Selasa, 05 Februari 2013




Oleh : Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia

Terdorong oleh rasa tanggung jawab dan kehendak untuk berpartisipasi dalam rangka implementasi   Kurikulum   2013,   sebagai   upaya   peningkatan   mutu   pendidikan   di Indonesia, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia yang berhimpun dalam:
1.  Himpunan   Sarjana      Bimbingan   dan   Konseling   Indonesia   (HSBKI),   unsur
Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
2.  Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Nasional  (MGBKN)
3.  Forum Komunikasi Jurusan/Program Studi    Bimbingan dan Konseling Indonesia
(FK- JPBKI)
4.  Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN)
5.  Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN),


mengadakan serangkaian diskusi tentang peran bimbingan dan konseling terkait Kurikulum     2013                 dan     implementasinya.              Berdasarkan   hasil   pemikiran   bersama, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia menyampaikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.


A. HAKIKAT PEMINATAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
1.  Kaidah dasar yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kurikulum 2013 yang berkaitan langsung dengan layanan bimbingan dan konseling adalah kaidah peminatan. Peminatan difahami sebagai upaya advokasi dan fasilitasi perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya (arahan Pasal 1 ayat 1 UU No. 20/2003) sehingga mencapai perkembangan optimum. Perkembangan           optimum     bukan               sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual dan minat yang dimiliki,    melainkan     sebagai     sebuah     kondisi    perkembangan     yang memungkinkan  peserta  didik  mampu  mengambil  pilihan  dan  keputusan
secara sehat dan bertanggung jawab serta memiliki daya adaptasi tinggi terhadap        dinamika                              kehidupan      yang    dihadapinya.   Dengan    demikian, peminatan         adalah       sebuah    proses    yang akan    melibatkan      serangkaian pengambilan pilihan dan keputusan oleh peserta didik yang didasarkan atas pemahaman potensi diri dan peluang yang ada di lingkungannya. Dilihat dari konteks ini maka bimbingan dan konseling adalah wilayah layanan yang bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the Common Good) melalui (upaya) pendidikan. (ABKIN: 2007).
2.  Peminatan   adalah   proses   yang   berkesinambungan   untuk   memfasilitasi

peserta didik mencapai Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, dan oleh karena itu peminatan harus berpijak pada kaidah-kaidah dasar yang secara eksplisit dan implisit, terkandung dalam Kurikulum. Kaidah-kaidah dimaksud ialah bahwa Kurikulum 2013:
2.1.    memiliki spirit   kuat untuk pemulihan fungsi dan arah pendidikan yang lebih konsisten sesuai dengan pasal 3 UU No 20 tahun 2003,  yang bermakna bahwa   watak dan peradaban bangsa  yang        sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi tujuan  eksistensial                pedidikan,    yang             melandasi            upaya   mencerdaskan kehidupan               bangsa               sebagai          tujuan            kolektif-kultural          pendidikan,              yang diejawantahkan melalui pengembangan potensi          peserta didik sebagai tujuan individual pendidikan.
2.2.    dimaksudkan   untuk   menyiapkan   peserta   didik  agar   sukses   dalam menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan di era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.

2.3.    menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan sebagai keutuhan yang harus dicapai oleh peserta didik; dan juga tidak memisahkan antara mata pelajaran dengan muatan lokal, pendidikan akademik, dan pendidikan karakter sebagai keutuhan yang memberikan  kemaslahatan bagi bangsa.
2.4.    memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan sebagai proses            pembelajaran   yang   mendidik   dan   wahana    pengembangan karakter, kehidupan yang demokratis, dan kemandirian sebagai softskills, serta penguasaan sains, teknologi, dan seni sebagai hardskills. Capaian pendidikan     merupakan            interaksi            yang                fungsional  antara         efektivitas kurikulum berbasis kompetensi dan pembelajaran siswa aktif dengan lama pembelajaran di sekolah.
2.5.    memandang  bahwa  peserta  didik  aktif  dalam  proses  pengembangan potensi dan perwujudan dirinya dalam konteks sosial kultural, sehingga menuntut profesionalitas guru yang mampu mengembangkan                                                  strategi pembelajaran yang menstimulasi peserta didik untuk belajar lebih aktif.
2.6.    menekankan  penilaian  berbasis  proses  dan  hasil.  Ini  berarti  ukuran keberhasilan pendidikan tidak hanya akumulasi fakta dan pengetahuan sebagai hasil dari ekspose didaktis, tetapi juga menekankan pada proses pembelajaran yang mendidik.
2.7     tidak menyederhanakan upaya    pendidikan sebagai pencapaian target- target  kuantitatif                             berupa  angka-angka     hasil  ujian    sejumlah  mata pelajaran  akademik  saja,  tanpa  penilaian                proses  atau  upaya      yang dilakukan oleh peserta didik. Kejujuran, kerja keras dan disiplin adalah hal yang tidak boleh luput dari penilaian proses. Hasil penilaian juga harus serasi dengan perkembangan akhlak dan karakter peserta didik sebagai makhluk individu, sosial, warga negara dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

