A.
PENDAHULUAN
Dengan dicantumkannya konselor sebagai salah satu
tenaga pendidik pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, merupakan salah satu indikator
bahwa konselor sebagai salah satu profesi
kiprahnya mulai diterima masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu,
tonggak yang bersejarah ini harus dimanfaatkan dan dijadikan landasan kuat
dalam melakukan evaluasi diri sebagai bagian dari upaya membangun profesi yang profesional.
Orientasi
kinerja profesional tidak bisa lepas dari perkembangan kehidupan profesi masa
lalu, sekarang dan tantangannya di masa depan. Karena itu sudah sepantasnya
apabila telaahan bukan hanya difokuskan kepada hal-hal yang bersifat praktis
dan dukungan sistem kehidupan saat ini, melainkan sampai kepada aspek-aspek
yang membungkus profesi konselor untuk tetap eksis dan lebih maju
daripada masa lalu bahkan daripada profesi yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan tataran evaluasi dan pengembangan profesi konselor itulah, makalah ini berusaha mengkaji berbagai aspek yang memiliki keterkaitan dengan:
1)
Peluang dan Tantangan Abad
Komunikasi dan Teknologi Informasi;
2)
Pemaknaan
Life Skill dan Belajar Sepanjang Hayat;
3)
Diversifikasi Kebutuhan
Layanaan Konseling;
4)
Profesionalisasi
dan Deprofesionalisasi Konseling.
Kajian mengenai aspek-aspek
tersebut di atas, diakhiri dengan implikasi kompetensi dan aspek etis yang
perlu dimiliki seorang konselor dengan harapan mampu memberikan wawasan dan
warna yang lebih jelas bagi anggota profesi konselor dalam menekuni kinerja
profesionalnya.
Abad 21 sering dikatakan sebagai era globalisasi.
Dekade ini memberikan nilai-nilai dan dampak baru bagi tatanan kehidupan
manusia pada umunnya. Demikian pula dalam kehidupan kebudayaan terjadi
perubahan citra dengan adanya kebudayaan global yang mendesak dan menggoyang
sendi-sendi budaya lokal. Ditopang dengan teknologi informasi dan komunikasi
yang semakin canggih, umat manusia benar-benar menjadi satu. Nampaknya tidak
ada lagi sudut-sudut wilayah bumi yang tersekat dan terisolasi berkat kemajuan
teknologi informasi dan kemunikasi itu. Kini umat manusia bukan lagi berbicara
jarak antara suatu negara dengan negara lainnya yang dihitung dalam satuan hari
atau jam melainkan dalam hitungan detik karena cybernet dan cybernation
(Sunaryo Kartadinata, 2002).
Dengan keadaan dunia tanpa batas, perdagangan
bebas, dan dunia yang terbuka mendorong manusia untuk lebih saling mengenal
satu sama lain, lebih saling mengenal kemampuan suatu bangsa, mengetahui
kekayaan dan kebudayaan bangsa lain, maka dengan sendirinya manusia semakin
memperoleh pengetahuan yang lebih banyak dan luas.
Berdasarkan peluang dan tantangan tersebut di atas,
globalisasi membawa nilai-nilai baru yang perlu diterjemahkan oleh semua pihak,
termasuk konselor agar nilai-nilai itu dapat mendorong terwujudnya dan
tercapainya kehidupan manusia yang lebih
berkualitas dan bermakna. Sebab bila kita hanya bangga dengan keterbukaan yang
membawa kemajuan bidang komunikasi, teknologi informasi, sumber energi dan
alternatif bahan barunya, tetapi tidak merasa tersentak dan “berpikir panjang”
dengan keadaan yang mendorong munculnya kesukuan,
terorisme, kesenjangan Barat dan Timur, eksploitasi sumber daya alam yang
berlebihan, kerusakan lingkungan dan kebebasan yang kebablasan, maka tidak
menutup kemungkinan manusia hanya akan menjadi korban kemajuan serta tidak
pernah memahaminya bahkan menikmati kemajuan itu. Oleh sebab itu wajar bila Moch. Djawad Dahlan
(2002), mengingatkan bahwa pengembangan
sumber daya manusia pada hakikatnya bertumpu pada keunggulan akhlak dan moral
bangsa. Jika pada bidang akhlak ini cukup berhasil, kita akan mudah
mengembangkan keunggulan di bidang lainnya. Senada dengan hal itu H.A.R. Tilaar
(1999) mengemukakan bahwa untuk menyikapi keadaan ini diperlukan munculnya
manusia yang memiliki sifat keunggulan. Baik keunggulan secara individualistik
maupun keunggulan partisipatoris. Keunggulan partisipatoris adalah keunggulan
manusia yang mampu menggali dan mengembangkan potensinya untuk mencari jalan
terbaik dan mampu survive dalam kemajuan dan persaingan yang semakin tajam.
