Angele: Sage Publications.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum:Perpective, Paradigm, and Possibility. New York:
Macmillan Publishing Company.
Spring, Joel.
(1989). American Education: An
Introductory to Social and Political Aspects. New York: Longman.
Suherman, Eman.
(2008). Kewirausahaan: Modal, Model, dan
Modul. Bandung: Penerbit ALFABETA.
Taba, Hilda.
(1962). Curriculum Development: Theory
and Practice. New York: Harcourt Brace and World.
Tanner, Daniel
& Laurel N. Tanner. (1980). Curriculum
Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Co.
Tilaar, HAR.
(2004). Multikulturalisme:
Tantang-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Timmons, Jeffry &
Stephen Spinelli. (2007). New Venture Creation, Entrepreneurship for the
21st Century. New York: McGraw-Hill,
Inc.
Wagner, Tony.
(2008). The Global Achievement Gap.
New York: Basic Books. A Member of the Perseus Books Group.
Watt, Michael G.
(2006). From National Curriculum
Collaboration to National Consistency in Curriculum Outcomes: Does this Shift
Reflect a Transition in Curriculum Reform in Australia? Tasmania, Australia:
Sandy Bay Publication