2.7.    mengakui  dan  menghormati  adanya  perbedaan  kemampuan  dan kecepatan belajar peserta didik, yang secara tegas menuntut adanya remediasi dan akselerasi secara berkala pasca penilaian, terutama bagi peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan dan kecepatan yang sama         dalam           mencapai kompetensi yang  ditetapkan.           Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai kompetensi utuh sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajarnya adalah prinsip pendidikan yang paling fundamental. Kurikulum 2013 lebih sensitif dan respek     terhadap           perbedaan  kemampuan dan         kecepatan                 belajar peserta didik.
2.8.    memberikan peluang yang lebih terbuka kepada setiap peserta didik

untuk  mengembangkan  berbagai     potensi  yang  dimilikinya  secara fleksibel tanpa dibatasi dengan sekat-sekat penjurusan yang terlalu kaku.
2.9.    menuntut adanya kolaborasi yang baik antara guru mata pelajaran, guru BK/konselor dan orang tua/wali dalam mengoptimalkan potensi peserta didik.
2.10.  menekankan  pada proses, mengandung implikasi peran  pendidikan yang mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan peserta didik.  Oleh              karena itu,     proses    pendidikan     melibatkan manajemen, pembelajaran, dan bimbingan dan konseling.


B.  PERAN    DAN    FUNGSI    BIMBINGAN    DAN     KONSELING    DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian integral dari pendidikan yang secara sadar memposisikan ... kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi,        memilih,                          berjuang   meraih,     serta       mempertahankan              karier   itu ditumbuhkan secara isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan dan konseling/ konselor dan oleh guru mata pelajaran  dalam setting pendidikan khususnya dalam jalur

pendidikan  formal,  dan  sebaliknya  tidak  merupakan  hasil  upaya  yang  dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan sendirian oleh Guru.” (ABKIN: 2007).
Ini berarti bahwa proses peminatan, yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun keilmuan yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan menjadi dasar bagi perjalanan hidup dan karir selanjutnya, melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yang mendukung. Dalam     konteks       ini     bimbingan  dan          konseling            berperan     dan            berfungsi,      secara kolaboratif, dalam hal-hal berikut.


1. Menguatkan Pembelajaran yang Mendidik

Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3, dan Pasal 4 (3) UU No. 20 tahun           2003   secara    utuh,   kaidah-kaidah                  implementasi Kurikulum       2013 sebagaimana dijelaskan harus bermuara pada perwujudan suasana dan proses pembelajaran mendidik yang memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik. Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada hakikatnya adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang dalam implementasinya memerlukan     penerapan               prinsip-prinsip   bimbingan       dan konseling.     Bimbingan dan konseling harus meresap ke dalam kurikulum dan pembelajaran untuk mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik.          Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru hendaknya: (1) memahami kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2) melakukan asesmen   potensi                    peserta      didik,          (3)   melakukan   diagnostik       kesulitan perkembangan dan  belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai  sebagai proses individuasi peserta didik.  Perwujudan keempat prinsip yang disebutkan       dapat  dikembangkan           melalui kolaborasi         pembelajaran   dengan bimbingan dan konseling.