Bukan berarti bahwa mereka memiliki kebebasan untuk membunuh potensi manusia
yang lainnya tetapi tetap harus tumbuh
bersama dalam keadaan sejahtera. Lebih jauh dikemukakan bahwa “ Kehidupan
manusia abad 21 seseorang diarahkan kepada terciptanya suatu masyarakat madani
(civil society) yaitu suatu masyarakat yang mengenal akan hak dan kewajiban
masing-masing anggota dan secara bersama-sama bertanggungjawab terhadap umat
manusia, seluruh umat manusia membangun masyarakat madani di mana perdamaian
dan keadilan menjadi nilai-nilai tertinggi” (Dedi Supriadi, 2002).
Menurut
Rogers (William A. Wallace, 1986), manusia adalah makhluk yang tidak pernah
selesai. Karena itu wajar apabila manusia
dipandang sebagai individu yang sedang berada dalam proses berkembang
atau menjadi (becoming), yaitu
berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Di samping itu, terdapat suatu
keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu berlangsung secara
mulus, atau steril dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu
tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus, atau searah dengan
potensi, harapan, dan nilai-nilai yang seseorang anut.
Perkembangan
manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, maupun
sosial. Sifat inheren lingkungan adalah
perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan, dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) manusia sebagai bagian dari
warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di
luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan diskontinuitas perkembangan perilaku individu, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan,
masalah-masalah pribadi, atau penyimpangan-penyimpangan perilaku. Perubahan
lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya
hidup, dan diskontinuitas perkembangan tersebut, seseorang diantaranya : ledakan
penduduk, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat,
revolusi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perkembangan
struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim
lingkungan yang kurang sehat, ternyata
mempengaruhi perkembangan pola perilaku
atau gaya
hidup sebagian manusia yang cenderung
menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlaq yang mulia), seperti : pelanggaran tata tertib masyarakat, tawuran,
meminum mi-numan keras, penyalahgunaan obat-obat terlarang, narkotika, ekstasy,
putau, kriminalitas, dan pergaulan bebas , bahkan memandang manusia lain
sebagai bahan santapannya.
C. Pemaknaan Life Skill dan Belajar Sepanjang Hayat
Kemajuan zaman yang
memberikan peluang dan tantangan sama besarnya memunculkan kultur kehidupan
manusia yang bukan hanya berorientasi
pada aspek keunggulan dan kecepatan waktu tetapi secara terbuka menuntut proses
pembelajaran sebagai wahana dan fasilitas yang terorganisir untuk menjadikan manusia
yang memiliki pemenuhan kebutuhan belajarnya.
Kebutuhan belajar individu sebagai pribadi dan sosial mengimplikasikan
bahwa proses pembelajaran tidak hanya terbatas kepada sekat persekolahan dan
guru tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar tetapi lebih terbuka
kepada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan proses
pembelajaran E–learning (Sayling Wen, 2003). Implikasi pemenuhan kebutuhan belajar
individu (learning needs) sebagai pribadi dan sosial mengisyaratkan
pembelajaran tidak hanya terfokus kepada empat hal, yaitu learning to know, learning to do, learning to live with together/others
dan learning to be, sebagaimana pilar
pendidikan yang dikemas UNESCO (1996), tetapi individu pun dituntut untuk
belajar bagaimana belajar dilakukan (learning
to learn). Dalam konteks yang terakhir itu (learning to learn), nilai-nilai
etis dan moral sebagai landasan kehidupan diharapkan memberikan warna
positif bagi perilaku belajar dan kehidupan pada umumnya.
(1) Learning to know
Penguasaan materi dalam bentuk pengetahuan
sebenarnya merupakan tahap paling sederhana sebagaimana dikemukakan Benyamin Blomm dengan taksonomi perilaku
kognitifnya, yaitu pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, sintesa, analisa dan evaluasi. Apabila target suatu
pembelajaran hanya menekankan kepada
penguasaan sejumlah pengetahuan, maka secara tidak disadari proses
pembelajaran itu tidak akan bermakna apa-apa bagi kehidupan manusia
selanjutnya. Karena itu target ini harus ditindaklanjuti dengan latihan
pemecahan masalah dan analisis peristiwa secara nyata dalam kehidupan manusia
sehari-hari.
(2) Learning to do
Istilah
apal cangkem merupakan tabu dalam konsep belajar untuk bisa (learning to do), sebab konsep
pembelajaran learning to do bukan hanya menekankan kepada aspek
pengetahuan dan pemahaman tetapi sampai kepada kemampuan untuk melakukan
sesuatu. Dengan kata lain, konsep John Dewey dengan learning by doing-nya harus merupakan kejaran strategi dimana
proses pendidikan dan pembelajaran itu dilakukan, sehingga target akhir suatu
proses pendidikan atau pembelajaran adalah sampai pada tarap bisa melakukan sesuatu sebagai bekal dan
jalan dalam mencari dan memenuhi kebutuhan ekonomi kehidupan manusia.
(3)
Learning to life with together/others
Keberhasilan
proses pembelajaran pada dasarnya ditandai dengan kebermaknaan kehidupan
seorang manusia pada masa yang akan
datang. Makna hidup itu tidak hanya bagi dirinya sebagai individu tetapi
barmakna juga bagi masyarakat dan lingkungan dimana seseorang berada. Ini berarti bahwa keberhasilan proses
belajaran yang diraih seorang manusia melalui kompetisi dengan orang lain tidak
menjadikan dirinya keluar dari lingkungan, tetapi hendaknya menjadi modal
pemahaman dan pengakuan atas kemampuan, kelemahan dan perbedaan dirinya dengan orang lain sehingga dalam
kehidupannya selalu mampu berjalan seiring dan seirama selamanya.