2. Memfasilitasi Advokasi dan Aksesibilitas

Kurikulum 2013 menghendaki adanya diversifikasi layanan, jelasnya layanan peminatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi, aksesibilitas, dan fasilitasi agar terjadi diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi pengembangan  pribadi,  sosial,  belajar  dan  karir  peserta  didik.  Untuk  itu kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran perlu dilaksanakan dalam bentuk: (1) memahami potensi dan pengembangan kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang ragam program pembelajaran dan melayani      kekhususan               kebutuhan     peserta        didik,     serta    (3)      membimbing perkembangan pribadi, sosial, belajar dan karir.


3. Menyelenggarakan Fungsi Outreach

Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan, sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran      sebagai                          proses    pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk mendukung  prinsip   dimaksud                      bimbingan   dan        konseling    tidak   cukup menyelenggarakan         fungsi-fungsi                 inreach  tetapi         juga    melaksanakan fungsi outreach     yang     berorientasi                pada    penguatan      daya         dukung     lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan  dan  konseling/konselor  dengan  guru  mata  pelajaran  hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi dengan dunia kerja dan lembaga pendidikan, (3) “intervensi terhadap institusi terkait lainnya dengan tujuan membantu perkembangan peserta didik.



C. EKSISTENSI  BIMBINGAN  DAN  KONSELING  DALAM  IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Keberadaan    Bimbingan    dan   konseling   dalam    pendidikan   di   Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1964, yang disebut “Bimbingan dan

Penyuluhan”    ketika   diberlakukan    “Kurikulum    Gaya   Baru.”Bimbingan   dan Penyuluhan pada  waktu  itu  dipandang  sebagai  unsur  pembaharuan  dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.  Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun
1975, pelayanan bimbingan dan penyuluhan telah dijadikan sebagai bagian integral  dari  keseluruhan  upaya                          pendidikan.  Petugas  yang  secara  khusus melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling pada saat itu disebut Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).

Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1995 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya antara lain mengandung arahan dan         ketentuan    pelaksanaan    pelayanan    bimbingan    dan    konseling    di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut  mengandung hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu dinyatakan sebagai tugas guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat dipahami karena sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru, sangat merancukan konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai   penyelenggara   pelayanan   ahli      bimbingan         dan         konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di lapangan pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai        konselor, tetapi sering diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata pelajaran.   Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar di kelas yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN: 2007).



Dalam  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan  (KTSP  2006),  posisi  dan  arah layanan              bimbingan   dan   konseling   di   sekolah   sesungguhnya    mengalami kemunduran, karena adanya pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa ke wilayah pembelajaran yang berpayung pada standar isi,   bimbingan dan konseling                 menjadi    bagian    dari    standar    isi   yang    dituangkan    menjadi pengembangan diri dan menjadi salah satu komponen kurikulum.
Sebagaimana  telah  dinyatakan  bahwa  layanan  bimbingan  dan  konseling  di sekolah merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam jalur pendidikan formal dan layanan ini meskipun dilakukan oleh pendidik yang disebut  sebagai  konselor,  tetapi  ekspektasi  kinerja  profesionalnya  berbeda dengan ekspektasi kinerja profesional yang dilakukan oleh guru. Jika ekspektasi kinerja                     guru      menggunakan           materi      pelajaran  sebagai             konteks                       layanan keahliannya, maka ekspektasi kinerja konselor tidak demikian.
Ekspektasi kinerja konselor tidak meggunakan materi pelajaran dalam koteks layanan keahliannya (bimbingan dan konseling), melainkan menggunakan proses pengenalan  diri  peserta  didik  (konseli)  dengan  memahami  kekuatan  dan kelemahannya          dengan  peluang                        dan         tantangan yang  terdapat      dalam ligkungannya,  untuk  menumbuhkembangkan  kemandirian  dalam  mengambil berbagai  keputusan  penting  dalam  perjalanan  hidupnya,  sehingga  mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir (kemajuan hidup) untuk mencapai hidup yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan umum. Bimbingan  dan  konseling  merupakan  upaya  proaktif  dan  sistematik  dalam memfasilitasi  peserta  didik  mencapai  tingkat  perkembangan  yang  optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan lingkungan perkembangan, dan peningkatan keberfungsian individu di dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku  tersebut  merupakan  proses  perkembangan,  yakni  proses  interaksi

antara individu dengan lingkungan perkembangan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab untuk    mengembangkan           lingkungan            perkembangan,                      membangun    interaksi dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku.
Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal seperti tertera pada Gambar 1, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan. Dengan demikian, posisi guru bimbingan dan konseling (dalam Pasal 1 ayat 6 UU RI No. 20/2003 disebut konselor) sejajar dengan guru bidang studi/mata pelajaran dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian          pula                  dalam Permendiknas     No.                               22/2006 menempatkan pelayanan bimbingan dan  konseling sebagai bagian integral dari
standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.




Gambar 1. Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan

Merujuk pada UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing                      dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.   Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi  pendidik,  sejajar  dengan  kualifikasi  guru,  dosen,  pamong  belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1 ayat 6).

Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan setting pelayanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.


D. PRINSIP  DASAR   LAYANAN   BIMBINGAN   DAN   KONSELING   DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013


1. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling

Bimbingan adalah upaya/proses fundamental pada setiap ikhtiar pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk pendidikan tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu melekat di dalamnya. Berbeda dengan pengajaran, yang tidak selalu harus ada di dalam setiap bentuk pendidikan tersebut.

Bimbingan pada hakikatnya merupakan    proses memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi yang empatik antara konselor (guru  bimbingan  dan  konseling)  dengan  peserta  didik,           dimana  konselor membantu  peserta  didik  untuk  mengenal                                                kelebihan  dan  kelemahan  dalam berbgai aspek perkembangan dirinya, memahami peluang dan tantangan yang ditemukan di lingkungannya, serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik (konseli) untuk mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya secara bertanggung jawab dan mampu mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan umat manusia.

Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, tetapi yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu      mengembangkan    potensi          dirinya               atau                      mencapai tugas-tugas

perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral- spiritual.

Di   manapun  proses   pendidikan   harus   dipandang   sebagai   suatu    proses perkembangan, karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang berada    dalam     proses berkembang   atau menjadi                   (on-becoming),    yaitu berkembang ke                arah         kematangan  atau   kemandirian.      Untuk mencapai kematangan  tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan (guidance), agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya dan lingkungannya serta pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Alasan   lain   adalah   adanya   perbedaan   individual   pada  peserta   didik   dan keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur yang  lurus,  searah dengan potensi, harapan dan nilai- nilai yang dianut.

Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial yang selalu berubah dan mempengruhi gaya hidup (life style). Sifat yang melekat pada lingkungan  adalah  perubahan.  Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.

Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup peserta didik (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa      tanggung         jawab      kemasyarakatan      dan        kebangsaan.       Tujuan         tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan   untuk   senantiasa   memantapkan   proses   pendidikannya   secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Dalam abad 21 ini,  setiap peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan yang kompleks dan penuh tantangan. Dalam konstelasi kehidupan seperti ini, setiap peserta didik memerlukan berbagai kompetensi hidup agar mampu menjadi individu yang efektif, produktif dan bermaslahat bagi orang lain.

Untuk mengembangkan kompetensi hidup seperti ini, maka sistem pelayanan pendidikan di sekolah yang efektif tidak cukup hanya dengan mengandalkan pelayanan manajemen dan pembelajaran mata pelajaran saja, melainkan perlu disertai dengan pelayanan bantuan khusus yang lebih bersifat psiko-pedagogis berbasis kepakaran. Layanan bantuan khusus (berbasis kepakaran) membantu peserta didik agar mampu menghindari perilaku negatif dan pada saat yang sama mampu mengembangkan perilaku normatif dan efektif untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan di atas, adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan memfasilitasi  mereka  secara  sistematik,  terprogram  dan  kolaboratif  untuk mampu mencapai standar kompetensi nilai perkembangan/perilaku atau karakter yang    diharapkan.           Upaya         ini      merupakan         wilayah         garapan bimbingan          dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang

diselenggarakan dengan berbasis data perkembangan peserta didik secara komprehensif  dalam berbagai aspek kehidupannya.