(4) Learning
to be
Kemampuan
seseorang pada dasarnya merupakan modal untuk menjadi dirinya sendiri, dan
Maslow sering mengistilahkan dengan sebutan aktualisasi
diri (Lindzey G. & Hall Calvin
S., 1978). Aktualisasi diri
merupakan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peringkat paling tinggi, Karena
itu, bagaimana proses pembelajaran dilakukan agar mampu membantu dan membentuk
seorang manusia menjadi dirinya sendiri. Sehingga kehidupan, kebiasaan, dan
prestasi seorang manusia tidak merupakan bayang-bayang dan gambaran orang lain
atau hanya meniru-niru gaya
orang lain atau bahkan hanya keinginan orang lain sementara yang bersangkutan
tidak merasakan apa-apa. Kemandirian akan mendorong manusia untuk memiliki
otonomi pribadi secara penuh serta pemaknaan tanggung jawab atas dampak dan
konsekuensi kemandiriannya.
(5) Learning
to learn
Dalam
konsep belajar sepanjang hayat (long life
education) mengandung
makna bahwa proses pembelajaran akan berhenti hanya jika jiwa berpisah dengan
raganya. Artinya proses belajar itu tidak akan pernah terhenti dengan
sekat-sekat pendidikan masyarakat secara formal. Begitu pula proses belajar
yang berorientasi learning to learn
hendaknya memberikan nuansa dan kondisi-kondisi agar manusia-manusia terdorong
untuk selalu belajar dan belajar. Bagaimana seseorang belajar atas keberhasilan
yang diraih saat ini untuk dijadikan modal pada masa depan dan bagaimana
seseorang mempelajari kegagalan yang dihadapi saat ini agar tidak ditemukan
dalam kurun waktu selanjutnya.
(6) Mendekatkan
diri kepada Allah SWT
Seorang
bijak mengatakan bahwa hidup ini adalah sebagai jalan bagi kehidupan yang lebih
kekal. Artinya kehidupan di dunia harus
dijadikan sebagai upaya pencarian jalan
dan investasi terbaik untuk mempermudah kehidupan di akhirat nanti. Dengan
kata lain baik dalam keadaan bahagia maupun menderita pendekatan diri
kepada Allah SWT hendaknya merupakan
kebutuhan dan tetap dijalankan dengan suatu landasan keimanan dan keikhlasan.
D. Diversifikasi Kebutuhan
Layanaan Konseling
Munculnya
kultur kehidupan manusia yang berorientasi keunggulan dan kecepatan memberikan
warna keluasan dan kebebasan manusia dalam mencari jalan kehidupannya. Dalam
situasi seperti ini, bukan saja peluang yang sangat terbuka bagi seseorang untuk
memasuki bidang lain tetapi konsekuensi produktivitas dan efisiensi kerja
semakin tinggi sehingga memunculkan rasionalisasi dan pemutusan
hubungan kerja (PHK) di mana-mana. Dengan kata lain, situasi ini bukan saja
memunculkan kesempatan untuk memperoleh
formasi dan peluang karir yang semakin luas tetapi memunculkan pula
penyakit-penyakit secara fisik dan psikhis bahkan penyakit sosial yang makin merajalela.
Memaknai
dan menterjemahkan kenyataan ini, menuntut reorientasi layanan konseling yang
tidak lagi dipandang dan hanya diperuntukan sebagai kegiatan dalam setting
persekolahan tetapi harus dilakukan
sebagai warna dan alternatif baru yang mampu memberikan bantuan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam
menemukan makna kehidupan bagi manusia pada umumnya (Sunaryo Kartadinata,
2002). Ini berarti bahwa kemajuan zaman yang ditandai dengan perkembangan
teknologi informasi yang semakin canggih dan menyebabkan kompleksitas kehidupan
manusia yang semakin rumit memberikan peluang bagi pengembangan profesi konselor untuk menempati ruang dan koridor-koridor khusus seperti, konselor dalam setting karir, perusahaan, lintas budaya, masyarakat dan
keluarga, pasca traumatis dan penyakit sosial lainnya (kesehatan mental)
E. Profesionalisasi dan Deprofesionalisasi Konseling
Kekuatan
eksistensi suatu profesi bergantung kepada pengakuan dan kepercayaan masyarakat
atau public trust (Biggs & Blocher,1986). Masyarakat percaya bahwa
layanan yang diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari konselor. Public
trust akan menentukan definisi profesi dan memungkinkan anggota profesi
berfungsi dalam cara-cara profesional. Lebih jauh Biggs & Blocher (1986),
mengemukakan public trust akan melanggengkan profesi karena dalam public
trust terkandung keyakinan bahwa profesi dan anggotanya itu : (1) memiliki
kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus,
(2) ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi
kesejahteraan publik, (3) para anggota profesi akan bekerja dan memberikan
layanan dengan berpegang teguh kepada standar profesi.