Dengan  demikian, pendidikan  yang bermutu, efektif atau  ideal  adalah  yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu                             bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan  dan       konseling.  Pendidikan  yang  hanya  melaksanakan  bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan  menghasilkan  peserta didik  yang pintar  dan  terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pelayanan  bimbingan  dan  konseling    didasarkan  kepada  upaya  pencapaian tugas          perkembangan,   pengembangan  potensi,   dan   pengentasan   masalah- masalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang diselenggarakan secara intensif dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi belajar, pribadi, sosial dan moral-spiritual, serta karir yang harus dicapai tiap peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga pendekatan ini disebut juga sebagai bimbingan dan konseling berbasis nilai-nilai inti karakter. Standar      dimaksud          adalah            standar  kompetensi        kemandirian  yang    telah dirumuskan          berdasarkan    hasil   penelitian   selama 5   tahun                 dan     telah diimplementasikan di berbagai jenjang dan jalur pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara guru bimbingan dan konseling/ konselor dengan para personal Sekolah/Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya. Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat mengembangkan atau mewujudkan potensi  dirinya  secara utuh,  baik  menyangkut  aspek  pribadi,  sosial,  belajar, maupun karir.

Atas    dasar    itu,    maka        implementasi    bimbingan    dan    konseling    di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi   peserta didik,    yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).


2. Kolaborasi     Guru      Bimbingan     dan     Konseling/Konselor,     Guru Matapelajaran                     dan  Orang  Tua  dalam  Pengembangan  Kemandirian sebagai Nilai Inti Karakter

Pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan arahan  terhadap perkembangan peserta didik;  dan  tidak hanya untuk peserta didik bermasalah tetapi menyangkut seluruh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada peserta didik tertentu atau  yang  perlu    dipanggil‟      saja”,  melainkan  untuk  seluruh  peserta  didik (Guidance and counseling for all).

Di dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran bidang studi, maka kompetensi peserta didik  yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK)          untuk          mewujudkan      diri  (self        actualization)         dan           pengembangan kapasitasnya (capacity  development)    yang         dapat             mendukung         pencapaian kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya pengembangan kemandirian. Dalam hal ini kerjasama antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran merupakan suatu keharusan. Persamaan, keunikan, dan keterkaitan wilayah pelayanan guru mata pelajaran        dan guru bimbingan dan konseling/ konselor dalam konteks pencapaian standar kompetensi peserta didik disajikan pada Gambar 2.



PERKEMBANGAN OPTIMUM PESERTA DIDIK:

BELAJAR, PRIBADI, SOSIAL DAN KARIR




Standar Kompetensi Kemandirian utk mewujudkan diri (belajar, karir, sosial, pribadi) (Bimbingan dan
Konseling)


Misi  bersama guru dan konselor dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian tujuan
pendidikan nasional


Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran (Pembelajaran bidang studi)



WILAYAH KONSELOR


KOLABORASI KONSELOR DENGAN GURU/PIHAK
LAIN


WILAYAH GURU



Gambar 2. Hubungan Kolaboratif Wilayah Kerja

Guru bimbingan dan konseling/Konselor dan Guru Matapelajaran



Tugas-tugas  pendidik  untuk  mengembangkan  peserta didik  secara utuh  dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru  mata  pelajaran,  guru  bimbingan  dan  konseling/konselor,  dan  tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah       pelayanan    khusus dalam       mendukung              realisasi  diri             dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan (kolaboratif) antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran,  antara  lain  dapat  dilakukan  melalui  kegiatan  rujukan  (referal). Masalah-masalah                 perkembangan          peserta  didik yang   dihadapi  guru    mata pelajaran                       pada     saat   pembelajaran   dirujuk  kepada    guru   bimbingan   dan konseling/konselor untuk penanganannya. Demikian pula masalah yang ditangani guru  bimbingan  dan  konseling/konselor  dirujuk  kepada  guru  mata  pelajaran untuk menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran. Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri. Ini berarti bahwa di

dalam   pengembangan   dan   proses   pembelajaran    bermutu,    fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian      guru mata pelajaran, dan sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran mata pelajaran perlu mendapat perhatian guru bimbingan dan konseling/konselor.