1. Kompetensi dan Keahlian Konselor
Ellis, Shertser and Stone (1980),
menyatakan bahwa “Counseling is an
interaction process that fasilitates meaningful understanding of self and
environment and results in the establisment and/or clarification of goals and
values for future behavior .” Konseling
adalah proses interaksi yang memfasilitasi dan mengklarifikasi makna pemahaman
diri dan lingkungan, tujuan-tujuan serta
nilai-nilai perilaku klien pada waktu yang akan datang.
Bila
konseling dianggap sebagai fasilitas
dalam mengklarifikasi pemahaman diri
dan lingkungan dimana klien berada berikut tujuan-tujuan serta nilai-nilai
klien bagi perilakunya di masa datang, maka kewajiban konselor adalah mengajarkan bagaimana berpikir secara
rasional tentang masalah-masalah pribadi klien dan bagaimana mengambil
keputusan-keputusan yang secara moral nampak memuaskan baik bagi dirinya maupun
lingkungannya. Ini berarti bahwa konselor akan berperan sebagai pedagogi nilai dan peranan ini sangat
kompleks. Dalam hal ini konselor membantu “mendefinisikan konsep fungsi pribadi
secara utuh dan membuat kriteria untuk menggambarkan kehidupan yang baik dan
kesehatan mental individu; dan membuat tujuan-tujuan konseling yang konsisten
dengan definisi konselor. Karena itu, proses konseling hendaknya dipandang
sebagai urutan pilihan konselor terutama
dalam menentukan interpretasi terhadap perilaku klien, menentang pikiran
yang irasional klien, memberi saran, atau hanya mendengar dengan tidak melakukan
apa-apa. Dalam hal ini model konseling akan memberikan rujukan dalam membatasi
dan memfokuskan tujuan, waktu dan prosedur kerjanya (Steven. J.Lynn, P. John
Garske,1985),
Berdasarkan
keragaman klien dan perberbedaan orientasi konselor, secara umum seorang
konselor hendaknya menunjukkan sikap dan perilaku sebagai berikut.
1. Berusaha
meciptakan suasana dan hubungan konseling yang kondusif,
2. Berusaha
menjaga sikap objektif terhadap klien,
3. Mengekplorasi
faktor penyebab masalah-masalah psikologis, baik masa lalu maupun masa kini,
4. Menentukan
kerangka rujukan atau perangkat kognitif terhadap kesulitan klien dengan cara
yang dapat dimengerti klien,
5. Konseling
memiliki strategi untuk mengubah kembali perilaku salah suai, keyakinan
irasional, gangguan emosi dan menyalahkan diri sendiri.
6. Mempertahankan
trasfer pemahaman tentang perilaku baru yang diperlukan klien dalam kehidupan
sehari-harinya.
7. Menjadi
model atau contoh sosok yang memiliki sikap sehat dan normal.
8. menyadari
kesalahan yang pernah dibuat dan resiko yang dihadapi
9. dapat
dipercaya dan mampu menjaga kerahasiaan
10. memiliki
orientasi diri yang selalu berkembang.dan
11. iklas
dalam menjalankan profesinya
Beberapa
upaya untuk mendukungnya keahlian dan kompetensi yang tercermin dalam sikap dan
perilaku konselor itu menuntut :
1. Persyaratan
calon konselor profesional, tidak hanya
berdasarkan batas minimal jenjang pendidikan tetapi menekankan juga pada
syarat-syarat pribadi seperti kecerdasan, bakat, minat dan aspek-aspek pribadi
lainnya yang diyakini menunjang profesinya.
2. Penentuan
akreditasi pendidikan calon konselor dan pemberian lisensi atau kewenangan
seorang konselor sebagai surat
kepercayaan yang dilakukan organisasi profesi dengan standar nasional perlu
dilakukan secara kontinyu.
3. Penataan
perkuliahan tidak hanya menekankan pada aspek-aspek matakuliah tetapi memiliki
kesinambungan antar matakuliah dan pelaksanaan praktikum baik di laboratorium
maupun di lapangan.
4. Pemberian
kesempatan untuk praktek dan evaluasi diri serta pengembangannya bagi konselor
yang telah memenuhi standarisasi profesi hendaknya terus dilakukan baik oleh
ABKIN maupun lembaga dimana seorang konselor bekerja.
2.
Perangkat Perundang-undangan
Pemerintah pada tahun 1975 mengeluarkan Buku III-C
sebagai pedoman pelaksanaan layanan konseling di sekolah. Searah dengan kebijakan dalam pendidikan pada
tahun 1989 mengeluarkan Undang-undang RI nomor 2 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 28 dan 29 tahun 1990 yang mempertegas
pelaksanaan layanan konseling di sekolah, serta Surat Keputusan Bersama
Mendikbud dan Kepala BAKN nomor 0433/P/1993 dan nomor 25 tahun 1993 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Searah dengan kiprah perjalanan profesi
konselor, pada tahun 2003 pemerintah mengusung Undang-undang nomor 20 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), di dalamnya memuat secara eksplisit
bahwa konselor sebagai salah satu tenaga pendidik (Pasal 1, ayat 13).
Di lain pihak, upaya-upaya untuk
mempertegas dan memperkuat posisi serta kemampuan konselor sudah dilakukan
dengan:
1) Hasil
Kongres IPBI di Lampung pada tahun 2001, selain menyempurnakan AD-ART ada
keberanian yang sangat berarti untuk masa depan organisasi profesi itu, yaitu
nama organisasi profesi dari Ikatan Petugas Bimibingan Indonesia (IPBI) diganti
menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN).
2) Pada
tahun 2002 di Yogyakarta lebih jauh dikaji standarisasi profesi konselor yang berkaitan dengan
standar pelayanan konselor dan pendidikan profesinya, dan
3) Pada
tanggal 17 Pebruari tahun 2003 Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
bekerjasama dengan Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) menyelenggarakan
Workshop untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi konselor masa depan dengan
mengkaji lebih dalam mengenai fondasi etis layanan konseling yang
berkaitan dengan aspek-aspek religi,
lintas budaya, pembinaan ketenagaan serta peningkatan kreativitas para konselor
di lapangan.
3.
Kode Etik Profesi Konselor
Konseling
merupakan layanan profesional yang memanfaat-kan hubungan antar individu.
Hubungan yang bersifat membantu itu harus lurus dengan memegang etika antar
manusia. Karena itu, hubungan tersebut harus dilindungi dari perilaku yang
salah dari pihak konselor, klien maupun masyarakat. Perlindungan itu pada
umumnya ditata dalam bentuk kode etik (Rochman Natawidjaja, 2002).
Kode
etik itu merupakan pernyataan-pernyataan yang berisi persyaratan tindakan yang
harus dilakukan dan tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak
terkait dalam kegiatan layanan konseling.
Nilai-nilai
dan etika sangat berhubungan, karena etika seorang individu dan kelompok
mencerminkan nilai mereka. Bixler & Seaman (Carlton E.Beck, 1971)
menyatakan bahwa “ etika merupakan
prinsip-prinsip dari suatu tindakan yang berdasarkan sistem nilai yang biasa berlaku
di suatu tempat. Karena itu tuntutan bagi seorang konselor adalah memaknai
hakekat konseling dengan menunjukkan sikap profesionalisme yang konsisten
dengan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masayarakat.
Dari
etika dan nilai-nilai ke hakikat sangatlah dekat maknanya. Hakikat merupakan
gabungan nilai-nilai, biasanya menghasilkan pernyataan-pernyataan berupa
postulat-postulat, asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip. Ellis dalam Paterson (1986),
mengemukakan beberapa prinsip yang harus diterapkan konselor dalam
konseling adalah :
a. Kepercayaan
bahwa kehidupan manusia, kebahagiaan dan kesejahteraan adalah untuk dinilai;
b. Menonjolkan/menegaskan
bahwa manusia adalah tuan bagi takdirnya sendiri, dengan pemahaman yang tepat
dalam mengembangkan minat-minat dengan caranya sendiri.
c. Penentuan
bahwa harga diri setiap orang itu bernilai
seharusnya dihargai sepanjang waktu dan berbagai kondisi.
d. Anggapan
atau asumsi bahwa setiap individu memiliki hak dan kebebasannya.
Tujuan
konseling sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, karena itu Mowrer (Carlton
E.Beck, 1971), mengkritik psikoanalisis
yang menekankan dalam membebaskan id dari
super egonya, dia menyarankan bahwa
seharusnya konseling memperkuat
superego.Lebih jauh dia berpendapat bahwa konseling hendaknya memfasilitasi perkembangan
kebebasan individu dalam mengambil tanggung jawab bagi dirinya sendiri,
pilihan-pilihan, keputusan-keputusan serta nilai-nilai tingkah lakunya.
Kesadaran konselor dalam mempengaruhi nilai klien
akan sangat menentukan proses dan hasil sebuah konseling oleh karena itu sangat
wajar bila Gerald Corey, et al (1988), mengingatkan ada beberapa
pertimbangan yang harus dipikirkan konselor di saat mempengaruhi nilai-nilai
klien , yaitu:
a. Tidak
ada keraguan sama sekali bahkan secara universal prinsip-prinsip dan peraturan
yang ada bukan merupakan ketentuan filosofis kehidupan. Setiap individu
berbeda, unik dan untuk beberapa hal mungkin tidak sama dengan orang lain.
b. Terlalu
besar harapan klien agar konselor berbuat banyak dalam mengubah kehidupannya.
c. Proses
konseling bukanlah tempat yang tepat untuk memberi instruksi tentang etika dan
filosofis kehidupan.
d. Individu
tidak membangun sistem tentang nilai-nilai atau hakikat kehidupan dalam jangka
waktu yang pendek, tapi dihasilkan dalam jangka waktu yang panjang dengan
pengaruh yang ada.
e. Akan
lebih baik bila individu mengembangkan filosofi uniknya sendiri daripada dari
orang lain karena hal itu akan lebih berarti dan efektif.
f. Konselor
harus menerima di kala klien menolak untuk menerima sistem nilai atau filosofi
kehidupan yang diajukan.