Layanan  bimbingan  dan  konseling  diperuntukan  bagi  semua  (guidance and counseling for all), dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya kepada pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental) dan pemeliharaan (maintanance) serta pencegahan (preventive) secara        menyeluruh.        Layanan        bimbingan                 dan konseling    adalah   upaya memfasilitasi perkembangan individu (dalam aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir)           ke          arah kemandirian   (dalam    hal   menetapkan     pilihan,          mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas pilihan dan keputusan sendiri) untuk mewujudkan  diri  (self-realization) dan  mengembangkan  kapasitas  (capacity development).

Prinsip bimbingan dan konseling untuk semua mengandung arti bahwa target populasi  layanan  bimbingan  dan  konseling  dalam  jalur  pendidikan  formal termasuk para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan khusus, terutama yang memiliki kecakapan intelektual normal.  Layanan bimbingan dan konseling bagi anak  berkebutuhan  khusus  akan  amat erat kaitannya dengan  kegiatan hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak  terisolasi dari konteks. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan perkembangan (inreach maupun outreach) bagi kepentingan dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik, yang akan melibatkan banyak pihak di dalamnya terutama guru pendidikan khusus dan orang tua.

Demikian pula bimbingan dan konseling bagi anak berbakat,  tidak  diperlakukan dan  dipandang sebagai upaya yang luar biasa, melainkan dilihat sebagai bagian dari  upaya  mewujudkan  tujuan  pendidikan  nasional,  baik  di  tingkat  satuan

pendidikan maupun individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar biasa misalnya prestasi dalam olimpiade fisika, olimpiade matematika dan dalam berbagai mata pelajaran lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga, misalnya bulutangkis, tinju, catur, yang memang memerlukan takaran latihan lebih  dari  yang  diperlukan  oleh  peserta  didik  pada  umumnya.  Di  bidang pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan nasional, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat dan dituntun keimanan, yang menghargai keragaman dalam ragam kehidupan berbangsa (bhineka), akrab dan fasih iptek serta menguasai softskills, serta bugar scara fisik di samping memiliki kebiasaan hidup sehat.


E. KERANGKA    PROGRAM    BIMBINGAN     DAN    KONSELING     DALAM KURIKULUM2013

Merujuk Gambar 1 tentang posisi bimbingan dan konseling dalam pendidikan, konteks tugas konselor dalam pendidikan adalah dalam proses pengenalan diri oleh pesera didik (konseli) beserta peluang dan tantangan yang ditemukannya dalam lingkungan, sehingga peserta didik mandiri mengambil keputusan penting perjalanan     hidupnya       (belajar,           pribadi,   sosial  dan                  karir)         dalam       rangka mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan bahagia serta peduli kepada kemaslahatan umum, melalui berbagai upaya yang dinamakan pedidikan.

Fokus   layanan   bimbingan   dan   konseling   adalah   menumbuh-kembangkan kompetensi kemandirian sebagai nilai inti karakter.  Dalam konteks ini, perlu dikembangkan: (a) sikap dan berperilaku baik, jujur dan etis; (b) belajar bertanggungjawab; (c) disiplin, kerja keras dan efisien; (d) kesadaran kultural sebagai warganegara, seperti peduli, toleran, saling menghargai; dan (e) peningkatan  pengetahuan   dan   keterampilan             hidup    sesuai    dengan   tingkat perkembangan.

Program  bimbingan  dan  konseling  di  sekolah  bukan  merupakan  aktivitas ekstrakurikuler, melainkan  merupakan  suatu  program yang secara sistematis

diarahkan untuk mengoptimalkan  pencapaian kompetensi perkembangan setiap peserta  didik  dalam  aspek  pribadi,  sosial,  belajar  dan  karirnya  secara  utuh dimana nilai inti karakter melekat di dalam semua bidang layanan tersebut.

Konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan target populasi layanan bimbingan dan konseling, sebagai layanan ahli, seorang guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pengembangan dan pemeliharaan karakter, dan melayani seluruh peserta didik, dengan kerangka program kerja utuh yang meliputi komponen-komponen sebagai  berikut.

Layanan Dasar, yaitu layanan yang bersifat antisipatoris, preventif dan pengembangan. Layanan ini diperuntukan bagi semua peserta didik tanpa terkecuali.       Layanan                 dasar  diarahkan              untuk         pengembangan           kompetensi perkembangan sesuai dengan  tahap dan tugas-tugas  perkembangan peserta didik. Layanan ini dapat dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor sendiri         maupun      dengan kolaborasi           antara  guru   bimbingan              dan konseling/konselor, guru mata pelajaran, orang tua, dan pakar yang berada di luar sekolah. Bentuk layanan yang diupayakan antara lain:

(1) Penyelenggaraan asesmen dalam   berbagai aspek perkembangan seperti data demografis, hasil belajar, bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, kebiasaan belajar dan jaringan hubungan sosial;

(2) Advokasi dan fasilitasi pemilihan rumpun/bidang keilmuan yang diminati melalui proses konseling, konsultasi dan layanan lain yang relevan.

(3) Bimbingan  klasikal  atau  bimbingan  kelompok  yang  diselenggarakan  secara regular dan terjadual dengan menggunakan metode dan teknik khas bimbingan dan konseling yang menarik, interaktif, menyenangkan, dan reflektif. Jika diperlukan, bimbingan klasikal dimaksud bisa dilakukan secara kolaboratif bersama guru bidang studi pada saat pembelajaran berlangsung.

(4) Pengembangan perilaku jangka panjang yang menunjang kesuksesan belajar, pengembangan pribadi dan sosial, dan karir peserta didik. Layanan ini dilakukan dengan “membelajarkan” peserta didik atas topik-topik yang relevan dengan kebutuhan peserta didik seperti sikap dan keterampilan belajar, pemecahan masalah, hubungan sosial, keterampilan komunikasi yang efektif, negosiasi dan manajemen konflik, pengembngan sikap toleran, kepercayaan diri, konsep diri, pengendalian emosi, kerja sama, perilaku etis, kreativitas, disiplin, Say No to Drugs, dan sebagainya.

(5) Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling dan penggunaannya untuk asesmen perkembangan baik dalam kegiatan khusus maupun kegiatan tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk implementasi komponen ini. Mengacu kepada prinsip kolaborasi guru mata pelajaran bisa mendukung pencapaian kompetensi belajar peserta didik melalui pengembangan nuturant effect pembelajaran.



Layanan Responsif, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik memecahkan masalah (pribadi, sosial, belajar, karir) yang dihadapinya pada saat ini dan memerlukan pemecahan   segera. Penggunaan  instrumen pemahaman peserta didik diperlukan untuk mendeteksi masalah apa yang perlu dientaskan. Di sinilah layanan konseling individual maupun kelompok diperlukan dengan segala perangkat pendukungnya.

Layanan Perencanaan Individual, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik secara individual di dalam merencanakan masa depannya berkenaan dengan kehidupan akademik maupun karir. Pemahaman peserta didik secara mendalam dengan segala karakteristiknya dan penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang dimiliki peserta didik amat diperlukan, sehingga peserta didik mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat dalam mengembangkan potensinya secara optimal, termasuk  peminatan,  keberbakatan, dan  kebutuhan  khusus  peserta  didik.

Kegiatan orientasi, informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi  diperlukan dalam implementasi layanan ini.

Dukungan Sistem dan Kolaboratif, yaitu kegiatan yang terkait dengan dukungan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi Informasi dan Komunikasi), kolaborasi atau konsultasi dengan berbagai pihak yang dapat membantu peserta didik, pelatihan pembelajaran bernuansa bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, termasuk pengembangan kemampuan guru BK/konselor secara berkelanjutan sebagai profesional.
Pengaturan proporsi layanan setiap komponen program bimbingan dan konseling di sekolah  dalam Kurikulum 2013 dapat diatur  dalam pedoman berikut.