Memperhatikan
beberapa sifat yang harus dimiliki konselor, tidak berlebihan jika E.V.Daubner
dan E.S. Daubner (Carlton,
1971), menyarankan supaya konselor memiliki bekal : (1) pengetahuan tentang
etika, (2) pengetahuan tentang pembuatan keputusan, dan (3) perlu kebajikan dan
kebenaran (rightness) dalam setiap keputusan yang diberikan..dan nilai
kebajikan dan kebenaran yang hakiki adalah bersumber dari agama. Dengan kata
lain, sangat kurang pantas apa bila seorang konselor belum atau tidak
mengetahui kode etik profesinya.
Kode
etik profesi yaitu serangkaian peraturan profesional yang harus dipergunakan
para anggota suatu profesi dalam pelaksanaan praktek profesionalnya.
Aturan-aturan itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan oleh semua anggota
profesi dalam pemberian layanannya. Dengan demikian semua anggota profesi harus
tunduk pada aturan-aturan standar itu sebab bagi yang melanggar akan diberikan
sanksi atau hukuman oleh masyarakat organisasi profesinya (Woolfe, Ray &
Dryden Windy, 1998).
Kode
etik suatu organisasi profesi secara spesifik harus menjelaskan kepada para
anggotanya mengenai prinsip-prinsip yang membatasi tingkah laku
anggota-anggotanya dan menjadi dasar bagi pengaduan-pengaduan etis yang
dihadapi para angotanya. Karena itu dalam kode etik biasanya memuat hubungan
layanan, kerahasiaan, tangung jawab profesional, hubungan dengan profesi lain,
evaluasi dan interpretasi, pendidikan dan latihan, penelitian, publikasi dan
penetapan atau memecahan isu etik
(America Counseling Asosiations:
Code of Ethic and Standards of Practice, 1996).
Dalam
“rancangan” Kode Etik Konselor Indonesia
tahun 2001, di dalamnya memuat tentang :
a. Kualifikasi
Konselor: (1) nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan; (2)
pengakuan atas kewenangan sebagai konselor.
b. Kegiatan
Profesional: (1) penyimpanan dan penggunaan informasi
dan (2) penanganan klien.
c. Testing:
(1) kewenangan konselor dalam pelaksanaan testing, (2) prosedur testing dan (3)
pemanfaatan hasil testing.
d. Riset:
(1) prosedur riset, (2) pelaporan dan pemanfaatannya.
e. Layanan
Individual: (1) hak klien, (2) kewajiban konselor terhadap klien
dan atasannya.
f.
Konsultasi dan Hubungan dengan rekan
atau Ahli Lain: (1) konsultasi antar anggota, (2) evaluasi
pelayanan dan (3) referral.
g. Hubungan
Kelembagaan dan Hak serta Kewajiban Konselor: menetapkan
kewajiban-kewajiban seorang konselor yang bekerja dalam suatu lembaga
konsultasi serta dukungan dan perlindungan dari rekan-rekan seprofesi.
Bila
membandingkan kedua kode etik di atas, nampak bahwa kode etik konselor kita
lebih mengedepankan perlindungan terhadap klien terutama dalam penghargaan
mereka sebagai individu yang memiliki hak dan martabat kemanusiaannya.
Sedangkan arah pengembangan karir konselor belum terlihat sejara jelas. Namun
demikian, penghargaan atas martabat klien sangat wajar sebab menurut
Biggs D.A & Blocher D.H (1986)
kegiatan konseling memerlukan penilaian nilai. Artinya nilai-nilai
konselor akan benar-benar mempengaruhi pilihan klien di saat berpikir untuk
mengambil suatu keputusan terbaik dan bermakna bagi diri dan lingkungannya.
Karena itu konselor perlu mengembangkan pedoman-pedoman tentang peranan nilai dalam konseling etis yang terinternalisasi melalui filosofis dan
kepercayaan atau keyakinan kehidupannya.
F.
Implikasi Pengembangan Profesi Konselor Masa Depan
Dengan dicantumkannya konselor
sebagai salah satu tenaga pendidik pada Rancangan Undang-Undang tahun 2002
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, merupakan salah
satu indikator bahwa konselor sebagai salah satu profesi kiprahnya mulai diterima masyarakat dan
pemerintah. Oleh karena itu, tonggak yang bersejarah ini harus dimanfaatkan dan
dijadikan landasan kuat dalam melakukan evaluasi diri sebagai bagian dari upaya
membangun profesi yang profesional.
Orientasi
kinerja profesional tidak bisa lepas dari perkembangan kehidupan profesi masa
lalu, sekarang dan tantangannya di masa depan. Karena itu sudah sepantasnya
apabila telaahan bukan hanya difokuskan kepada hal-hal yang bersifat praktis
dan dukungan sistem kehidupan saat ini, melainkan sampai kepada aspek-aspek
yang membungkus profesi konselor untuk tetap eksis dan lebih maju
daripada masa lalu bahkan daripada profesi yang lainnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, kemajuan
teknologi yang tiada henti, dan pengembangan seni serta aspirasi budaya yang
senantiasa menggejolak, semuanya memberikan peluang bagi profesi konselor untuk
secara berkelanjutan berkembang dan memperlihatkan kinerja yang lebih
baik. Peluang lain adalah kesegaran
pemikiran reformasi di segala bidang dewasa ini, termasuk paradigma baru visi dan misi konseling yang
ditunjang dengan keajegan pilar organisasi profesi dan perundang-undangan yang
semakin jelas sangat membuka
peluang bagi profesi konselor untuk selalu meningkatkan kualitasnya secara
berkelanjutan dan berkembang selaras dengan kemampuan profesi, dan kebutuhan,
tuntutan serta harapan-harapan lingkungan.
Peningkatan kualitas profesi konselor secara
berkelanjutan hendaknya terilhat dalam peningkatan:
1.
Kinerja
Profesional.
Kemampuan ini merupakan seperangkat perilaku nyata
yang ditunjukkan oleh seorang konselor profesional dalam melaksanakan tugas
atau pekerjaan profesional atau keahliannya.
Tinggi dan rendahnya kualitas profesional seorang
konselor akan berdampak langsung terhadap tinggi dan rendahnya pengakuan
masyarakat luas dan imbalan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, seorang
konselor profesional akan selalu menjaga
kualitas kinerja dan nama baik pribadi dan profesinya.
2.
Penguasaan Landasan Profesional.
Kemampuan ini meliputi pemahaman dan penghayatan
mendalam seorang konselor mengenai filsapat profesi atau kepakaran di bidang
konseling yang berkenaan dengan aspek religi, sosial budaya maupun aspek-aspek
psikologisnya.
Konseling bukan pekerjaan teknis, tetapi sebagai
salah satu fram work bagi pengembangan pribadi individu baik klien
maupun konselor. Karena itu, kuat tidaknya landasan filosofis yang memaknai
manusia, landasan psikologis yang memberikan pemahaman terhadap keunikan
manusia, landasan sosial budaya yang memberikan pemahaman tentang kultur, nilai
dan moral individu dan kelompoknya, serta landasan religi yang memberikan
pemahaman manusia tentang akidah serta nilai keagamaan yang dianutnya akan
memberikan warna dan dampak yang sangat jelas dalam tujuan dan hasil
konselingnya.
3.
Penguasaan
Materi Akademik.
Kemampuan ini mencakup penguasaan seorang konselor
mengenai sosok tubuh disiplin ilmu konseling serta bagian-bagian dari disiplin
ilmu terkait dan penunjang yang
melandasi kinerja profesionalnya.
Penguasaan materi akademik bagi seorang konselor
hendaknya dipandang sebagai dasar pengembangan dirinya setelah terjun ke
lapangan. Karena itu, terpaku terhadap materi-materi yang diperoleh pada bangku
perkuliahan dan tidak memaknai perkembangan orientasi materi akademik yang saat
ini berlangsung sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi, maka akan membawa
seorang konselor kepada kemandegan pengetahuan dan keterampilan serta terjebak
pada kesombongan gelar yang pernah diraih tetapi tidak berkontribusi bagi pengembangan
diri dan profesinya.
4.
Penguasaan
Keterampilan Proses.
Kemampuan ini mencakup keterampilan-keterampilan
khusus kinerja profesional yang dimiliki seorang konselor, mulai perencanaan,
proses pelaksanaan sampai dengan tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Meskipun pekerjaan konseling bukan merupakan
teknis, tetapi bukan berarti bahwa pekerjaan itu hanya berdasarkan common
sense belaka. Artinya tetap berpijak pada acuan proses yang harus diikuti
langkah demi langkahnya. Dalam penguasaan keterampilan proses dituntut bagi
seorang konselor untuk selalu mencoba dan mengevaluasi kelebihan dan kelemahan
yang dia alami di samping memperhatikan perkembangan zaman yang lebih
mempermudah suatu proses dilaksanakan. Misalkan, layanan informasi tidak harus
selalu dilakukan dengan cara tatap muka, bisa menggunakan teknologi yang
terbaru, tetapi dalam prosesnya tetap harus memperhatikan : siapa yang akan
diberikan informasi, mengapa harus diberikan informasi, tujuan yang ingin
dicapai setelah informasi itu dilakukan, materi apa yang cocok dengan kebutuhan
subjek layanan dan bagaimana strategi pelaksanaan yang perlu dilakukan serta
dengan cara apa evaluasinya dilakukan.
5.
Penguasaan
Penyesuaian Interaksional.
Kemampuan ini mencakup cara-cara untuk menyesuaikan
diri dengan tuntutan dan suasana lingkungan kerja pada saat melaksanakan tugas
profesinya.
Setiap
lembaga yang ditempati seorang konselor secara normatif tidak akan pernah sama
persis. Karena itu tuntutan dan harapan seorang konselor mengenai juklak dan
juknis untuk menyeragamkan pekerjaan dengan lembaga lain merupakan hal yang
sia-sia. Dalam tuntutan seperti ini sudah merupakan kewajiban bagi seorang
konselor untuk lebih memahami kondisi lingkungan tempat kerjanya, baik yang
menyangkut siswa, kemampuan sekolah, personel dan norma-norma lain yang dianut
lembaga itu.