BENTUK LAYANAN
SD
SMP
SMA/SMK
Layanan
Dasar
35  45 %
25 35 %
15 – 25 %
Layanan
Responsif
30 – 40 %
30- 40 %
25 – 35 %
Layanan Perencanaan Individual
15 – 10 %
15 25 %
25 – 35 %
Dukungan
Sistem dan
Kolaboratif
10 – 15 %
10 15 %
15 – 20 %



Dengan rasio guru bimbingan dan konseling/Konselor dibanding  peserta didik =

1:150 dan dengan beban tugas 24 - 40 jam/minggu (PP No. 74/2008 tentang Guru) maka perhitungan ekuwivalensi tugas guru bimbingan dan konseling/ konselor 24 -40 jam dan 150 siswa perminggu sebagai berikut.



BENTUK LAYANAN BIMBINGAN
PEMBAGIAN WAKTU PELAYANA DI SMA/SMK
24 – 40 jam kerja
Layanan
Dasar
20 % X (24 - 40 jam kerja) = 5 – 8 jam kerja
Layanan
Responsif
35 % X (24 – 40 jam kerja) =  8 – 14 jam kerja
Layanan
Perencanaan
Individual
30 % X (24- 40 jam kerja) =   7 – 12 jam kerja
Dukungan
sistem     dan
Kolaboratif
15 % X (24 -40 jam kerja) = 4 – 6 jam kerja



F.  PENGEMBANGAN PEDOMAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Rumusan kompetensi perkembangan atau kemandirian, dan kerangka program layanan bimbingan dan konseling sudah ada pada buku yang disiapkan oleh ABKIN bersama dan atas dukungan Direktorat Jenderal PMPTK, yakni Rambu- Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan  Konseling dalam Jalur  Pendidikan Formal (ABKIN;  Ditjen  PMPTK:  2008).  Untuk  selanjutnya  pedoman  umum tersebut perlu dikembangkan lebih operasional berupa:

1. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar dan

Sederajat.

2. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah

Pertama dan Sederajat.

3. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah

Atas dan Sederajat.

4. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah

Kejuruan dan Sederajat.

G. PENYIAPAN     GURU     BIMBINGAN     DAN     KONSELING/KONSELOR PROFESIONAL

Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana diberitakan Harian Kompas (Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru  Bimbingan dan          Konseling/Konselor secara         sungguh-sungguh            dan profesional. Dengan berpayung pada UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan konseling/konselor profesional disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan Pendidikan Profesi       Konselor       sebagai suatu          keutuhan          sebagaimana diatur dalam Permendiknas No.          27/2008               tentang   Standar             Kualifikasi  Akademik    dan Kompetensi Konselor Indonesia.


DAFTAR RUJUKAN.

Depdiknas RI, 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Ditjen PMPTK, 2007, Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Harian Kompas, 23 Januari 2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru Bimbingan dan
Konseling.

Peraturan Pemerintah RI, 2005, Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Peraturan Pemerintah RI, 2008, Nomor 74 tentang Guru.

Permendiknas   RI,   2008,   Nomor   27   tentang   Standar  Kualifikasi  akademik  dan
Kompetensi Konselor.

Permendiknas RI, 2009, Nomor 8 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra jabatan.

UU RI, 2003, Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Bandung, 25 Januari 2013

Kami yang bertanda tangan :

1.  Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Himpunan Sarjana   Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI), unsur Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)

Prof. Furqon, M.Pd., MA., Ph.D.  =  ………………………

2.  Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Musyawarah Guru Bimbingan dan
     Konseling Nasional (MGBK N)



Syamsudin, M.Pd = …………………

3.  Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Forum Komunikasi Jurusan/Program
Studi  Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK- JPBKI)

Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. = ……………..

4.  Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Ikatan Bimbingan dan Konseling


 
           Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) Drs.     Amdani Sarjun, M.Pd. = ……………………
5.  Doktor Bimbingan dan Konseling/ Sekretaris  Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)

Dr. Agus Taufiq, M.Pd.  = ……………………