6.
Kepribadian .
Kemampuan ini mencakup sifat-sifat dan keyakinan
yang perlu dimiliki seorang konselor termasuk di dalamnya adalah sikap, nilai,
moral dan etika yang akan memberikan warna serta arah kinerja profesinya.
Kejelasan identitas sebagai pribadi dan profesional
hendaknya selalu diperhatikan di pertehankan. Artinya, kehidupan pribadi yang
dibungkus dengan kekentalan keyakinan suatu agama, wawasan pengetahuan yang
mengikuti perkembangan zaman, keterampilan kinerja yang selalu diasah merupakan
warna pribadi dan profesi yang selamanya tercermin melalui sikap, pikiran dan
perbuatan sereta berkontribusi positif bagi pengembangan diri dan profesinya .
7.
Kreatif .
Kemampuan ini
meliputi pemahaman, penghayatan, aktivitas profesi serta kesejahteraan
kehidupan dirinya di masa depan yang didasarkan pada pengembangan potensi yang
dimilikinya.
Seorang konselor kreatif, dalam kehidupannya tidak
berpangku pada nasib dan hanya menunggu belas kasih orang lain, tetapi berupaya
melangkah ke depan searah visi dan misi profesi yang dimilikinya.
8.
Peningkatan
Kolaborasi.
Kemampuan ini mencakup penerimaan dan penghargaan
terhadap profesi lain untuk bersama-sama menggalang keberhasilan layanan
profesionalnya.
Kegiatan
konseling bukan merupakan pekerjaan individu semata tetapi melibatkan kemampuan
orang lain (team work). Karena itu
untuk memperlancar kegiatan konseling perlu dibangun atas penghargaan terhadap
orang lain dan diri sendiri sebagaimana kapasitas dan kualitas serta peran dan
kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing personel.
Bila
kerjasama antar personel dalam suatu lembaga sudah dibina maka tidak akan
pernah merasa sungkan untuk selalu bekerjasama dengan sesama anggota profesi
dan dengan profesi-profesi lain seperti dokter, psikolog, ekerja sosial dan
sebagainya, dan kerjasama itu pada
akhirnya akan merupakan kebutuhan untuk menghargai profesi sendiri.
G. Daftar Pustaka
America
Counseling Asosiations (1996). Code
of Ethic and Standards of Practice.
Biggs,
Donald A. & Blocher H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical
Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University
of New York
at Albany.
C.H. Patterson (1986). Theories of Counseling and Psychotherspy. New York: Harper & Row, Publishers.
Carlton
E.Beck (1971), Philosophical Guidelines
for Counseling: The Place of Values in Counseling and psychotherapy, Iowa:WM.C. Brown Company
Publishers.
Dedi
Supriadi, (2002). Isu-Isu dan Relevansi Penerapan Konseling Lintas Budaya,
Pengukuhan Guru Besar UPI, Bandung:UPI.
Gerald
Corey, et al (1988). Issues and Ethics in
the Helping Professions: The Counselor as a Person and as a Profesisonal.
New Yowk:Brooks/cole Publishing Company.
Tilaar.H.A.R., (1999), Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional, Magelang : Tera Indonesia.
Hall
Calvin S. & Lindzey Gardner (1978). Theories of Personality. Ney
York: John Wiley & Sons.
Moh.
Djawad Dahlan (2002). Warna Arah Bimbingan dan Konseling Alternatif Di Eral
Globalisasi, Jurnal Psikopedagogia, Bandung:
ABKIN Pengda Jabar dan PPB FIP UPI.
Paterson
C.H. (1986). Theories of Counseling and
Psychotherapy. New York:
Harper & Row, Publishers
RUU tahun 2002, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta:
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Rochman Natawidjaja, (2003). Kompetensi dan
Etika Konselor Masa Depan, Makalah Seminar dan Workshop tanggal 17 Pebruari
2003, Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Sayling Wen (2003). Future of Education
(Masa Depan Pendidikan), Alih Bahasa Arvin Saputra, Batam : Lucky Publishers.
Sunaryo Kartadinata (2002), Paradigma Baru
Bimbingan dan Konseling, Makalah Disampaikan pada Konvensi IPBI di Lampung.
_____ (2002), Isu Etik dan Moral dalam
Konseling (Kompilasi), Bandung:
Program Pascasarjana UPI.
Shertzer,B. & Stone, S.C.,
(1981). Fundamental of Guidance. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Steven
Jay Lynn, P. John Garske (1985).
Contemporary Psychotherapies: Models and Methods. Ohio: Bell & Howell Company.
United Nations Educational (1996). Treasure Within:
Report to UNESCO of the International Commision on Education for the
Twenty-First Century. France:
Presses Universitaires de France.
Woolfe, Ray & Dryden Windy (1998). Handbook of
Counseling Psychology. London-New Delhi
: Sage Publications.